Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Sebungkus Cokelat dan Kisah-Kisah di Baliknya" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Flores Sastra edisi 8 Januari 2017)     Kim memberiku sebungkus cokelat untuk menghabiskan malam terakhir tahun ini. Ia tidak bicara apa-apa selain membahas cokelat itu, tetapi aku tidak sesemangat dulu dalam menghadapi cokelat dan aku tidak akan memakan cokelat ini. Aku hanya terus mendengarkannya dengan riang berkisah soal cokelat-cokelat yang membuatnya hidup. Dulu dia hidup dari cokelat; orangtuanya mati ditembak orang, dan Kim bertahan hidup dengan berjualan cokelat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.     "Sampai sekarang aku tidak mungkin melupakan jasa cokelat. Tidak ada cokelat di dunia, sama dengan tidak ada diriku. Barangkali waktu itu aku sudah mati atau dijual ke rumah bordil kalau tidak pergi sejauh mungkin dengan berjualan cokelat," kenang Kim penuh semangat.

[Cerpen]: "Tata Cara Menghadiri Pernikahan Mantan Pacar" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Nusantaranews edisi 8  Januari 2017)     Sesungguhnya Jim boleh makan apa pun di pesta pernikahan Maria, mantan pacar yang meninggalkannya sepihak, tetapi kejadian dua hari silam seakan awal dari lahirnya suatu wabah berbahaya bagi keselamatan bayi-bayi.     Cerita ini barangkali sulit dipercaya, tapi aku mendengarnya langsung dari Jim. Ia betul-betul pergi ke pesta itu dengan mengenakan tuxedo terbaik dan menyiapkan mobil sport terbagus yang ia miliki, yang bahkan jarang diturunkan ke jalan kalau bukan demi urusan penting.     "Hari pernikahan Maria selalu penting," jelasnya padaku.     Aku tak banyak merespons kata-katanya ketika Jim bercerita panjang lebar tentang malam itu; ketika ia mulai merasakan adanya debaran ganjil di perutnya. Debaran aneh ini menyebar seiring waktu ke sekujur tubuh sehingga lima menit setelah mobil sport tadi meninggalkan garasi, Jim merasa hidupnya bakal berakhir.

[Cerpen]: "Undangan bagi Para Semut" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 8 Januari 2017)     Begitu banyak semut menyerbu tempat tidurku. Kukira aku sedang bermimpi. Jika tidak bermimpi, barangkali semut-semut itu sebatas khayalan, tetapi rasa sakit setelah dua semut menggigit tengkuk dan ketiak, membuatku tahu ini bukan mimpi.     Aku bangkit dan memeriksa barisan semut tampak menghitam di tepi tempat tidur. Dengan kesal, kugencet barisan tersebut dari ujung hingga ujung. Beberapa semut kabur dari kelompoknya, sehingga dengan amat terpaksa, aku harus benar-benar bangun dan percaya bahwa berhenti tidur setengah jam saat badan ini lelah, tidak bakal membuatku mati. Aku memang tidak mati, tapi lelahku makin tak keruan. Esoknya, aku nyaris kena amuk bos gara-gara menguap berkali-kali, dan karena takut dipecat, semut-semut itu patut kubasmi.

[Cerpen]: "Jangan Bawa Taksi di Malam Hari" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Jumat, 30 Desember 2016)     Taksi berputar-putar di kawasan yang belum pernah kulewati. Sudah satu jam lebih, tapi si penumpang terus saja memberi instruksi yang lama-lama membuat perutku terasa mual. Sesekali ia minta lurus. Ketika di pertigaan, taksi berhenti, karena penumpang itu meminta demikian. Ia bilang untuk mengundi dulu arah yang sekiranya aman: kanan atau kiri?     Aku tidak tahu siapa penumpang wanita berwajah bulat tetapi kurus ini. Aku tidak tahu ke mana tujuannya atau dari siapa ia lari, tetapi karena taksi ini aku yang bawa, otomatis aku harus sedikit ikut campur.     Kutanyakan sebenarnya ia berhenti di mana? Barangkali bisa to the point, langsung sebut alamat, dan aku bisa mengantar tanpa membuang waktu. Tentu mesin argo terus berputar, tapi aku tak memikirkan itu. Yang kuupayakan dalam profesiku: penumpang sampai tujuan dengan selamat, dan kami sama-sama tidak dirugikan.     Penumpang ini merugikanku sebagai sopir. Me

