(Dimuat di Inilah Koran, Minggu, 17 Januari 2016)
Jenazah Bung Dakir, yang
meninggal digilas truk siang ini, belum sampai hingga sore. Orang-orang
menggerutu. Mendadak, di kepala saya terdengar suara-suara bisikan; seandainya
yang mati bukan orang macam dia. Seandainya yang mati pejabat penting, atau orang
alim yang biasa menghidupkan masjid dusun yang nyaris roboh.
Entah datang dari mana
bisikan itu. Betapapun nyata ketimpangan posisi antara Bung Dakir dengan
pejabat penting berduit, atau Bung Dakir dengan orang alim dengan pahala
segunung, saya rasa tidak pantas pikiran itu. Saya usir segala pikiran jelek
dan menyulut rokok di teras. Saya kembali memikirkan kejadian semalam.
Rumah itu tidak penuh
pelayat. Sebagian sudah pulang dan memilih menunggu di rumah sampai jenazah
siap dibawa ke liang lahat. Toh, jenazah belum datang dari rumah sakit dan
mereka malas berbuat apa-apa di rumah Bung Dakir yang sempit.
Di dekat saya, duduk lelaki
plontos. Kami biasa memanggilnya Geni—dia saudara ipar almarhum. Geni, kali
itu, seperti berada di luar kebiasaan. Si pendiam ini mendadak banyak bicara.
Bagai penyiar radio profesional, bibir Geni tak sekering yang lalu-lalu.
"Akhirnya si bejat itu
mampus!"
Kalimat itu membuat saya
gamang. Saya tahu selesai Geni bicara, bahkan cuma kalimat kasar sependek itu,
tak ada seorang pun protes. Saya duduk agak jauh dari ruang tamu, atau
persisnya di teras ujung. Selain agar bisa merokok tanpa mengganggu orang lain,
saya juga tak tega melihat apa yang ada di dalam sana.
Lastri, istri Bung Dakir,
tidak pernah terlihat setertekan itu. Betapa tidak? Rumah ini rumah duka. Tapi
tidak satu pun, kecuali perempuan itu, yang menyimpan duka di wajahnya. Setiap
orang datang dan pergi dengan wajah biasa saja, bahkan beberapa ada yang
bercanda di sudut teras, entah bicara soal apa.
Mereka yang pergi, seperti
yang saya bilang, jenuh menunggu. Padahal saya tahu, di hari-hari lain, ketika
ada warga meninggal, semua orang kompak. Tak ada kata malas, apalagi jenuh,
walau harus menanti kedatangan jenazah berhari-hari. Bukti ucapan ini ketika
setahun silam Kang Salim mobilnya mengalami kecelakaan di luar kota. Jenazah
datang dua hari kemudian karena urusan administrasi rumah sakit, dan itu tidak
jadi masalah. Lalu, Bung Dakir?
Geni masih bicara panjang
lebar. Bersama beberapa tetangga yang duduk di sekitar kami, ia tidak berhenti
membahas keburukan almarhum. Saya memutuskan tidak ikut manggut-manggut,
sebagaimana orang lain, dan memang tidak akan bisa melakukan itu. Apalagi, jarak
beberapa langkah dari kami, Lastri terisak-isak seorang diri. Ada kerabat
perempuan mencoba menenangkan, tetapi saya tahu si kerabat tidak jauh beda
sikapnya dengan si Geni.
"Kamu ingat waktu
Dakir malak tukang siomay dekat pasar?" pancing Geni.
"Pamannya Kang Deri,
bukan?"
"Nah! Kalau bukan
saudara ipar saya, sudah saya hajar dia! Memang dasar bejat. Beraninya sama
orang renta!"
Saya merasakan emosi Geni
meluap-luap pada titik ini. Dadanya naik turun dan ia seperti belum lega.
Cerita kebejatan Bung Dakir semasa hidup terus digelontorkan, seakan suguhan
nikmat dalam suatu pesta. Seakan setiap pelayat yang hadir di sini, pergi dari
rumah mereka dengan perut keroncongan.
