Skip to main content

[Cerpen]: "Dibantu Hujan" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 19 Agustus 2018)

    Setelah mencoba beberapa kali hingga lantai kamarnya penuh bergumpal-gumpal sampah kertas, seorang pengarang yang tidak disebutkan namanya keluar kamar. Di luar langit begitu pekat dan tentu hujan kemungkinan besar akan turun.
    "Seandainya dalam setiap tetes air ini muncul kata-kata," batin si pengarang tanpa nama itu.
    Dia tidak sedang bercanda dengan diri sendiri, atau dia tidak suka bercanda dengan hidupnya yang merana. Sebagai pengarang, ia tidak terlalu dikenal dan alangkah banyak karya yang dibuat dengan susah payah, ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Maka, di satu saat ketika otaknya memikirkan hal ini, yakni bahwa dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata, ia tidak sedang membuat lelucon.
    Entah berapa tahun sudah pengarang yang tidak disebutkan namanya ini tidak lagi bergairah terhadap lelucon, sebab baginya, hidup menderita dengan uang pas-pasan dan banyak utang, sudah lebih dari cukup disebutnya sebagai lelucon.
    Suatu ketika seorang asing berkata padanya, "Suatu hari nanti Anda jadi pengarang terkenal."
    Barangkali dia terlalu berharap, dan sayangnya harapan itu tidak sesuai kenyataan. Maka, seseorang perlu diberi piala.
    "Orang yang menyebutku kelak mampu jadi pengarang terkenal adalah pelawak terlucu sejagat raya!" katanya penuh ironi, di depan kekasih, yang kemudian pergi tanpa meninggalkan pesan. "Sayangnya, aku tidak ketemu lagi dengannya, dan setiap kali ada niatan ingin mencari orang itu, dompetku kusut. Coba kalau kami ketemu, sudah kuberi piala dia!"
    Tentu, yang dimaksud 'piala' tidak lain adalah bogem mentah.
    Pengarang yang tidak disebutkan namanya ini kesal dengan segala harapan, dan ia tak tahu lagi harus berbuat apa terhadap seluruh karya yang ia buat. Ia benar-benar telah menerapkan wejangan dari sastrawan senior, yang seling bolak-balik luar negeri hanya dari tulisan yang beliau buat, dan itu sebabnya si pengarang yang tidak disebut namanya ini mematuhi nasihat beliau: "Bahwa berkaryalah dengan jujur, sebab itu yang penting. Jujur!"
    Tidak ada kata dusta di kamus kehidupan pengarang yang tidak diketahui namanya ini. Memang sudah jadi modal yang kuat. Hanya saja, karya-karya yang dia buat belum menarik minat penerbit. Ada banyak sekali alasan yang diungkap, dan dalam tiap alasan kadang-kadang ada pula alasan lain. Alasan di balik alasan.
    Si pengarang yang tak akan pernah disebutkan namanya ini muak mendengar hal itu. Maka, malam ini, ketika dirasanya hujan akan turun dengan sangat deras, salahkah ia berangan bahwa tiap tetes air yang akan turun dari langit, berubah menjadi kata-kata?
    Jika saja itu bisa, anggaplah demikian, jika saja keinginan absurd itu bisa terjadi, di mana ia dapat mengerjakan karya terbaiknya? Mungkin dengan membuka jendelanya, ia bisa membiarkan tetes air yang berubah jadi kata-kata tadi segera menyelinap masuk ke kepalanya. Atau mungkin sekalian ia gelar tikar di teras kamarnya yang sempit, lantas dibiarkannya tetes air hujan menerjang laptop tuanya yang sudah nyaris sekarat?
    "Seandainya bisa seperti itu," pikirnya setengah gembira, setengah miris, "maka di dunia ini akulah pengarang paling bahagia, sebab hanya aku yang tahu rahasia bahwa di surga sana, Tuhan sedang berpihak pada pengarang yang sering kehilangan kesempatan, atau malah tidak punya kesempatan sama sekali!"
    Pikiran ini sedikit banyak menghibur, tetapi tetap saja tidak ada kata-kata muncul dari setiap tetes air hujan. Jika saja benar demikian, kata-kata macam apa yang bakalan mendaras setiap kalimat, setiap baris, setiap paragraf, dan bahkan setiap lembar halaman karyanya? Bahkan, hujan tidak punya otak.
    "Baiklah, mungkin imajinasiku kurang liar," sambung pengarang yang tak disebut namanya. "Aku perlu membayangkan ada pikiran di setiap tetes air hujan, atau sebut saja otak—yang tak tahu bagaimana bentuk dan wujudnya, sebab tetes air itu 'kan benda cair, dan di dalam benda cair tidak mungkin terpajang benda padat seperti si otak yang kuinginkan. Mungkin bentuknya juga cair, tetapi terdiri dari zat yang berbeda, sehingga dengan begitu, tetes-tetes air yang membentuk karyaku nanti tidak kacau dan bagus. Tentu saja, tulisan orang berotak amat jauh jika dibandingkan tulisan orang gila yang tak berotak. Dan jutaan tetes hujan tanpa otak hanya menunjukkan pada dunia bahwa aku mungkin sudah gila."
    Pengarang yang tidak disebutkan namanya ini masuk kembali ke kamarnya dan ia dengan wajah semringah, memandangi setiap gumpal sampah kertas yang bergelimpang di lantai kamar. Dia pungut salah satu kertas tersebut dan membaca sekilas bahwa setiap kertas mungkin saja ditaburi hampir empat ratus kata. Dan jika memang benar semacam itu cara menghitungnya, maka hanya dalam sepuluh detik, ia mampu membuat tulisan yang lumayan tebal; sejenis mini novel. Ada berapa tetes air hujan dalam sepuluh detik di sekitar kamar kostnya? Dan, sudah pasti, tidak bisa tidak, dalam suatu malam dengan hujan yang sangat deras, bukan tidak mungkin ia menghasilkan sebuah novel fenomenal yang cukup tebal.