[Cerpen]: "Bahkan, Namrud Saja Mati!" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 Desember 2016)     Pada suatu hari, sekelompok nyamuk memutuskan menyerbu dua manusia dewasa yang sedang duduk menunggu kereta. Hari sudah malam dan tentu saja sebagian besar orang sudah tidur. Tetapi, nyamuk-nyamuk di kawasan stasiun tidak perlu pilih mangsa; mereka bisa menyasar siapa saja, asal berdaging dan berdarah, dan asal dapat membikin perut kenyang.     Baiklah, sampai di sini, kita sudah tahu rencana para nyamuk yang tinggal di suatu stasiun malam itu. Tetapi, di kepala dua manusia dewasa ini tergambar rancangan lain, yang jauh lebih bernilai dan penting ketimbang sekadar mengisap darah makhluk hidup lain.     Manusia dewasa pertama, yang mengenakan jaket dan agak cabul, berpikir di suatu tempat terdapat seorang gadis yang mau memberinya kehangatan. Gadis itu bisa berciri- ciri apa pun, misal anggaplah berambut panjang dan berbibir merah tipis.     "Gadis berbibir merah tipis, dan kulit seputih gading," pikir si

[Cerpen]: "Keluarga Frank" karya Ken Hanggara

Gambar: Sacrifice oleh Dedi Blesak (Dimuat di Flores Sastra, 19 Desember 2016) Ada sebuah rumor bahwa keluarga Frank, yang tinggal di depan rumah Mudakir kira-kira sebulan terakhir ini, tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Pada suatu hari penting, yang mana Mudakir dan seluruh keluarga besarnya merayakan ulang tahun Leli, bungsu Mudakir, Frank beserta istri diundang. Tujuan utama Mudakir: menguji apakah benar keluarga Frank tidak mengonsumsi daging sapi? Memang , baik Mudakir maupun istrinya sudah tahu, bahwa orang tidak suka makan daging sapi adalah karena berbagai sebab. Ia bisa membaca banyak referensi dan juga dapat mencari informasi di internet tentang penyakit akibat terlalu banyak menelan daging dan semacamnya, t et api Mudakir dan istrinya juga tahu betapa keluarga Frank sama sekali sehat. “Lagi pula,” kata istri Mudakir di malam hari sebelum esok pesta digelar, “kita tidak benar-benar tahu apakah mereka memang benci daging sapi atau memilih tidak makan da

[Cerpen]: "Menantu Defensif dengan Segala Usaha dan Ketulusannya" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: https://kikisenyo.wordpress.com/2011/01/19/its-my-sketch-jihan-rana/ (Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 10 Desember 2016) Rumah kami berdiri di pinggir jalan raya, berjarak dua puluh meter dari jembatan layang yang baru untuk jalan tol. Anak-anak kami yang kecil pun sering harus kami peringatkan jika ingin bermain di kolong jembatan, karena kendaraan besar macam bus sering berhenti mendadak untuk menurunkan atau mencari penumpang di sana. "Anak-anak bisa mati ketabrak bus. Anak-anak yang tidak berdosa memang masuk surga, tetapi orangtua seperti kalian mungkin masuk rumah sakit jiwa," kata mertuaku. Ia tersenyum nyinyir . Ia benci basa-basi. Ucapannya hampir tak terkontrol. Ia bilang itu setelah melihatku mengunci anak-anak di rumah pada siang hari, agar tidak main di bawah jembatan. Kalau malam, mereka tidak akan keluar. Anak-anak itu takut hantu dan percaya hantu dapat memakan manusia.