Skip to main content

Posts

Showing posts with the label pengalaman

Senjata Para Penulis

Kalau mau jadi penulis, yang pertama harus kita miliki adalah kejujuran dan ketekunan. Jujur berkarya alias tidak memplagiat karya orang. Tekun mencoba dan mencoba meski sering gagal. Dua hal itu senjata utama. Letaknya ada di bagian paling dalam dari diri kita. Senjata di level berikutnya adalah referensi bacaan dan pergaulan. Semakin banyak kita membaca dan bergaul, semakin banyak bahan tulisan. Adapun senjata di level paling luar adalah pulsa internet dan alat ketik. Bagai manapun, ini sangat penting. Ada pulsa, kita bisa online. Perkembangan dunia sastra dan info-info penting bisa diakses dari internet. Sedangkan alat ketik, memang dari jaman dulu selalu penulis butuhkan. Alat ketik jaman sekarang laptop dan komputer dan bahkan ponsel pun bisa. Jika fasilitas terakhir tidak ada, masih ada warnet di sekitar kita. Demikianlah senjata-senjata yang dibutuhkan jika ingin menjadi penulis.

Alasan Sederhana Kenapa Penulis Bisa Bahagia

Salah satu hal yang membuat saya bahagia adalah ketika mendapat pesan atau komentar dari pembaca bahwa mereka suka dan terhibur dengan karya saya. Paling tidak, jika tidak mampu memberi semacam pencerahan, sebuah karya memang harus dapat menghibur siapa pun yang membaca; itulah keyakinan saya. Pencerahan tidak perlu dipaksakan, karena ini tugas alam. Jika sebuah karya menyatu secara alami dengan hati pembaca, mungkin saja pembaca ini akan mengaku, "Saya tercerahkan." Dan sebagai penulis, sebenarnya kita tidak secara darurat membutuhkan komentar seperti itu, karena cukup dengan kalimat "Saya terhibur!", penulis merasa amat sangat bersyukur bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari mengetahui efek positif sekecil apa pun, terhadap seberapa pun manusia, dari apa yang sudah kita tulis.

Menulis Sesuai Bekal yang Saya Punya

Saya menulis apa yang ingin saya tulis. Tidak semua ide-ide yang masuk ke kepala langsung saya ubah jadi cerita. Sebagian ada yang menunggu beberapa lama, dan sebagian malah tidak sama sekali. Saya menulis sesuai dengan "bekal" yang saya bawa.  Hidup saya di lingkungan yang seperti apa, pengalaman saya sepelik atau sesederhana apa, buku dan film apa saja yang sudah saya konsumsi sejak kecil, mimpi-mimpi buruk/indah apa saja yang pernah saya alami, orang-orang macam apa yang sa ya temui, serta harapan-harapan sepi di hati saya--itu semua yang disebut bekal. Seandainya ada ide luar biasa namun tidak ada peluang bagi saya untuk menggubahnya menjadi cerita yang bagus, meski hanya cerita pendek, saya lebih suka tidak menulis soal itu.

Memilih Bacaan Bukan Semacam "Dosa"

Dulu saya membaca tanpa pernah pilih-pilih. Pada akhirnya, setelah ratusan buku selesai dibaca dan bersambung ke buku-buku berikutnya, saya mulai "pilih kasih". Saya mulai membaca apa yang menurut otak saya sesuai dengan kebutuhan saya. Saya bahkan mulai membuat jarak pada bacaan jenis tertentu hanya agar tidak terkena dampak "tidak baik" dari tulisan yang tidak begitu saya sukai. Tidak baik ini bukan berarti negatif, melainkan perlu dihindari dengan alasan khusus, yaitu: jik a misalnya saya membaca tulisan dengan kualitas (yang parameternya saya buat sendiri di dalam kepala) bervariasi, maka aktivitas menulis saya jadi tersendat-sendat. Membaca berbagai tulisan yang menurut otak saya bagus, sama dengan menambah nutrisi di kepala, begitupun sebaliknya. Saya merasa ini bukan lagi tindakan "pilih kasih", tapi semacam pilihan dan setiap orang tidak dapat menolaknya jika di suatu tahap ia diharuskan memilih antara beberapa jalan. Setidaknya

