Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Lena dan Cintanya yang Keras Kepala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 20 Agustus 2017)       Lena mengajakku kawin lari, karena sudah tak tahan dengan desakan keluarganya yang memintanya menikah dengan orang selain diriku. Aku memang sadar betapa tidak ada kelebihan satu pun di diriku yang patut membuat Lena bangga. Bahkan seharusnya dia malu memiliki pacar sepertiku, yang tidak punya kerjaan tetap dan tidak jelas masa depannya. Hanya saja, sejujurnya aku juga mencintainya dan begitu pula Lena; tak ada di antara kami yang sanggup melepas satu sama lain. Aku pikir ikatan ini terjalin begitu kuat sejak hubungan haram itu kami gelar di suatu kasur di kamar kostku yang kusewa dengan upaya mati-matian,     Pada hari itu rasanya aku dan Lena telah menyatu dan sulit dipisahkan. Serasa ada tali temali gaib yang jatuh dari langit dan menjerat tubuh kami berdua, lalu kami bersatu menjadi satu badan dengan dua jiwa. Tentu saja ini agak berlebihan, mengingat tak ada di antara kami yang menyukai puisi. Aku hanya senang saja mem

[Cerpen]: "Mariana Memutuskan Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017)       Mariana memutuskan mati. Ia sudah jengkel hidup sebagai penyanyi malam, yang tidak jarang menghadapi gerayangan lelaki nakal atau bos yang bilang performance-nya kurang inilah, kurang itulah—padahal ia tampil sebaik dan semaksimal mungkin, atau teguran tetangga kostnya yang dikenal suka bikin gosip, "Dapat om baru, nih?"     Kalau tidak salah, sudah empat tahun Mariana memendam rindu pada Ibu dan dua adiknya di kampung. Ia menjalani berbagai jenis pekerjaan, salah satunya penyanyi malam. Ia hibur pengunjung kafe dengan suara indah, sekaligus—kalau ada yang mau dan sanggup bayar—bisa diajak ke mana pun dari pukul 23.00 hingga sebelum subuh.

[Cerpen]: "Mampir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 28 Juli 2017)       Ben tidak ingin pulang buru-buru, karena gadis kenalannya mengajaknya mampir. Kami menumpang mobilnya dan mulai mengutuk dalam hati, "Betapa anjing kurap ini belum berubah!"     Semua selalu dalam pengawasanku. Bos meminta kami, aku dan Janus, mengawasi anaknya, Ben, yang sering berbuat ulah. Anak itu bukan semacam bayi yang tersesat di dunia baru, tetapi manusia dari golongan paling keparat yang bisa kau temui.     Gadis yang dikenal Ben di pesta malam itu adalah Sarmila, yang datang dari suatu desa jauh, yang pergi merantau ke kota dan terjebak di gemerlap dunia malam. Konon, Sarmila sukses dari memeras keringatnya tanpa ampun sebagai penyanyi, dan hasilnya adalah rumah mewah yang bakal kami sambangi.     "Kita tidak harus mengikutinya," bisik Janus dengan putus asa, sewaktu kami pergi ke tempat parkir. Ben berjalan di depan kami sambil membantu Sarmila karena gadis itu setengah mabuk.

[Cerpen]: "Menelusuri Identitas Diana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apakabar Indonesia edisi 10/XII 22 Juli - 4 Agustus 2017)       Pagi hari itu terasa lain. Aku bangun dan merasa dadaku sesak. Aku tahu selama ini tidak pernah mengalami gangguan pernapasan. Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berpikir tentang Diana, perempuan yang kusukai diam-diam, tetapi belum kukenal sama sekali.     Diana mendekam di kepalaku sebulan terakhir, dan kurasa bayang wajahnya sukar hilang dari sana hingga kami benar-benar saling mengenal dan dapat kuungkap perasaan cintaku kepadanya.     Barangkali memang ini terdengar aneh; aku jatuh cinta pada perempuan yang tidak kukenal, bahkan tidak kutahu sama sekali riwayat hidupnya. Aku juga tidak tahu apakah Diana putri dari keluarga baik-baik, ataukah keluarganya termasuk keluarga tidak beres. Tak ada informasi apa pun tentang Diana, selain namanya, yang kudapat secara rahasia dari seorang tetangga.     Ini terjadi sebulan terakhir. Aku mencintai seorang gadis yang melintas di jalanan depan aparteme

[Cerpen]: "Operasi Balas Dendam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Jumat, 21 Juli 2017)       Aku lupa kapan pernah melihat perempuan itu. Ia duduk di sisi tempat tidurku dan memberiku air. Ia bilang, aku harus minum agar tidak mati, dan kalau aku mati, ia tidak bisa menuntut balas. Aku tidak tahu kalau ia menyimpan dendam padaku, bahkan aku tak ingat pernah membuat suatu kesalahan sehingga ia pantas menuntut balas.     "Aku tidak pernah melukaimu atau membuat gara-gara. Aku tidak pernah berdosa kepadamu," kataku.     Ia tertawa dan menyuruhku minum. Selesai minum, tubuhku jadi semakin remuk. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di tempat asing ini. Kamar yang pengap dan temboknya penuh noktah cokelat. Bau bangkai tikus merebak dari kolong tempat tidur. Barangkali ini tempat yang si perempuan siapkan untuk menuntut dendam yang tidak kutahu apa. Kubayangkan di luar kamar terdapat berbagai macam alat siksaan yang bisa membuatku cacat. Atau jangan-jangan, ia akan membunuhku?     "Kamu memang tidak pernah s