Di kepala saya, bisikan
aneh datang lagi. Seandainya yang mati bukan Bung Dakir. Seandainya yang mati
pejabat pemerintahan, misalnya. Sebejat apa pun tingkah laku si pejabat, ia
masih bisa terkesan baik saat meninggal. Orang mungkin saja dibayar untuk
membuat pernyataan betapa sang almarhum dahulu tidak pernah korupsi, tidak
pernah "jajan" di luar, tidak pernah menipu rakyat, dan sebagainya.
Atau, boleh jadi karena sungkan—sebab si pejabat dari keluarga kaya raya—omongan
buruk cuma ada di hati.
Saya ingat, bahkan melihat
insiden pemukulan itu. Geni juga di lokasi bersama saya, karena kebetulan kami
sama-sama pergi ke kawinan teman kerja. Ya, saya dan Geni kerja di satu
perusahaan. Di pasar, Bung Dakir kalap menghajar seseorang. Adalah hal biasa
bagi seorang preman untuk bertarung dan saling jotos dengan entah siapa
(biasanya sesama preman; memperebutkan lahan dan semacamnya), tapi saya shock
setelah tahu yang ia pukuli itu seorang renta sepantaran ayah kandungnya.
Penjual siomay itu
kesakitan dan seminggu tidak jualan. Lastri dan Genilah yang menelan akibat.
Bung Dakir ke luar kota saat itu; dia jarang pulang dan sekalinya pulang, cuma
minta jatah tidur atau uang pada istrinya. Lastri dan Geni harus membayar biaya
perawatan si penjual siomay sampai sembuh. Tidak hanya itu, Kang Deri, yang
terkenal santun dan bersahaja pun, tampak belum dapat menerima tindakan kasar
Bung Dakir pada pamannya, meski akhirnya si paman kembali bugar dan bisa
berjualan.
***
Satu per satu pelayat
pulang. Menjelang magrib, jenazah belum datang. Tidak ada seorang pun
berinisiatif menelepon pihak rumah sakit. Di sisi lain, Kang Juned, kerabat
Bung Dakir yang di rumah sakit, yang mengurus pengiriman jenazah kemari, juga
tidak memberi kabar. Seorang pelayat yang tidak sabaran menelepon Kang Juned,
tapi nomor ponselnya tidak aktif.
Sementara waktu bergulir,
orang mulai tidak peduli, atau bahkan tidak ingat betapa mereka datang ke sini
adalah demi berbagi duka. Lastri masih menangis—ia pindah ke kamar karena tidak
betah mendengar omongan Geni yang terus bicara soal kejelekan suaminya.
Saya sendiri tetap diam dan
entah berapa puntung rokok habis. Melirik ke dalam, suasana jauh lebih sepi
dari beberapa jam yang lalu, ketika pengumuman meninggalnya Bung Dakir
dikabarkan.
Saya bangkit dan menghela
napas. Orang mengira saya pulang, tetapi saya tidak ke mana-mana. Saya hanya
resah, karena omongan Geni makin ke sini makin menyakitkan. Tentu saja, saya
tak membela siapa-siapa, tetapi saya tahu sesuatu yang belum mereka tahu. Ingin
saya katakan pada sahabat saya ini, "Seandainya iparmu orang alim, walau
tak sekaya pejabat tinggi, apa kamu mau membicarakan kebaikannya? Seandainya
dia tidak sejahat semasa hidupnya, apa kamu tidak membencinya?"
Saya tahu dari awal Geni
memang tidak suka pada Bung Dakir. Pernikahan antara Lastri dan iparnya terjadi
bukan dari jalan lurus. Lastri hamil lebih dulu, sehingga mau tidak mau ia
harus menikah dengan bapak calon bayi yang dikandungnya. Sayang sekali, Lastri
dari awal sudah cinta. Begitupun Bung Dakir. Mereka memang cinta, tetapi Geni
tidak suka. Sosok Bung Dakir tidak sedikit pun melintas di kepala Geni sebagai
orang yang kelak dipanggilnya sebagai saudara ipar.
Tapi, melihat bagaimana
wajah merah padam Geni, niat saya urung. Ia tidak tahu kejadian semalam. Bung
Dakir tahu-tahu mengetuk pintu rumah saya. Wajahnya juga merah padam dan
mengerut. Ia tidak marah, malah menangis. Kepada saya, preman itu menangis,
karena selama ini hidupnya sama sekali tak berguna. Saya tak tahu apakah Bung
Dakir datang dalam keadaan mabuk atau tidak, tetapi ucapannya menyayat hati.
