Skip to main content

Posts

Masa Kecilku: Pendek, Bukan Pendekar

Ada teman bermain dari dusun sebelah yang dulu waktu kecil dipanggil Pendek (cara pengucapannya sama seperti saat kita menyebut kata 'pendekar', hanya saja tanpa huruf 'a' dan 'r'). Tidak tahu kenapa ia disebut Pendek. Yang jelas ia tidak bertubuh pendek, sebab waktu itu anak kecil yang paling kelihatan tua adalah si Pendek ini. Umurnya dua atau tiga tahun di atas saya dan badannya hitam besar. Saya hampir tidak pernah membuat masalah dengannya, begitupun sebaliknya, karena Pendek ini tidak pernah berlagak sok. Orangnya santai, meski kalau berkelahi kemungkinan besar pasti menang, karena ketika itu belum ada bocah berbadan sekekar dia. Pendek suka bermain layang-layang di sawah dan sesekali sepak bola. Saya sering meledeknya dengan maksud bercanda, dan ledekan itu juga tidak berlebihan. Semacam ledekan pertemanan. Pendek tidak pernah membalas selain melihat mata saya beberapa detik, seperti seorang lelaki tua menatap cucunya.

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Wonderland" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura edisi Rabu, 20 April 2016) Maria berhenti merengek setelah saya telan tubuhnya bulat-bulat. Saya lebih dulu membujuk anak ini agar masuk lubang kelinci Wonderland, tempat Alice si gadis aneh berpetualang bertemu para makhluk sinting di bawah sana, untuk kemudian menenggak habis sebotol ramuan yang membikin tubuhnya menyusut. Maria mula-mula tidak mau, tetapi kata saya, di bawah sana ada kelinci berdasi. "Wah, yang benar, Om?"

[Cerpen]: "Agama Baru Penemu Dompet" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 17 April 2016) Sebuah dompet tergeletak di dekat selokan, berisi uang jutaan rupiah dan beberapa lembar tulisan aneh. Aku tidak tahu siapa pemilik dompet ini, tetapi kukira dia manusia dermawan dan tidak memikirkan soal dunia. Salah satu tulisan itu berbunyi: boleh ambil sesuka Anda, tetapi jangan semua, dan kembalikan dompet itu ke tempat di mana Anda menemukannya. Memang aneh, tetapi karena dompet ini nyata, bukan gaib, dan berisi pecahan uang seratus ribu dalam jumlah sedemikian banyak, diam-diam aku menepi dan memeriksa lebih teliti. Sudah pasti, yang dimaksud ambil oleh tulisan itu tidak lain adalah uang. Jadi, aku boleh ambil berapa pun, tetapi sesudah itu harus menaruh dompet itu kembali? Jalanan ini sepi. Jam segini siang, biasanya bus-bus dari luar kota melintas dan tak ada apa pun selain debu. Sesekali mungkin pedagang es tua yang memikul dagangannya sambil menggoyang-goyang lonceng ciri khas dengan gerakan pilu dan kepasra

[Cerpen]: "Pak Kodir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Republika edisi Minggu, 17 April 2016) Orang-orang berkumpul di masjid pagi itu, menonton seorang ahli ibadah sedang berada dalam posisi sujud selama lebih dari satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat . Orang memanggilnya Pak Kodir. Sehari-hari jualan soto di pertigaan dan semua orang kenal soto ayamnya yang lezat. Jadi, ketika kabar ini merebak, orang-orang pun berpikir, "Siapa yang jual soto seenak itu lagi, ya?" Meninggalnya Pak Kodir segera jadi kabar yang melesat ke segala arah. Tidak ada yang bicara keburukan; semua kenal beliau baik dan suka memberi makan gelandangan, pengemis, atau sesekali orang gila. Siapa pun mampir ke warungnya, tetapi tidak bawa uang, tidak perlu khawatir, karena Pak Kodir bakal memberi seporsi gratis buat Anda (kalau mau lebih juga boleh). Meski begitu, sotonya laris manis dan beliau tidak pernah rugi.

[Puisi]: "Kereta" oleh Ken Hanggara

Sebelum kereta berangkat, kubawa koper berisi namamu Nama dari dua huruf vokal dan tiga konsonan Hanya namamu Lalu semua seakan tidak penting Baju-baju, pasta gigi, sandal jepit, bahkan mobil Sebab koperku hanya muat membawa nama Koperku doa dan kereta waktu azan Hari ke hari bertambah lama kita Maju ke depan dan koper kian erat kupeluk Kubawa sampai jauh dan kupikul ke gunung dekat stasiun tujuan Di stasiun tujuan ada kios kecil Jual permen, kacang goreng, dan pulpen Kubeli sebatang pulpen dan sekali lagi kususun namamu di telapak tangan "Apa?" tanya seorang bocah "Rahasia," kataku Namamu rahasia dan biar hanya Tuhan dan barangkali kita yang tahu Kubawa koper itu sekuat-kuatnya ke puncak gunung Jika lelah kuintip telapak tanganku Tentu saja, pulpennya harus kualitas nomor satu Biar kalau kena hujan, tinta pengukir namamu tidak luntur Sekarang kereta bersiap-siap Aku dan koperku--berisi namamu--sudah duduk manis dekat jendela Ada

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.