

Ya, memang tidak banyak yang hadir. Tapi belasan orang berkumpul setelah tiga tahun berturut-turut tidak ada acara buka bersama, cukup menggembirakan dan patut disyukuri. Tadinya saya berharap semua teman bisa hadir, tapi agaknya mustahil. Kesibukan membuat jarak beberapa dari kami kian jauh dan entah bagaimana bisa memenggal jarak itu dan mengembalikan seperti pada masa SMA dulu.
Afri, tuan rumah acara kumpul-kumpul kali ini, perempuan berjibab ungu yang foto di samping saya, dulunya kocak dan tukang usil. Sekarang agak berubah sebab sudah menikah, meski tetap saja ia dan Ruzika (perempuan yang bergaya ala presenter di foto yang bertiga) dan Oki (berbaju merah), juga Fendika (cowok baju merah), saya di-bully dengan kalimat, "Wah, Ken Hanggara datang! Foto bareng dong!" Kalimat itu tentu saja diucap dengan raut wajah seakan saya ini artis dan mereka penggemar garis keras, padahal mirisnya tidak ada 'foto bareng', dan saya cukup mulas menahan tawa, dan tentu saja berharap mereka tidak muntah karena belum azan maghrib.
Ilham, si ketua kelas, yang memegang kamera, agaknya dari dulu selalu menaungi kami. Jabatan ketua kelas dan bagian memikul beban berat tidak juga lepas darinya, meski kami tidak lagi sekelas, dan beberapa dari kami terlihat lebih tua ketimbang dulu (kecuali saya). Hahaha. Bersama Heri (yang berkemeja), Ilham membelikan kami nasi bebek dan ayam goreng, meski kenyataannya sewaktu dibuka, semuanya berisi ayam goreng saja.
Lelaki yang berdiri di belakang di dekat saya adalah Bang Rozik dan dulu saya memanggilnya Bang Tigor, adalah sosok kocak namun tadi juga jadi korban bully-an. Entah kenapa teman-teman banyak yang saling bully. Barangkali kangen adalah jawaban yang tepat.
Saya tentu saja ikut membully beberapa teman, terutama Maya (entah yang mana orangnya). Tapi bukan karena kangen, melainkan karena dulu dia musuh bebuyutan saya. Tadi ketika pertama ketemu, setelah beberapa tahun tidak bersua, Maya berlagak sok imut saat menanyakan kabar saya. Bukannya menjawab dengan lancar, saya malah sibuk ketawa dan perut saya jadi sangat sakit. Barangkali itu senjata Maya dalam rangka peringatan pengibaran bendera peperangan sebagaimana dahulu kala.
Sebagaimana Bang Rozik, Maya datang terlambat. Entah apa yang mereka alami di luar sana sebelum akhirnya datang belakangan. Mungkin karena sibuk, atau mungkin sengaja, karena biasanya tamu yang datang paling akhir jadi pusat perhatian. Untuk alasan yang satu ini, sepertinya memang sengaja Maya lakukan.
Teman lain yang juga hadir ada Ainis, Dita dan Setyaningsih. Dulu, jujur saja, saya sering berantem dengan Dita dan Ainis, tapi tidak tahu kenapa pada saat bertemu jadi sungkan sendiri. Mungkin karena mereka terlihat lebih tua dari dahulu kala, atau mungkin saya yang masih tetap awet muda dan sulit melupakan momen-momen ketika perang demi perang berlangsung ketika itu. Saya masih ingat waktu pinjam buku matematika Ainis dan besoknya tidak masuk sekolah. Buku itu tentu dipakai pada hari itu dan saya merasa seperti penjahat kelas internasional gara-gara buku yang ia butuhkan saya bawa. Dita sendiri beberapa kali menyebut saya penderita darah tinggi, karena pada saat itu saya kadang-kadang kesal padanya.
Yang terakhir, but not least, adalah Setyaningsih, teman paling misterius dan paling silent ketimbang yang lain. Jika bicara sesuatu yang lucu pun, ia seperti tenggelam dalam gemuruh gaib, sehingga suaranya tidak bakal mudah kita tangkap. Entah kenapa ia begitu. Mungkin bawaan sejak lahir, saya tak tahu, tapi dulu beberapa kali Setyaningsih saya bikin jengkel, namun tentu saja tidak sesering teman lainnya, sebab ia lumayan pendiam dan saya tidak bisa mem-bully orang pendiam.
Ini hanya sedikit cerita yang bisa diungkap. Seandainya yang datang lebih banyak, mungkin sudah jadi cerpen, atau barangkali bisa jadi ide cerita FTV, sebagaimana yang selalu Afri katakan: "Ken Hanggara ini penulis beken, penulis ngartis..." dan entah apa lagi. Saya lupa, bukan karena apa-apa, melainkan tadi cukup kesulitan meredam sakit di perut.
"Artis dari Hongkong?!" balas saya dalam hati.
Tapi toh ujung-ujungnya kami semua tertawa. Begitulah acara buka bersama sekaligus reuni. Kadang-kadang kita merindukan hal sederhana seperti bully-an, yang dulu mungkin saja membuat sebal. Tapi, kita sudah dewasa dan sudah ada yang menikah dan dua puluh tahun lagi menjadi tua. Hidup memang harus berubah, dan waktu tidak bisa ditarik mundur.
Comments
Post a Comment