Ada Banyak Alasan untuk Membaca

Orang membaca itu karena berbagai alasan. Ada yang hanya untuk mengisi waktu luang atau bersenang-senang, sehingga bacaan apa pun selalu menarik dan tidak perlu terlalu serius. Ada yang karena ingin mempelajari sesuatu, sehingga membuat jadwal khusus agar dapat lebih konsentrasi mendalami ilmu yang sedang dibaca.  Orang membaca ada juga yang semata untuk memenuhi kebutuhan batin, sehingga ia membaca seakan menyantap makanan, atau sering kali istilah "bernapas" dipakai; dengan kata lain, orang semacam ini merasa bahwa kegiatan membaca serupa jadwal wajib yang jika ditinggalkan ia bisa mati. Selain alasan-alasan tersebut, orang membaca bisa juga karena terpaksa.

Membacalah Agar Tidak Jomblo

Saya tersedak waktu dengar seorang teman bilang kebanyakan membaca buku membuatmu cepat tua dan stress dan pikun dan terserang penyakit jantung dan (boleh jadi) mati muda. Saya benar-benar ingin tertawa karena tidak tahu dapat ilham dari mana dia mengatakan hal itu. Tapi, saya menghargai ucapannya. Tidak saya protes habis-habisan, apalagi menertawakannya, karena toh dia tidak tahu saya suka membaca buku. Saya tidak perlu membela diri, bahkan meski konon seribu lebih manusia m engklasifikasikan saya ke golongan makhluk lumayan ganteng. Ini semata karena dia bilang seorang yang menggilai buku lebih banyak bakal menderita stress, dan salah satu faktor hilangnya aura ganteng dari wajah seorang lelaki adalah stress. 

Sepuluh Tahun yang Lalu?

Sepuluh tahun yang lalu saya patah hati untuk pertama kalinya karena suatu cinta monyet. Pada saat itu saya menyukai seorang cewek berambut keriting dengan gigi agak berantakan. Dia lumayan cantik kalau mingkem, tapi tidak secantik cewek yang jadi idola di sekolah SMP itu. Pada suatu hari seorang teman menggoda saya dengan duduk di dekat cewek itu dan berbicara banyak hal, sementara saya hanya berdiri melihat dari jauh, lalu saya patah hati. Saya ingat siang hari itu, sepulang sekolah, makan nasi hangat lauk kornet sapi; rasanya sama sekali bukan seperti mengunyah kornet yang gurih dan agak pedas sebagai rasa kesukaan saya, melainkan seperti mengunyah muntahan bayi dan saya jadi tidak nafsu makan. Saya belum pernah mencoba muntahan bayi, tetapi mungkin patah hati dapat membuat siapa saja seolah merasakannya, atau mungkin sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang muntahan bayi dapat saja terjadi dan seperti betul-betul dirasakan oleh penderita patah hati lainnya.

Lebih Baik Dikenang Jadi Orang Biasa, Daripada ...

Bagaimanapun rezeki kita itu sudah ada yang mengatur, yaitu Allah. Tidak perlu cemas mendapat rezeki yang seakan "salah" selama kita tidak menyimpang dari koridor yang tepat. Bermimpi menjadi penulis itu bagus. Semua orang boleh. Kalau memang benar-benar cinta, kita pasti konsisten. Dan jika sudah konsisten, terbukti kita orang yang tekun. Kalau sudah begitu, tidak perlu cemas dengan kegagalan, karena ada saatnya rezeki dari menulis akan didapat. Kan kita sudah konsisten; tinggal menunggu waktu saja dan tidak henti belajar. Dari awal ini sudah harus diyakini. Jika kita tidak kunjung dapat rezeki dari menulis, sementara kenyataannya kita memang tidak konsisten berusaha (untuk tidak menyebut kata 'malas'), ya berarti niat ingin sukses jadi penulis hanya ikut-ikutan atau cuma ingin gaya di depan teman-teman, dan rezeki kita mungkin bukan dari jalan menulis.