    Tetapi, pengarang tanpa nama tahu ia tidak harus membuat karya setebal bukunya Jostein Gaarder tentang gadis cilik bernama Sophie yang bertualang di dunia filsafat dan segala yang sejenis itu. Ia juga tidak perlu membuat karya dengan cerita yang kompleks dan berkelanjutan hingga beberapa generasi seperti The House of The Spirits-nya Isabel Alende. Ia boleh saja menulis sesuatu yang tak terlalu tebal, namun kaya makna, seperti punya Ernest Hemingway yang terkenal: The Old Man and The Sea. Atau barangkali La Casa de Papel-nya Carlos Maria Dominguez? Atau karya dengan ketebalan wajar, tapi mengangkat sesuatu yang simpel dan mendalam, seperti The Curious Incident of the Dog in the Night-Time-nya Mark Haddon?
     "Aku bebas menulis karya macam apa dan boleh saja berhenti jika memang aku mau berhenti saat itu juga, bukan?" tukas si pengarang yang tidak disebutkan nama dan alamat domisilinya ini, setelah ia berpikir beberapa lama, dan memutuskan bahwa soal waktu dan ketebalan karya itu nomor dua, sebab yang terpenting adalah kejujuran dan kualitas.
    Apa yang pembaca butuhkan dan buku macam apa yang kiranya belum ada banyak di pasaran? Itulah yang perlu dia tulis!
    Pengarang yang tidak disebutkan namanya pun dengan tawa lepas dan bebas, dapat memungut semua sampah kertas di lantai kamarnya, lalu memasukkannya ke keranjang sampah di samping meja kerja. Ia pergi ke sudut kamar yang terdapat meja lain dengan beberapa stoples dan termos dan wadah sendok serta piring. Di sana ia membuat segelas kopi dan berniat memulai ritual menulisnya setelah hujan benar-benar turun nanti.
    Sebelum kopi selesai diaduk, hujan benar-benar turun, dan sangat deras. Pengarang yang tidak disebutkan namanya pun buru-buru meninggalkan pojok kamar tempat meja makan tersebut, dan duduk di depan laptop tuanya di meja kerja. Ia mulai berimajinasi bahwa ia tidak perlu duduk di bawah tetes air hujan, sebab laptopnya sudah pasti akan rusak jika terkena serbuan air. Ia cukup membuka jendela balkon, lantas membiarkan udara sejuk hujan mengalir masuk membelai wajahnya.
    "Jika benar dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata yang tepat, aku tak akan pernah libur menulis. Akan kubuat karya-karya hebatku setiap kali hujan turun. Di mana-mana akan terbit karyaku yang disukai, dan tentu saja penerbit-penebit yang tidak sudi menerimaku sebelumnya akan malu pada saatnya nanti! Dan, oh, ya! Aku hampir saja lupa seseorang yang pernah bilang bahwa aku kelak bisa menjadi pengarang yang sangat terkenal. Ia tidak akan kuberi piala berupa tinjuan, tetapi peluk hangat, dan aku tidak akan gengsi berkata begini, 'Setiap kata adalah doa, dan Anda dahulu kala pernah berdoa bahwa saya bisa menjadi pengarang terkenal, dan Anda tentunya tahu doa Anda itu terkabul!' Aku tahu secara pasti, itulah kalimat terbaik yang bisa kukatakan ke orang yang sudah berjasa mendoakanku!"
    Di tengah segala macam pemikiran itu, pengarang yang tidak disebutkan namanya ini mulai mengetik beberapa kalimat awal. Ia tidak tahu dari mana asalnya tiap kalimat bisa mengalir begitu saja, dan di udara di sekitarnya, ia tidak melihat adanya aliran kata yang mungkin lahir dari setiap tetes air hujan.
    "Aneh," pikir si pengarang yang mulai optimis ini, "kupikir kata-kata tersebut ada dan terlihat dalam wujud tertentu. Mungkin berupa asap berwarna sehingga dapat aku tahu asap tersebut mengalir kemari dan kuhirup melalui lubang hidungku yang besar ini. Tapi, barusan tidak terlihat apa-apa. Hanya udara sejuk di sekitarku!"
    Toh si pengarang yang tidak disebutkan namanya itu tetap menulis, dan sesekali ia sengaja berhenti hanya agar dapat memastikan susunan kalimatnya bisa terbaca dengan baik. Dan memang, apa yang barusan ia ketik lumayan bagus.
    Maka, ia teruskan upaya mengarang di tengah malam hujan yang deras, dan tentu, setiap tetes hujan tidak melahirkan kata-kata bagi siapa pun. Tidak ada yang melahirkan kata-kata sebaik pikiran setiap pengarang yang dilahirkan dengan kemauan sekeras baja demi menaklukkan halaman kosong. Dia barangkali gila, sebab berpikir macam-macam tentang air hujan yang mampu membuatnya menulis lebih baik. Tetapi, orang berpikiran normal hanya akan berkata, "Ia sedang memotivasi dirinya sendiri."
    Kelak, pengarang yang tak disebutkan namanya ini tahu, malam ajaib itu tidak lain adalah berasal dari pikirannya sendiri. Tentu saja, dia masih harus bersabar menghadapi lebih banyak cobaan. [ ]

    Gempol, 2017-2018
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri