Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Reuni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA No. 1561/XXX - 22-28 Januari 2018)       Pianis yang duduk di pojok aula itu piawai mengiringi bintang di acara malam ini, seorang pria berbadan jangkung dengan wajah teduh. Cukup dengan piano, tanpa gitar, apalagi drum, tembang One Last Cry sudah membuat bulu kuduk Dina berdiri. Ia duduk tegap dan sesekali mengusap keringat di dahinya. Kalau bukan karena sifat alamiah bola mata, barangkali dia lebih suka tidak ada kedipan untuk sisa malam ini. Ia tidak lupa, dulu lelaki itu adalah bintang.     Dan akan selalu menjadi bintang sampai malam ini.     Dina juga tidak lupa kejadian yang menyakitkan itu. Dia lirik seseorang di kiri jauh, kira-kira sebelas kursi jaraknya. Seorang wanita tampak menikmati suguhan lagu dari si jangkung. Wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari hidup Dina. Pernah? Ya, dan tidak bisa lebih dari pernah, meski kini wajah itu terlihat jauh berbeda. Apanya? Cantik? Diam-diam rasa iri menyelinap di hati. Bagaimanapun, memutar kenangan bi

[Cerpen]: "Menyembelih Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 24 Desember 2017)       Suatu hari dalam sebuah mimpi, seorang kekasih menyembelih Kenangan sehingga kenangan meronta-ronta sebelum kejang, lalu kepalanya menggelinding ke kolong meja. Kau tahu bentuk Kenangan? Ia serupa makhluk bawah tanah, namun lebih seram dan menjijikkan. Lebih buruk dari iblis jahanam.     Ketika Kenangan berjaya—sebelum disembelih dahulu kala—ia suka berjoget dan bikin ribut di ruang tengah. Sang kekasih, yang mendengkur di dunia nyata, mendelik tak keruan di alam mimpi sembari membawa pedang.     "He, Kenangan!" pekiknya penuh murka. "Kau harus mati sekarang!"     Tapi Kenangan licik, sehingga sulit dibunuh. Ia menggelinjang dan menjelma apa saja. Benar-benar busuk! Kadang serupa bocah mungil tanpa dosa. Kadang bayi kucing yang mengeong sehingga kekasih—yang tekadnya bulat mau menyembelih—tidak tega, lalu masuk kamar dan menutup kuping dengan bantal.

[Cerpen]: "Bus Gaib" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 9-10 Desember 2017)     Saya tidak tahu apakah bus itu milik setan atau malaikat atau kaum bidadari. Yang pasti, saat duduk di bangkunya, saya tidak merasa ada yang aneh. Di kanan kiri, juga depan belakang, para penumpang diam. Mungkin seperti saya, mereka lelah.     Sudah dua tahun ini saya berangkat dan pulang kerja naik bus. Karena lelah, tak memperhatikan plat nomor bus (saya hampir tidak pernah melakukannya; lagi pula, pentingkah?). Saya naik begitu saja dan mencari bangku kosong, karena berpikir harus segera sampai super market depan gang rumah. Lily, anak saya, besok ulang tahun. Dan dia minta boneka Barbie plus sekantung cokelat.     Satu-satunya suara di bus—yang biasa saya tumpangi—adalah datang dari kenek. Ia berdiri di pintu depan atau belakang, melambai ke para pejalan kaki, meneriakkan arah tujuan bus. Kadang suara kenek beradu nyanyian pengamen. Di bus, saya jarang dengar pengamen bersuara merdu. Biasanya cempreng, ba

[Cerpen]: "Madrim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Haluan, Minggu, 3 Desember 2017)       Tengah malam saya terbangun. Saya pungut satu per satu kesadaran yang rontok ke bantal. Saya cari kacamata dan memasangnya. Ini kelewat batas. Bukan baru sekali saya bangun tengah malam. Entah berapa kali.     "Sudah waktunya diberi pelajaran!"     Saya bangkit. Di pinggir kasur ada kursi. Di situ setumpuk buku tentang satu tokoh berpengaruh di kota ini saya taruh; pagi sebelumnya saya ke perpustakaan dan pinjam buku-buku buat bahan menulis novel sejarah. Saya pindah setumpuk buku itu ke kasur dan saya geser kursi biar ada tempat longgar.     Mau tidak mau, karena pekerjaan ini—buku-buku lumayan berat, ada kali sepuluh kilo—rasa kantuk saya pelan-pelan lenyap. Kalau diibaratkan hape, barangkali baterai saya dua puluh persen, dan nambah walau tidak di-charge. Demi hal satu ini, malam ini saya rela waktu tidur terpotong. Tak lagi seperti malam-malam terdahulu yang berakhir dengan tutup kepala oleh bantal, karena saya tidak

[Cerpen]: "Otobiografi Pohon" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Majalah Femina edisi 30/2017)   Pohon-pohon ingin bicara, tetapi mereka tidak punya keberanian. Kalau saja semua pohon di dunia berani bicara, mungkin dunia akan berbeda. Sayangnya, pohon-pohon menahan diri untuk bicara. Dan kau cuma bisa dengar daun-daunnya bergesekan. Itulah cara pohon menggumam, bukan bicara. Dan bila kau melihat pohon bergoyang-goyang, maka ia sedang berpikir. Jangan sebut angin, karena ia tidak tahu urusan. Di kota ini, pepohonan bergerak atas kehendak pohon itu sendiri. Memang benar angin mampir ke pucuk daun, tapi ia sekadar bergelayut sebelum pergi. Asal kau tahu, angin sangat tolol. Kerjaannya main ke sana kemari dan kalau salah jalan, jadi kambing hitam. Teman Ibu mengajariku berbagai nama angin yang aneh. Namanya sulit disebut, karena saking bagusnya, tapi nasib angin tidak lebih baik dari toilet. Angin tidak cuma dibenci, tetapi juga dikutuk karena membunuh banyak nyawa. Semua mati oleh angin. Aku rasa, ia pantas dibenci. Dan teman