Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 21 Mei 2017)       Di suatu halte, seorang lelaki sedang berdiri menunggu kekasihnya. Ia berdiri tanpa alasan yang lebih baik selain menunggu seorang kekasih, meski telah banyak yang tahu bahwa kekasihnya sudah meninggal setahun lalu dalam kebakaran. Lelaki itu barangkali sudah gila, tetapi anggap saja dia waras dan hantu kekasih yang datang di saat tertentu adalah kenyataan.     Bicara tentang kenyataan, aku sadari banyak kenyataan kadang terdengar aneh atau tidak masuk akal. Termasuk soal si lelaki yang menunggu kekasihnya di halte. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama, tapi setiap orang di sepanjang jalan ini mengenalnya dan akan bersaksi pernah melihat pacar lelaki itu mati di depan mata mereka.     "Dia benar-benar sudah mati. Tubuhnya gosong dan kaku, dan sekarang lelakinya menunggu di halte seperti apa yang dulu mereka janjikan," tutur salah seorang saksi.     Bicara tentang janji, ada fakta yang membuatku ingin menan

[Cerpen]: "Pengelana dan Uang Ajaib" karya Ken Hanggara

Dimuat di basabasidotco, Jumat, 19 Mei 2017)       Sudah bertahun-tahun jauhnya aku berkelana, tetapi uang di koperku tidak pernah habis. Aku suka berkhayal suatu hari nanti uangku habis dan aku bisa mulai beristirahat di tempat yang tenang dan jauh dari peradaban sampai tua.     Aku sering berkhayal dan tertawa senang selama proses berkhayal ini, tetapi ketika sadar dan tahu keadaanku yang jauh dari cerita khayalan itu, aku mulai mual. Tidak ada pilihan selain melanjutkan perjalananku. Mungkin aku tidak ditakdirkan berhenti. Meski kubagi-bagikan semakin banyak uang ke semakin banyak orang, Tuhan tidak ingin aku berhenti.     Aku tak ingat kapan pertama kali pergi meninggalkan rumahku dengan membawa koper berisi banyak uang. Aku bahkan tak ingat bentuk teras rumahku, yang mungkin saja sekarang sudah lapuk atau roboh dan digantikan oleh bangunan semacam mall. Aku tak pernah pulang sejak keberangkatanku yang pertama, dan segera mengetuk satu demi satu pintu untuk membagikan ua

[Esai]: "Membaca Membuka Jendela Dunia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Senin, 15 Mei 2017) Membaca membuka jendela dunia. Ungkapan ini sudah sering kita dengar, tapi di kehidupan nyata, tidak semua dari kita mampu menerapkan makna sebenarnya di balik ungkapan tersebut. Ini didasari oleh mindset yang sejak awal sudah salah. Barangkali kita bisa dengan mudah menyebut 'membaca itu untuk membuka jendela dunia ', tapi faktanya kita sendiri enggan menghabiskan waktu untuk membaca, karena beberapa faktor seperti malas, tak ada waktu, dan sebagainya. Dari kebiasaan, akhirnya timbul halangan tersendiri di diri kita, bahwa membaca itu bukan hal utama dalam hidup atau bukan sesuatu yang bersifat universal. ' Membuka jendela dunia ' pun jadi sekadar suatu ungkapan yang hanya betah berkelindan di bibir, tanpa pernah diterapkan di kehidupan sehari-hari. Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa sebagian mahasiswa atau guru justru tidak punya hobi membaca. Mindset membaca sama dengan belajar, atau membaca adalah tuga

[Cerpen]: "Sihir Bola" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Mei 2017)      Bola yang menggelinding di pinggir lapangan akhirnya berhenti. Anak-anak saling rebutan mengambil dan melemparkannya ke seorang pemain tengah, Mugeni namanya, agar dapat kesempatan diajak main minggu depan.     Tapi tentu bagi Mugeni mereka tidak selevel. Tingkatnya jauh di atas dukun paling sakti di kampung. Tidak ada yang lebih pandai mengendalikan bola ketimbang dirinya, termasuk angin.     Sore ini angin berembus lumayan kencang dan menjatuhkan beberapa motor dan sepeda pancal di parkiran. Lapangan busuk, kata Bung Dakir, rekan setim Mugeni, yang sering kali iri pada orang yang dibilang sahabatnya sendiri itu.     Mugeni memang sakti. Kalau kata orang, kesaktiannya setara legenda Maradona, meski sesungguhnya ia memang sakti dalam arti sebenar-benarnya. Tapi, pemain tengah top turnamen ini tidak mau sibuk-sibuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia guna menunjukkan makna kata 'sakti' secara nyata, demi penegasan di

[Cerpen]: "Murah Mart" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 29 April 2017)      Orang kecil mesti pilih-pilih kalau mau belanja, harus hemat. Apalagi anak-anakku nakal. Mereka maunya makan yang enak-enak. Anak dapat rangking, orangtua mana yang tak bangga? Aku juga mau anak-anakku pintar, berprestasi. Tapi, bagaimana kami beli makanan enak yang konon mahal? Sekadar tahu tempe saja sulit. Mereka merengek dan bertanya kapan Ibu belikan makanan enak? Atau, kapan kami rangking satu?     Suatu waktu, temanku Nani mengajakku ke suatu tempat. Yang lewat di pikiranku adalah: dia mengajakku ke rumah bosnya. Tempat itu luas. Ada beberapa truk terparkir. Kok bisa Nani punya pekerjaan sampingan tanpa takut ketahuan bos kami? "Bukan, Mar. Ini bukan rumah bos baruku. Ini rumah Pak Dermawan," jawabnya usai kuberondong dia dengan berbagai pertanyaan.