Langit Mencatat Perjuangan Orang-Orang Jujur

Sedih ada kasus plagiasi lagi yang mencuat belakangan ini. Rasanya belum juga ada penggila kesuksesan instan yang jera. Dari waktu ke waktu polanya hampir selalu begini: ketahuan, ramai, pelaku meminta maaf, ramai, surut, dilupakan. Atau begini: ketahuan, ramai, pelaku menghilang, dilupakan. Dan itu terus berputar seperti fase-fase di atas ditempel di sebuah roda. Rodanya tidak berhenti menggelinding karena tidak ada rem. Apa yang mereka, para plagiator itu, pikirkan? Ketika kita selesai menulis cerpen, misalnya, lalu terbit di sebuah koran, maka biasanya kita bahagia dan bangga. Benarkah? Karya orisinal tampil, sebut saja oleh penulis A, maka sangat wajar dia merasa bangga. Apalagi jika baru menapaki dunia literasi. Perasaan semacam itu sudah pasti manusiawi.

"Baper" Itu Wajar, tapi Jangan Overdosis

Ini dari curhatan seorang teman wanita. Dia mengeluh soal usahanya membantu orang lain yang dianggapnya sia-sia. Saya heran apa yang dia maksud sia-sia. Lalu dia dengan kesal menjawab, "Orang itu nggak bilang terima kasih. Aku membantu sepenuh hati, begitu beres langsung ditinggal pergi! Gak ada basa-basi. Sesulit itu bilang terima kasih, ya?!" Saya sejenak diam. Saya melihat teman saya ini penulis yang berbakat. Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu. Mungkin karena me lihat saya diam, dia bertanya soal pendapat saya. Maka saya jawab sesuai yang saya yakini, bahwa ada atau tidaknya ucapan terima kasih, bagi saya, sekiranya saya telah membantu orang lain, tidak terlalu penting. Ucapan itu bukankah semacam penghargaan atau pengakuan dari sesama manusia? "Lalu?" tanya teman ini setelah saya diam kembali.

Tulus-TidakTulus, Itu Bukan Urusan Anda

Pernah suatu ketika dengan teganya seorang teman menuduh saya tidak tulus dalam menulis, dan terlalu berambisi. Saya tanyakan apa arti kata 'tulus' dan 'ambisi' baginya, tapi dia tidak menjawab. Dia memang senang mengalihkan obrolan dari satu topik ke topik lain, dalam selisih waktu yang lumayan pendek; benar-benar mengingatkan saya pada tokoh Holden yang agak kacau di " The Catcher in The Rye "-nya J.D Salinger. Tapi tentu saja dia bukan Holden. Saya sendiri tidak tahu apakah saya tulus dalam menulis atau tidak, tetapi saya sadar betul apa yang saya lakukan saat menulis adalah seperti pertemuan dengan orang tercinta. Saya tidak betah jika harus berhenti menulis dua hari, karena sakit misalnya. Saya juga merasa berat dan berdosa, jika belum juga menulis apa pun sampai jam satu siang misalnya. Itulah kenyataannya.

Menambah Kualitas Bacaan = Syarat Mutlak Penulis

Jika ingin menjadi penulis yang baik, bukan hanya soal harus konsisten menulis. Tambah juga bacaan di rumah dengan yang lebih berkualitas dan berbobot. Membaca buku yang itu-itu saja membuatmu stuck di tempat. Anggap saja belajar. Membaca bacaan yang tadinya bukan seleramu itu seperti rekreasi ke tempat baru. Kadang menyenangkan, tetapi bisa juga memusingkan. Tidak apa. Yang penting buku-buku yang dibaca tidak melulu buku soal patah hati, misalnya. Tidak cukup uang untuk beli ? Bisa pinjam ke perpustakaan. Bacaan bermutu juga bisa didapat dengan saling tukar buku bacaan dengan teman penulis. Maksudnya tukar untuk saling meminjami, dan nanti harus dikembalikan, jangan disobek-sobek, lalu dicampur air putih dan diaduk jadi bubur kertas untuk kamu konsumsi.

