Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Kota Mati dan Pembunuhnya" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 22 Juli 2018)       Seorang pemuda berjalan sempoyongan menuju suatu kota mati. Tidak ada apa pun yang dia bawa kecuali tas plastik berisi beberapa lembar baju dan satu buah buku. Di kejauhan, ada titik kecil bergerak-gerak dan tertangkap oleh bola mata keruh si pemuda yang agaknya belum makan sejak dua hari lalu. Melihat itu, semangatnya berkobar dan keputusan pun diambil: pergi ke sana dan mencari pertolongan.     Tentu saja menuju titik kecil yang dipisahkan jarak beberapa ratus meter tidaklah semudah yang dulu pemuda itu lakukan ketika situasi masih normal. Perang merenggut banyak hal, termasuk situasi sesederhana berjalan kaki menuju rumah makan cepat saji. Dulu rumah makan tempat biasa dia pergi mencari nafkah masih lebih jauh dari jarak yang kini harus ditempuhnya demi bantuan.     Berjuang sedemikian rupa, dengan sisa tenaga yang ada, si pemuda tampak kecewa ketika tiba di tempat tujuannya, yang ternyata hanyalah sebukit sampah. Titik

[Cerpen]: "Wajan Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1586/XXX (16-22 Juli 2018)       Bu Meli punya wajan tua. Wajan tersebut awet, bahkan meski dipakai setiap hari. Entah berapa ribu atau mungkin berapa puluh ribu ikan telah meregang nyawa di wajan tersebut selama puluhan tahun.     Ya, wajan tersebut adalah wajan warisan, turun temurun sejak zaman Jepang belum menjajah Indonesia. Hitung berapa total hari dalam setahun dan kalikan sembilan puluh empat; jumlah tahun yang diperkirakan Bu Meli sejak wajan tersebut dipakai neneknya. Dalam satu hari keluarga Bu Meli menggoreng rata- rata dua ekor ikan.     "Wah, nggak kehitung kalau sama saya," celetuk Timo, keponakan Bu Meli yang doyan makan berbagai jenis masakan berbahan ikan laut maupun tawar. Hanya karena iseng saja, Agustinus yang juga keponakan Bu Meli, mencoba mencari tahu rekor yang dicapai oleh sebuah wajan.     Tentu saja, wajan Bu Meli bermutu dan tahan banting. Meski kau ketahui jumlah ikan yang mati di sana sekalipun, tidak akan meng

[Cerpen]: "Bocah Udang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 Juni 2018)       Aku tinggal di kota ini sebatang kara sejak belasan tahun lalu. Waktu itu aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi usai kebakaran membakar habis rumah orang tuaku serta seluruh anggota keluargaku. Aku masih terlalu labil. Barangkali jika tidak bertemu Tuan Markoni, aku sudah jadi gila. Aku yang berjalan sempoyongan setelah kabur dari polisi yang membantuku, ditemukan olehnya berbaring melingkar di dasar selokan. Aku ingat apa yang selalu Tuan Markoni katakan jika kami bertemu dalam berbagai acara sosial di berbagai kota besar: "Ini dia bocah udang yang membantuku hidup!"     Tentu yang dia maksud adalah bahwa sampai sejauh itu dirinya belum mempunyai seorang pun anak kandung. Istrinya yang pertama telah meninggal jauh sebelum kami dipertemukan, sedangkan istri kedua yang mendampingi hingga hari tuanya menderita kemandulan. Itulah kenapa Tuan Markoni menganggapku anak sendiri yang menurutnya membuatnya tetap waras se

[Cerpen]: "Bioskop" karya Ken Hanggara

(Dimuat di janang.id pada 22 Juni 2018)       "Dulu menonton bioskop tidak semembosankan hari ini. Sekarang anak-anak muda datang berbondong ke bioskop dengan lampu-lampu. Membawa berbagai makanan, lalu menggandeng pasangan mereka. Tapi, tidak ada yang seistimewa di zaman kakek dulu," tutur kakekku sore itu.     Tidak biasanya Kakek Rusdi menyinggung-nyinggung soal bioskop. Beliau senang sekali bercerita tentang masa-masa peperangan, juga sesekali tentang kuliner di zaman sebelum kemerdekaan dulu, yang kini sebagian sudah susah ditemui.     Kakek memang sering bercerita banyak hal kepadaku, tetapi tidak pernah tentang bioskop.     Melihatku belakangan sering memutar film-film terbaru di laptopku, tiba-tiba saja Kakek Rusdi menyebut kata 'bioskop'. Zaman dahulu, mungkinkah ada bioskop? Kalau memang ada, bagaimana bisa bioskop masa kini tidak seistimewa bioskop masa itu?

[Cerpen]: "Rumah Komik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 10 Juni 2018)       1/     Rumah itu rumah komik. Ratusan atau ribuan judul komik ada di situ. Aku tidak menghitung. Kalkulator, seperti kata Bu Mei, guruku, tidak boleh selalu kubawa. Ingat petuahnya: "Boleh pakai buat koreksi tugas. Selain itu, simpan di meja belajar!"     Bu Mei tidak bilang kalkulator boleh dipakai menghitung mainan, apalagi buku komik. Aku tidak protes. Aku tidak suka pelajaran berhitung. Aku juga tidak suka guru itu. Aku lebih suka menggambar dan melatih bagaimana bikin gambar yang bagus dari buku-buku komik.     Lalu aku, dengan sepasang kaki mungilku, pergi ke rumah itu. Letaknya lima gang dari rumahku. Tidak besar, tapi di sana ada banyak sekali komik. Surga duniaku. Surga anak-anak. Dan nyatanya, cuma aku yang tahu. Bukan aku saja. Maksudku, hanya aku, anak seumuranku, yang tahu ada surga komik di suatu tempat. Aku tahu dari Mas Pras, anak SMP, tetanggaku yang suka njerat burung, bahwa di suatu gang dekat ta