Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Tamu Misterius Pembawa Pesan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Suatu malam kudengar ketukan di pintu rumahku. Aku keluar dan memeriksa siapa yang bertamu di jam yang kurang sopan ini, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Aku lalu kembali ke kamar dan sekali lagi mendengar ketukan dari pintu depan. Kukira mungkin anak-anak dusun sedang bercanda, dan memang beberapa tetangga yang belum lama ini kukenal, karena aku warga baru di kompleks ini, mengeluh bahwa anak-anak dusun itu senang memanjat pagar perumahan dan membuat masalah-masalah.     Salah satu tetangga mencoba mengingatkanku, "Anak-anak itu putus sekolah dan kebanyakan mereka dilahirkan sebagai kriminal. Anda harus mulai jaga diri."     Tentu aku tidak tahu bagaimana menanggapi saran semacam itu, tapi tetangga yang berkata begitu tampaknya bisa dipercaya. Orangnya bukan sejenis penyebar gosip yang bermulut tanpa rem; tetanggaku ini terlihat pendiam dan sering menoleh ke kiri dan kanan ketika ngobrol denganku di hari

[Cerpen]: "Dunia Silver" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Takanta edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Sarimin merasa dirinya berada di cermin. Anehnya, dia melihat tubuhnya sendiri berbaring di tempat tidur yang letaknya persis di depan cermin. Bagaimana dia ada di dalam cermin kamarnya, serta bagaimana bisa melihat tubuhnya sendiri padahal merasa tidak tidur, ia tidak tahu.     Sarimin mengira ini pasti mimpi.     "Aku harus keluar. Kalau tidak, nanti telat," pikirnya mengingat-ingat janji temu dengan Suketi, pacar barunya.     Namun, ketika hendak keluar dengan melompat, kepalanya terbentur. Dikiranya di mimpi, seseorang tidak terluka meski melompat menembus cermin. Ia terpental sampai punggungnya membentur dinding.     Sarimin bangkit dan melihat sekeliling.     Di luar bingkai cermin ini, semua benda berwarna silver, dari mulai lemari tempat cermin itu berada, meja belajar, kursi, jendela, foto-foto, jam, sampai tempat tidur yang kini ia tumpangi. Semua serba silver.     Sarimin pusing tujuh keliling. Dia sadar

[Cerpen]: "Sartini" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Jatuh cinta pada janda penjual dawet membuat hidup Mugeni agak berantakan. Di depan teras kontrakanku, pada suatu subuh, bocah pengangguran ini tersungkur dengan mulut berdarah-darah.     Kutanya ada apa, lalu dia bilang: "Jatuh cinta membuat hidup ini ribet!"     Tentu saja aku paham yang Mugeni maksud adalah Sartini, si penjual dawet yang berjualan sejak jam enam pagi itu, dan remaja sembilan belas tahun sepertinya jelas tak bakal mendapat jalan mulus untuk mencumbu seorang janda, tanpa mendapat omongan sana-sini yang tak sedap. Namun, bagaimana bocah ini bisa babak belur begitu, aku tak benar-benar tahu.     Aku baru tahu setelah di hari yang sama, tepat jam delapan pagi, ibu-ibu yang hobi ngerumpi sedang berkumpul di balai dusun untuk mengimunisasi anak-anak mereka.     Di antara ibu-ibu bermulut lancip itu, kudengar Bu Markonah berkata, "Wah, wah, Mugeni itu memang suka cari masalah. Sudah tahu pacar o

[Cerpen]: "Penjual Mata" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 28 Januari 2018)       Sudah berhari-hari aku berkeliling untuk menjual bola mataku, tapi tidak ada yang sudi membeli. Katanya, bola mataku terlalu suci untuk orang-orang seperti mereka yang selama ini kerap mempergunakan anugerah penglihatan untuk mengeruk banyak dosa.     Aku tidak tahu kenapa orang-orang ini begitu sadar dan tidak malu mengakui dosa yang mereka perbuat. Meski sebenarnya mereka butuh mata cadangan, sebab aku hanya menjual mataku untuk orang-orang yang kehilangan satu atau dua bola mata gara-gara karma atau (menurut dugaanku) kecelakaan, mereka tetap merasa bola mataku terlalu suci.     Sebenarnya, penjual bola mata di negeri ini bukan hanya aku. Hampir setiap hari ada saja orang yang bola matanya tiba-tiba copot begitu saja, dan jika insiden semacam itu terjadi, siapa pun yang bersangkutan kemungkinan berpikir soal karma. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar yakin bahwa karma memang bekerja, tapi dari pengakuan orang t

[Cerpen]: "Reuni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA No. 1561/XXX - 22-28 Januari 2018)       Pianis yang duduk di pojok aula itu piawai mengiringi bintang di acara malam ini, seorang pria berbadan jangkung dengan wajah teduh. Cukup dengan piano, tanpa gitar, apalagi drum, tembang One Last Cry sudah membuat bulu kuduk Dina berdiri. Ia duduk tegap dan sesekali mengusap keringat di dahinya. Kalau bukan karena sifat alamiah bola mata, barangkali dia lebih suka tidak ada kedipan untuk sisa malam ini. Ia tidak lupa, dulu lelaki itu adalah bintang.     Dan akan selalu menjadi bintang sampai malam ini.     Dina juga tidak lupa kejadian yang menyakitkan itu. Dia lirik seseorang di kiri jauh, kira-kira sebelas kursi jaraknya. Seorang wanita tampak menikmati suguhan lagu dari si jangkung. Wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari hidup Dina. Pernah? Ya, dan tidak bisa lebih dari pernah, meski kini wajah itu terlihat jauh berbeda. Apanya? Cantik? Diam-diam rasa iri menyelinap di hati. Bagaimanapun, memutar kenangan bi