Konsisten Menulis karena Cinta

Di awal mengenal dunia literasi, lalu berniat menekuninya, mungkin kau pernah/sering merasa takut jika akan menulis sesuatu. Kau takut gagal merampungkan tulisan, meski cuma satu halaman. Kau juga takut tulisanmu jadi jelek dan dibuang ke tempat sampah oleh siapa pun yang membacanya.  Lalu di hari-hari berikutnya kau mengira kegiatan menulis cukup mengerikan. Mau pergi ke meja belajar untuk menulis ide-ide hebatmu saja, berasa pergi ke dokter untuk disuntik tiga kali berturut- turut di tempat yang sama, dan itu bukan suntikan anestesi. Belum apa-apa, membayangkannya saja kau sudah lemas dan meriang. Atau sebut saja bentuk ketakutan-ketakutan lain, yang membuatmu mulai malas, dan akhirnya tidak produktif, bahkan memutuskan, "I'm done!"

Menulis Membuatmu "Kaya"

Suatu hari, beberapa tahun silam, di dompet saya hanya ada beberapa ribu rupiah. Saya belum lama keluar dari pekerjaan yang sebetulnya enak, karena gajinya besar. Pada saat itu untuk lulusan SMA, gaji sebesar itu hampir mustahil didapat. Tapi karena tidak bahagia, saya memutuskan berhenti. Suatu hari itu, kejadiannya tidak jauh dari sekolah SMP saya. Karena belum dapat pekerjaan baru, saya mencari informasi lowongan kerja di warnet. Tidak tahu kenapa, mengingat kondisi dompet saya yang makin memprihatinkan, sementara uang tabungan tidak mungkin saya pakai terus-terusan, saya tiba-tiba berpikir ingin mencari tambahan uang dengan cara lain. Yang pertama melintas di pikiran: saya harus menulis. Ketika itu saya sadar, bahwa memang uang yang saya bayangkan tidak bisa langsung didapat. Menulis adalah menabung. Uang hasil jerih payah baru bisa dinikmati setelah menjalani proses panjang. Saya sudah tahu itu, meski belum benar-benar terjun ke dunia literasi. Siang itu, saya putuskan saya terju

Menulis Memang Harus Konsisten, Tapi ...

Menulis memang harus konsisten. Rasa malas memang harus dilawan. Namun, jika kita tidak sanggup, sebaiknya jangan dipaksa. Ada saatnya kita merasa kitalah ruh dari sebuah tulisan sehingga apa pun yang terjadi di sekitar kita, menulis jadi tidak terasa. Seperti mesin yang bekerja tak kenal lelah, kita terus dan terus menulis. Namun ada saatnya juga kita ditolak mentah-mentah oleh tulisan yang akan kita garap, sehingga bahkan separagraf pun terasa berat. Mau jadi ruh tidak bisa. Jangankan ruh, jadi kulit si tulisan saja tidak diizinkan. Maka, menulislah sesuai kemampuan. Memang harus dipaksa tubuh dan jiwa agar bangun dari rasa malas, tetapi jika semangat sudah ada lalu otak tidak mendukung secara maksimal, sebaiknya break dulu beberapa jam, atau mungkin sehari dua hari. Baca-baca buku yang kita sukai atau jalan ke tempat menyenangkan atau lakukan apa pun yang membuat otak rileks. Saya sendiri, meski bisa menulis 4-5 cerita per hari, ada saatnya tidak sanggup menulis sama sekali. Bila s

Buka Bersama Setelah Tiga Tahun Vakum

Acara buka bersama yang sejak sebulan lalu dirancang oleh teman-teman SMA di grup WA terlaksana juga hari ini. Walaupun sempat muter-muter dan tersesat di Perumahan Mutiara Citra Asri, Tanggulangin (padahal sudah bertanya ke seorang warga dan satpam), saya termasuk peserta yang tidak terlambat, sekalipun tiba sekitar lima belas menit sebelum bedug maghrib. Ya, memang tidak banyak yang hadir. Tapi belasan orang berkumpul setelah tiga tahun berturut-turut tidak ada acara buka bersama, cukup menggembirakan dan patut disyukuri. Tadinya saya berharap semua teman bisa hadir, tapi agaknya mustahil. Kesibukan membuat jarak beberapa dari kami kian jauh dan entah bagaimana bisa memenggal jarak itu dan mengembalikan seperti pada masa SMA dulu.

