Skip to main content

Posts

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada. Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa. Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung. Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif. "Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

[Cerpen]: "Teori Hantu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Selasa, 8 Maret 2016) Saya tak pernah melihat hantu. Saya tak tahu siapa, apa, atau bagaimana itu hantu. Saya tak pernah mengenal hantu. Jadi, kalaupun pernah melihatnya, walau tidak kenal, barangkali saya tidak sadar atau tidak tahu kalau yang saya lihat itu hantu. Malam ini saya tidak ketemu siapa-siapa. Boleh jadi ketemu hantu, tapi saya tidak sadar apa di sekitar saya ada hantu? Hantu berwujud apa? Cair? Padat? Gas? Mungkin gas. Dari cerita-cerita yang saya pernah dengar, dan kebanyakan begitu: hantu bisa ke kamar tanpa perlu membuka jendela. "Tapi hantu itu seram. Tidak mungkin terbuat dari gas," bantah Kumi, teman saya. "Kata siapa gas tidak seram? Kentut kakakku seram kok!" kata saya. Kentut kakak memang seram dan bikin muntah.

[Cerpen]: "Skandal Ninja Ireng" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Kamis, 3 Maret 2016) Selama menghasilkan uang, segala yang kukerjakan bukanlah soal. Memang betul, duduk-duduk di teras sehabis lari pagi, atau main di pemancingan dari jam sepuluh pagi sampai menjelang ashar, atau sekadar menggelosor di ruang tengah yang ada TV-nya selama seharian penuh lebih tepat dianggap kerjaan orang yang tidak punya kerjaan alias kerjaan pengangguran kelas berat. Tapi, kalau aku tetap menghasilkan uang, meski dengan cara yang kelihatan pemalas, apakah masalah?     Hei, Bung! Di zaman serba susah, yang demikian tolong abaikan. Maksudku, soal menjadi 'terlihat rajin walau maling' atau 'terlihat mandi keringat padahal bukan'.

[Cerpen]: "Halte" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 28 Februari 2016) 1/ Sekarang hujan deras. Maria dan Timo terjebak di halte seberang rumah dan tidak bisa pulang, padahal Maria kebelet pipis. Sebagai lelaki sejati, Timo mau saja disuruh melindungi Maria agar pacarnya bisa menyeberang tanpa harus basah kuyup. Tapi, dia bukan payung. Dan salah sendiri juga tidak bawa payung. "Gara-gara siapa, coba!" kata Maria jengkel. "Yang bawa payung 'kan Bung Panu!"

[Cerpen]: "Tamu Tengah Malam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura, Jumat, 26 Februari 2016) Seorang lelaki mengetuk pintu rumahku tengah malam. Bukan tamu biasa, pikirku. Dan memang, dia bukan tamu biasa. Lelaki usia paruh baya, memakai batik lusuh, kopiah beludru, celana hitam pudar, dan sandal jepit yang belum ganti bertahun-tahun. Tadinya kukira Pak RT, yang entah karena ada kasus perampokan atau kemalingan atau apa pun itu, sehingga butuh membangunkanku dan warga lainnya. Ternyata bukan. Jelas, tidak ada kasus apa pun malam ini karena kampung terasa sangat sepi dan normal. Aku mengantuk tapi mencoba membuka mata. Tentu dia bukan penjahat. Aku tahu, bagaimanapun seorang penjahat tidak mungkin membangunkan mangsa tengah malam begini. Ini jelas orang bertamu. Siapa dia, aku tidak kenal; aku bisa mengintip dari balik jendela. Tapi, sesuatu yang penting agaknya sedang ia bawa.

[Cerpen]: "Bung Panu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, Minggu, 21 Februari 2016) Dalam sehari, saya lihat lelaki itu datang tiga kali. Pertama, jam delapan pagi. Kedua, sehabis zuhur. Terakhir, saat tukang tahu tek lewat dan memukul wajannya dengan ujung spatula: teng, teng, teng. Kalau Anda warga sini, pada saat suara-suara itu muncul, Anda sudah tahu bahwa jarum jam menunjuk angka tujuh dan matahari sudah lama tumbang. Apa yang dia lakukan, saya tak tahu. Baru dua minggu saya tugas di sini, menjaga kantor cabang salah satu koperasi secara bergantian. Kadang pagi hingga sore, atau pindah shift : dari sore hingga malam. Maka saya tahu bagaimana lelaki itu gusar dan malu-malu duduk di seberang jalan, di bawah pohon jambu di waktu-waktu yang telah saya sebut. Kadang, ia bahkan masuk ke areal parkir dan berdiri canggung selama dua menit. Saya tidak bisa bertanya pada yang bersangkutan seperti "Ada apa?" atau tuduhan tak mengenakkan: "Anda maling?" Saya tidak sekejam itu dan orang tahu