Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Pesan Kiamat dari Pertapa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 19 Juni 2016)      Di seberang jalan mendadak penuh orang. Aku belum bisa memastikan ada apa di sana, karena penjual rokok masih mencari kembalian untukku. Selagi menunggu uang kembali kuterima, kupandangi seberang jalan; penuh sesak. Orang-orang membentuk lingkaran seakan sesuatu di tengah lingkaran itu, yang tidak bisa kulihat, adalah mayat seseorang tanpa identitas.     Penjaga kios rokok juga bertanya-tanya, apa yang mengundang perhatian orang. Kukira barusan ada kecelakaan dan korban meninggal seketika. Tabrak lari, barangkali. Beberapa orang mengambil ponsel dan merekam video, tapi tak seorang pun mengucap kata-kata ilahi.     "Biasanya, kalau ada orang mati, pasti ada yang menyebut-nyebut Tuhan," celetuk penjaga kios.     Ada benarnya pendapat ini. Aku sering menemui kecelakaan mengerikan di jalanan, di mana pun, dan tiap orang di sekitar TKP selalu membawa-bawa nama Tuhan. Bukan hal aneh. Justru akan sangat aneh ji

[Cerpen]: "Rahasia Perempuan Pemelihara Hantu" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Flores Sastra, Minggu, 19 Juni 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Imo Menari dan Mati di Kolam Minyak" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Riau Realita, Minggu, 19 Juni 2016)     1/ Jaring Nelayan     Imo terjerat di jaring nelayan. Sebagai ikan muda, ia tidak berpengalaman dengan hal-hal semacam ini; ia kira, jaring itu petualangan. Ia memang tidak mengerti, tetapi ia bukan ikan bodoh.     Imo berusaha kabur, tetapi tidak bisa. Di pikirannya, sudah melintas hal-hal jelek. Ada ayahnya yang pemarah, ibunya yang lembut, dan tentu saja teman-teman yang suka menyebalkan. Di sekolah para ikan, Imo sering diledek sebagai ikan besar bodoh dan tidak bisa berhitung.     "Biarpun tidak bisa berhitung, tetapi aku kuat!" kata Imo pada mereka. Tetapi kini, walau ia kuat dan besar menurut ukuran para ikan, kenapa ia tidak bisa membongkar jaring nelayan?     Setengah hidup, setengah mati, Imo merasa dirinya diambil dari jaring. Si nelayan baik hati, karena ia dimasukkan ke semacam kolam berdinding putih. Hanya putih, tidak ada lainnya. Imo tidak bisa melihat apa pun di luar kotak tersebut, selain

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Padang Bunga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi Senin, 13 Juni 2016)     Kalau dihitung, mungkin sudah empat belas kali Maria pergi ke padang bunga. Ia memang suka bunga-bungaan dan juga suka memetik lalu menyimpannya di kamar di dalam bagian tengah buku hariannya. Dua bulan sekali atau tiga hingga empat bulan sekali ia ke padang bunga itu. Tidak tentu. Itulah kenapa tak bisa dipastikan kapan ia pertama pergi ke padang bunga.     Padang itu indah. Konon ribuan atau mungkin jutaan malaikat sering berkumpul di sana, memetik bunga dan saling bercumbu, serta membuat tarian mistis yang hanya dipahami oleh anak-anak dan perawan suci. Malaikat-malaikat awalnya turun dari langit dan memijak beberapa petak tanah yang tak ditumbuhi bunga. Mereka lalu berpelukan dan sayap-sayap itu menguncup. Pada saat itulah, malaikat-malaikat menjelma serupa manusia.

Sebuah Akhir: Saya Ingin Pergi Sejauh Mungkin ke Luar Angkasa untuk Melupakanmu

Saya sudah mencoba lari mencari pintu lain, tapi tetap saja ujung-ujungnya kamu yang berdiri di sana. Kamu tidak menoleh pada saya, juga tidak menoleh pada siapa-siapa. Hanya memandang bayangan yang hilang ditelan gelapnya hari. Setiap hari saya dan kamu seakan diselimuti malam. Saya dan kamu serba tidak pasti. Di pintu itu kadang-kadang kamu adalah batu, tetapi di lain waktu kamu berubah jadi salju. 

[Puisi]: "Mati Kutu" karya Ken Hanggara

Semalam ada bintang jatuh di langit kota kita Perjalanan dua jam kusingkat jadi satu setengah Dan aku berdoa agar setelah ini segalanya baik-baik saja Kau di sana bahagia Aku di sini bahagia Seandainya tubuhku sebongkah es krim rasa cokelat Semalam aku segenang cairan di lantai kafe itu Membasahi sepatu dan sandal tukang kencan Membasahi sandalmu juga yang berada persis di depan sandalku Dan barangkali membasahi dadaku sendiri yang rongga Mati kutu semalam ditutup pertunjukan bintang jatuh Di bawah langit kota ribuan orang tumpah ruah Tetapi hanya aku yang melihat bintang jatuh Dan aku berdoa dengan panjang di perjalanan Sambungan doa-doa terdahulu yang kurang ajar Sebab tanpa izin dan permisimu -5 Juni 2016-

Bersyukur dengan Diriku Hari Ini

Tahun 2016 hampir separuhnya kujalani. Bagiku separuh ini cukup banyak memberiku kejutan dan perubahan. Bagaimanapun, semua ini tak mungkin terjadi jika dulu pada suatu siang aku tak memutuskan menulis sesuatu dan berharap kelak, dengan menulis, aku bisa dikenal orang dan memberi manfaat pada sesama.