(Dimuat di takanta pada 1 Juli 2018) Pagi itu Bapak meninggal di kasur. Ketika pelayat berdatangan, aku pergi. Dan ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mulanya aku merasa ada yang tidak beres. Sebulan terakhir Bapak pulang pagi, dan kalau ditanya dari mana, dia tidak menjawab. Lain kesempatan, kubanting piring di depannya. Bapak merespon dengan marah. Aku sadar, kalau melawan, aku tidak menang. Tubuhku kecil, dan walau Bapak bilang kemungkinan tubuh ini dulu bisa menjadi tulang belulang, aku tertawa. Bahkan detik ini pun tubuhku tinggal tulang sama kentut. Aku anak durhaka, begitulah Bapak menyebutku. Menurutnya, jika seorang anak tidak patuh pada orangtua, bisa dosa, walau bapaknya bejat. Di masa lampau, ketika aku masih berseragam dan tak tahu di mana Ibu berada, teman-teman bilang ibuku pendosa. Sedang Bapak, kata mereka, jauh lebih buruk dari pendosa. "Bapakmu iblis," tuduh mereka.
Menghibur dengan Sepenuh Hati