Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Matinya Penyembah Puisi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Rabu, 19 September 2018)        Ali Sudarwin pernah mengatakan dalam sebuah diskusi di gedung kesenian di kota kami, bahwa dia akan mati pada umur dua puluh delapan. Pada waktu itu tidak banyak yang menganggapnya serius atau malah tidak ada sama sekali yang menduga bahwa di usianya yang keduapuluh delapan, persis empat tahun setelah ucapan itu dia katakan di diskusi tersebut, dia mati gantung diri.     Saat mendengar kabar itu, aku sakit dan berbaring sendirian di rumah yang kusewa, sebuah rumah yang dapat sewaktu-waktu roboh saking busuknya. Di sini kurawat diriku sendiri dengan banyak istirahat dan minum air putih, karena tidak ada uang untuk pergi ke dokter.     Sejak dulu aku percaya Ali Sudarwin tidak bercanda dengan ucapannya itu. Setelah memastikan yang terjadi bukan mimpi, aku membiarkan penelepon berceloteh sendiri di seberang sana selagi kupandangi langit-langit kamar dan membayangkan teman lamaku itu.

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Cerpen]: "Kencan Terakhir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi, 31 Agustus 2018)    Pada hari terakhir itu kami sepakat untuk kencan sehari penuh. Dimulai dari subuh hingga malam hari, kami memikirkan tempat mana saja yang dituju. Aku tahu ini aneh, tetapi Maria tak mempersoalkan apa pun.     Barangkali saja kami bakal bosan dan berharap hari itu berakhir lebih cepat. Atau bisa saja malah ketagihan, sehingga esoknya kami harap kami tidak pernah putus seperti ini.     Namun, Maria menetapkan hari ini benar-benar hari yang terakhir. Kami tidak bisa lagi bersama, karena perjodohan yang dirancang keluarganya dirasa lebih baik daripada terus bersamaku. Aku memang terlalu banyak janji pada Maria, tapi tidak juga kupenuhi janji tentang aku yang akan menikahinya suatu hari nanti itu. Maria lama-lama bosan, dan akhirnya cintanya kepadaku luntur. Aku dianggap tidak berkomitmen, dan ia sangat kecewa.     Maka, di kencan terakhir kami, kubawa segala benda pemberiannya, dan kubilang pada Maria supaya dia menyimpannya atau m

[Cerpen]: "Di Kota Aneh Tempat Sebagian Ingatanmu Hilang" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Aku tidak tahu di mana aku sekarang, tetapi kepalaku pusing dan mendadak terbit pikiran bahwa aku harus segera mencari makan. Di sekitarku tidak ada orang dan kukira ini sudah lewat tengah malam. Aku tahu-tahu terbangun di teras sebuah toko boneka, di waktu sesepi ini.     Apa yang terjadi?     Perutku memang lapar, jadi gagasan mencari makan tidak sepenuhnya muncul oleh rasa pusing. Aku melangkah sambil mengingat sesuatu. Mungkin ada yang berbuat jahat padaku, tetapi aku tidak tahu apa alasan seseorang berbuat begitu?     Aku betul-betul tidak ingat, dan usaha mengembalikan ingatan malah membuatku makin pusing. Aku mengumpat dan terus berjalan dengan tenaga yang aku rasa sebentar lagi bakalan habis. Di suatu pertigaan, aku berhenti dan memandang ke seberang. Ada bangunan besar, sebuah hotel terbengkalai yang kukira sudah puluhan tahun kosong.     "Hotel ini puluhan tahun tidak difungsikan," kataku begitu

[Cerpen]: "Dibantu Hujan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Setelah mencoba beberapa kali hingga lantai kamarnya penuh bergumpal-gumpal sampah kertas, seorang pengarang yang tidak disebutkan namanya keluar kamar. Di luar langit begitu pekat dan tentu hujan kemungkinan besar akan turun.     "Seandainya dalam setiap tetes air ini muncul kata-kata," batin si pengarang tanpa nama itu.     Dia tidak sedang bercanda dengan diri sendiri, atau dia tidak suka bercanda dengan hidupnya yang merana. Sebagai pengarang, ia tidak terlalu dikenal dan alangkah banyak karya yang dibuat dengan susah payah, ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Maka, di satu saat ketika otaknya memikirkan hal ini, yakni bahwa dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata, ia tidak sedang membuat lelucon.     Entah berapa tahun sudah pengarang yang tidak disebutkan namanya ini tidak lagi bergairah terhadap lelucon, sebab baginya, hidup menderita dengan uang pas-pasan dan banyak utang, sudah lebih dar