"Kang, saya mau
tobat!" katanya pada saya.
Tentu saya kaget. Saya
bilang padanya, kalau memang mau tobat, datanglah ke Pak Ustaz dan perdalam
agama dari beliau, bukan saya. Tapi Bung Dakir teguh menganggap saya orang yang
tepat untuk dimintai bantuan.
"Wah, saya ini bisa
apa, Bung? Saya juga bukan orang alim!"
"Tapi setidaknya kamu
kan rajin salat, Kang. Saya tidak!"
Lalu Bung Dakir bicara soal
istrinya, juga Geni, yang selama ini dibikin repot oleh ulahnya. Tidak sekali
dua kali Geni menuruti permintaan Lastri untuk mencari uang ke sana kemari demi
Bung Dakir—walau terpaksa. Tidak sekali-dua kali juga, Geni tahu iparnya jalan
dengan perempuan lain. Tetapi, Lastri selalu menganggap suatu hari nanti
suaminya bisa berubah.
"Saya tahu,
Kang," kata Bung Dakir dengan air mata membanjir, "kelak suatu hari
nanti saya mati. Saya mimpi melihat kematian dan saya dibuang ke neraka. Saya
takut bila sampai saat itu belum bertobat, apa yang terjadi? Saya benar-benar
takut, Kang!"
Melihat cara Bung Dakir
menangis, saya tahu ia serius. Dan tentu saja tidak mabuk. Saya bilang padanya
tidak ada yang tidak tahu seberapa bejat dirinya. Tapi setiap orang yang serius
ingin bertobat, insya Allah diterima-Nya. Ia sendiri sadar. Akhir-akhir ini ia
tidak pulang, bukan keluyuran, melainkan ke masjid di luar dusun dan mencoba
salat di sana. Ia bilang ia ingin berubah, tetapi tidak tahu caranya agar semua
orang percaya.
"Tidak perlu,
Kang," kata saya setelah berpikir lama. "Tidak perlu orang tahu niat
baikmu, asalkan Allah tahu."
Mendengar kata-kata saya,
Bung Dakir agak tenang dan mohon diri. Sebelum pergi, ia minta saya berjanji
membantunya berubah. Saya mengangguk. Saya tahu pertemuan ini agak aneh, tetapi
tidak ada firasat bahwa esok harinya ia mati terlibas truk.
***
Kali ini Geni bicara
kebejatan lain hasil karya iparnya. Ketidakpulangan Bung Dakir yang sering
dalam hitungan dua minggu, bukan tanpa sebab. Ia mengaku bosan pada Lastri yang
gemuk dan tidak seksi seperti dulu. Mendengar ucapan ini, orang tidak berpikir
lain selain si preman butuh mencari tempat untuk memuaskan hasrat.
Dan Geni tahu. Bahkan, tak
perlu jauh-jauh; ia beberapa kali menangkap basah Bung Dakir menginap di rumah
janda genit dekat terminal. Orang-orang tahu dari awal, tetapi tidak mau bicara
pada Geni, apalagi Lastri. Demi tidak melukai hati mereka.
Sebelum magrib, mobil
jenazah datang. Pelayat berkumpul kembali, meski tidak ramai. Pak Ustaz
memimpin doa. Jasad Bung Dakir diurus dengan baik dan siap dibawa ke kuburan.
Sebelum jenazah diangkat, ustaz meminta kesaksian apa dulu semasa hidup, sang
almarhum ini orang yang baik. Tak ada yang menyahut. Sekali lagi, Pak Ustaz
mengulang. Kali ini, suara yang bukan bisikan, keluar begitu saja dari mulut
saya, "Baik!"
Saya merasakan setiap orang
memandangi saya dengan aneh, kecuali Lastri. Tapi, saya tak memberi penjelasan
apa-apa kepada siapa-siapa, hanya tersenyum. Bagi saya, sebejat apa pun
manusia, yang menjelang kematian masih sempat berpikir untuk tobat, tetap layak
dianggap orang baik. [ ]
Gempol, 12-1-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni
1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai.
Comments
Post a Comment