Lima Tahun Mengubah Banyak Hal

Kira-kira seminggu yang lalu saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama yang dulu saya kenal di Jakarta. Jam sembilan pagi, setelah mengurus perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi) di Bangil, saya langsung bertolak ke Malang. Sudah sejak tahun 2012 lalu (kalau tidak salah), saya berjanji suatu hari akan mampir ke Malang jika sempat. Dan tentu, sejak 2012 hingga medio 2016 ini sudah tak terhitung lagi seberapa sering saya ke Malang. Hanya saja, saya tidak pernah sempat datang ke tempat kost teman saya yang satu ini. Dia bernama Yusuf. Asli Lamongan dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang. Saya biasa memanggilnya Ucup. Kami berkenalan di Jakarta pada medio 2010, ketika saya masih menggeluti dunia akting. Sebagai artis pemula yang masih mendapat peran kecil-kecilan, tentu saja waktu itu duit saya juga belum banyak. Hahaha. Ketika itu Yusuf menjadi figuran dan merasa nasibnya tidak jelas. Suatu hari, akhir tahun 2010, ia mengajak saya mencari peke

Masa Kecilku: Gara-Gara Buku Kumpulan "Kliping" Cerpen

Kalau tidak salah, dua puluh tahun lalu, ketika masih berumur 5 tahun, pada suatu sore saya menemukan sebuah buku tulis yang di dalamnya berisi kumpulan cerpen koran yang dikliping dengan sangat rapi dan telaten di meja belajar kakak saya. Katanya buku itu milik sepupu kami dan ia sengaja "mewariskannya" ke kakak. Buku kumpulan cerpen "legendaris" itu. Cerpen ini jadi salah satu favorit saya. Saya yang suka membaca pun amat senang mendapati ada buku cerita semacam ini di rumah, karena sebenarnya pada saat itu belum satu pun buku cerita saya miliki. Paling hanya buku bergambar dan saya sudah bosan dengan buku cerita bergambar. Maka saya membaca cerpen-cerpen di buku ini seperti memainkan mainan baru; susah berpisah. Meski beberapa cerita di dalamnya agak membingungkan, karena beberapa kata belum saya pahami artinya, saya baca saja setiap cerita sampai habis.

Sebuah Akhir: Saya Ingin Pergi Sejauh Mungkin ke Luar Angkasa untuk Melupakanmu

Saya sudah mencoba lari mencari pintu lain, tapi tetap saja ujung-ujungnya kamu yang berdiri di sana. Kamu tidak menoleh pada saya, juga tidak menoleh pada siapa-siapa. Hanya memandang bayangan yang hilang ditelan gelapnya hari. Setiap hari saya dan kamu seakan diselimuti malam. Saya dan kamu serba tidak pasti. Di pintu itu kadang-kadang kamu adalah batu, tetapi di lain waktu kamu berubah jadi salju. 

[Puisi]: "Mati Kutu" karya Ken Hanggara

Semalam ada bintang jatuh di langit kota kita Perjalanan dua jam kusingkat jadi satu setengah Dan aku berdoa agar setelah ini segalanya baik-baik saja Kau di sana bahagia Aku di sini bahagia Seandainya tubuhku sebongkah es krim rasa cokelat Semalam aku segenang cairan di lantai kafe itu Membasahi sepatu dan sandal tukang kencan Membasahi sandalmu juga yang berada persis di depan sandalku Dan barangkali membasahi dadaku sendiri yang rongga Mati kutu semalam ditutup pertunjukan bintang jatuh Di bawah langit kota ribuan orang tumpah ruah Tetapi hanya aku yang melihat bintang jatuh Dan aku berdoa dengan panjang di perjalanan Sambungan doa-doa terdahulu yang kurang ajar Sebab tanpa izin dan permisimu -5 Juni 2016-