Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Pohon Berbisik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 23 Desember 2018)       Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saja saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa yang saya duga, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.     Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan dengan penuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik. Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.     "Kebanyakan melamun kamu," celetuk Mila pendek.     Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki—menurut Mila—adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah

[Cerpen]: "Hari-hari Yu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 23 Desember 2018)     Yu memberiku sebungkus kue dan pergi setelah orang-orang pabrik pulang. Besok paginya dia kembali menemuiku, tetapi kali ini tidak membawa kue atau apa pun. Gadis itu bilang, "Tidak ada lagi kue."     Sebenarnya aku sangat lapar. Rasanya perutku tidak berisi apa pun, tetapi Yu tidak dapat kukalahkan. Kami tetap pergi sesuai dengan janji. Kami menerabas ilalang di area belakang pabrik, dan tetap di sana dari menjelang magrib hingga jam tujuh malam.     Yu sudah kukenal selama lima tahun. Dulu Yu adalah bulan yang indah dan pucat, yang tak mungkin kuajak bicara. Yu adalah segala sesuatu di luar angkasa, sedang diriku adalah sebutir kerikil di kandang sapi. Tapi, sebuah kejadian membalik segalanya.     Aku tidak perlu cerita kejadian apa itu. Lagi pula, semua sudah tidak lagi penting. Yang terpenting adalah: Yu dan aku dapat bertemu. Tidak ada yang tahu pertemuan ini, tentu saja, kecuali beberapa orang dari pabrik yang s

[Cerpen]: "Megalomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Desember 2018)       Lelaki berbaju polisi menghentikanku. Aku baru keluar dari WC umum. Ia bilang, "Mari ikut saya!"     Kukatakan bahwa aku tadi ketiduran di terminal dan sekarang harus pulang. Sudah jam dua belas malam dan langit kini gerimis. Ia tidak peduli dan mengeluarkan sepucuk revolver.     "Pokoknya Anda harus ikut!"     Demi terhindar dari kesulitan, aku patuh. Kuikuti polisi itu, yang berkepala botak, dan di puncak kepalanya ada tahi lalat begitu besar. Aku melangkah dan melirik bagian itu, karena aku lebih tinggi darinya. Polisi itu sadar kelakuanku dan bilang, "Jika masih mau hidup, sebaiknya jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya!"     Kalimat itu begitu jelas, tapi kurasa kepalaku sedang pusing. Aku baru bangun dari tidur dan belum sepenuhnya sadar selain mengingat bahwa aku harus pulang sekarang juga, jadi kupikir barangkali ada yang salah di otakku. Kutanyakan apa yang barusan si polisi katak

[Cerpen]: "Usaha Terakhir Sebelum Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 30 November 2018)     Aku tidak pernah bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Sejak dulu kurasa inilah kutukan yang harus kupikul. Tidak tahu kenapa setiap siswa seakan-akan tercipta untuk membenciku di sekolah. Dan setelah lulus lalu mendapat kerja, orang-orang yang berada di sekelilingku bersikap seolah aku tidak ada.     Memang pekerjaanku tidak membanggakan dan itu tidak kusebutkan di sini. Aku bekerja di gedung ternama, tetapi hanya sebagai bagian tidak penting dari sebuah sistem. Status sosial yang biasa saja, ditambah kesulitan bersosialisasi, membuat hidupku terasa sepi.     Kalau dihitung, orang yang pernah menjadi temanku tidak lebih dari tiga. Itu pun salah satunya adalah seekor anjing sewaktu aku masih kelas empat SD, dan sayangnya si anjing sudah mati tertabrak truk beberapa hari setelah kutolong dia dengan sebungkus roti. Anjing itu kelaparan dan kuberi makan, dan kemudian ia mendatangiku selama dua hari berturut-turut de

[Cerpen]: "Penghuni Tetap Apartemen Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 25 November 2018)       Aku sudah pindah ke apartemen tua ini sejak seminggu yang lalu, tapi sampai saat ini belum seorang pun kutemui, kecuali si penjaga gedung yang tidak pernah membalas sapaanku selain dengan cara kurang ramah. Si penjaga gedung itulah satu-satunya yang tinggal di sini selain diriku dan aku pun sadar betapa di bangunan tiga tingkat ini yang bisa kuajak bicara hanya diriku sendiri.     Aku memang sengaja pindah ke lokasi yang jauh dari keramaian. Ini membantu pekerjaanku sebagai pengarang. Aku punya uang, tapi memilih apartemen yang, konon kata teman-teman, busuk. Aku tidak percaya rumor. Ternyata apartemen ini, sekalipun tua, dirawat oleh si pemilik dan penjaga dengan sangat baik.     Kubilang pada teman-temanku, "Tempat ini jauh lebih baik ketimbang tempat yang kalian tawarkan."     Penjaga itu bekerja lebih dari dua puluh tahun, demikianlah kata si pemilik gedung ini ketika kami bertemu empat hari sebe