Skip to main content

Posts

Internet di Indonesia serta Perannya dalam Setiap Segi Kehidupan

Internet bagi kebanyakan orang Indonesia mungkin pernah menjadi semacam makhluk asing, tak semua orang mengetahui keberadaannya, apalagi menyentuhnya. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berinteraksi dengannya. Orang-orang itu biasa kita, orang awam, panggil dengan sebutan “orang pintar”. Mereka para ahli di sebuah bidang yang terus berkembang dari waktu ke waktu, sejalan dengan perkembangan pola pikir manusia modern. Bidang tersebut adalah teknologi informasi dan komunikasi.

Testimoni buku Dermaga Batu oleh Wahyu Prihartini, pembaca dari Pasuruan.

Dermaga Batu merangkum banyak hal tentang lekuk kehidupan. Perjuangan, pengorbanan, cinta, harapan, persahabatan, cerita tentang negeri, terangkum apik dalam tatanan kalimat yang menarik. Pilihan diksinya selalu tepat untuk mengapresiasikan hal yang penulis alami. Wahyu Prihartini

Resensi Buku Dermaga Batu oleh Najla Al-Faiq

Judul Buku : Dermaga batu Pengarang : Ken Hanggara Tahun terbit : 2013 Harga: Rp 42.000 Penerbit : FAM Publishing, Kediri Tebal halaman : xvi+192 halaman Buku kumpulan puisi ini menyajikan sekitarnya 100 lebih puisi yang sederhana. Namun bahasa yang digunakan penulis adalah bahasa yang variatif dan kreatif. Isi puisi lebih menjurus pada kehidupan. Cinta, sejarah, persahabatan dan kasih sayang, semua terangkum apik didalam buku berkover dermaga ini.

"Jakarta Bulan Desember" oleh Ken Hanggara

  S ebenarnya sudah lama—sejak aku SMP—aku ingin ke Jakarta, ingin melihat dan menyentuh Monas yang terkenal itu. Maka selesai sekolah, aku merantau ke Jakarta. Aku mendaftar ke sebuah manajemen artis, dan mendapat pendidikan dasar seni peran—bagaimana melatih pernafasan, konsentrasi, ekspresi, dan lain sebagainya. Aku sangat serius menjalaninya karena—selain bercita-cita menjadi seorang penulis—aku juga ingin menjadi seorang bintang film, atau setidaknya penulis skenario.

Kenangan, Cinta, & Warnet Berdebu

Aku punya mimpi yang cukup lama mendekam dalam hati dan pikiran. Namun mimpi itu, seperti sesuatu yang baru dan masih belum benar-benar sanggup berdiri kokoh dengan sendirinya tanpa penopang. Mimpi itu adalah menerbitkan tulisanku agar bisa dibaca banyak orang. Baiklah. Begini... Akan kumulai dari hobi masa kecilku.

Seratus Dua Puluh Tiga Anak Tangga

         Malam itu, mataku sulit terpejam. Tak ada kebisingan apa pun yang mengusikku. Mungkin karena pertama kali menginap di rumah Paman, butuh sedikit penyesuaian agar mata ini patuh pada rasa kantuk yang mulai datang. Hawa sejuk harusnya membantu, tapi tidak saat itu. Anganku melayang ke sebuah tempat yang belum pernah seumur hidup kudatangi; Bali.