Skip to main content

Posts

[Cerpen]: " Mayat di Dekat Pohon Pisang yang Menjelma Jadi Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Waktu edisi Jumat, 24 Februari 2017) Kepada Bapak kukatakan, "Sugeni sudah mati." Lalu dia berdiri dan menghadapku dan bertanya dikubur di mana tubuh orang sinting itu. Kubilang, "Di dekat pohon pisang di belakang rumah Mak Nah." Tanpa banyak cincong, Bapak mengambil parangn dan keluar. Aku mengekornya seakan bajuku yang bernoda darah sama sekali tidak membuatku mual atau tidak juga membuatku berpikir aku harus segera mandi dan ganti baju agar tetangga tidak ada yang curiga. Bapak sendiri tidak peduli karena tahu sejak awal aku tidak suka pada Sugeni. Dulu Sugeni memperkosa kambingku. Aku tahu ada yang tak beres pada kambing itu. Suatu malam aku bermimpi kambing itu menjelma jadi perempuan jelek berjanggut dan berbau badan tidak enak. Si perempuan mengadu padaku bahwa Sugeni sang pacar telah minggat setelah menanam tubuh manusia di dalam tubuhnya. Di mimpi itu aku bertekad, bahwa kelak Sugeni harus mati di tanganku.

[Cerpen]: "Menguak Identitas Bertha" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra (17 Februari 2017) & Malang Post (19 Februari 2017))     Bertha sering memberiku tumpangan, tetapi aku tidak pernah tahu di mana rumah gadis itu. Ia hanya bilang, "Di suatu tempat yang tidak pernah kamu pikirkan." Tentunya aku semakin penasaran, apalagi sering saat aku kehabisan bus atau taksi, karena pulang kemalaman, tiba-tiba dia lewat dan berhenti begitu saja sembari membuka pintu depan mobilnya dan berkata, "Ayo, kuantar!"     Pertama kali Bertha memberiku tumpangan kira-kira setahun silam, dan pada saat itu kami belum saling mengenal. Dia berhenti begitu saja karena melihatku berdiri diam di pinggir jalan, dan membuka pintu depan mobil dan bertanya ke arah mana rumahku. Aku bisa mengantarmu, katanya waktu itu. Karena sama-sama perempuan, kupikir aku bisa menumpang mobilnya. Sejak itu, bantuan berupa tumpangan gratis selalu gadis itu berikan setiap aku kesulitan mendapat kendaraan.

[Cerpen]: "Doa Jim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 12 Februari 2017)       Orang-orang sudah bubar, tetapi Jim masih meringkuk di kuburan bapaknya. Anak itu memang cukup sinting, tetapi jangan ditanya soal cinta. Kepada sang bapak, Jim rela menyerahkan seluruh hidupnya jika sanggup. Hanya saja, maut tidak bisa diajak diskusi, sehingga yang meninggal tetaplah bapaknya. Yang di ambang nyawa adalah Bapak, dan yang meninggal tentu adalah Bapak.     Jim sedih; kenapa maut tidak bisa ditukar-tukar?     Jim sudah menduga ini bakal terjadi tidak lama setelah dia melihat bapaknya batuk darah. Orang itu terlalu renta waktu memiliki anak Jim. Pekerjaan beliau sebagai kuli batu tidak mencukupi gizi Jim, yang ditinggal emaknya kawin lagi ketika dia berumur empat tahun.     Orang-orang awalnya yakin itulah yang jadi alasan utama kenapa Jim agak tidak waras. Tetapi, ada begitu banyak keluarga di dusun itu yang bapaknya tak lebih mujur dari bapak Jim, yang seorang mandor tidak bakal tega melepas ku

[Cerpen]: "Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih (Dimuat di Haluan edisi Minggu, 22 Januari 2017)    Belum sampai tikungan, lelaki tua itu berhenti. Saya tidak pernah melihatnya, tapi motor bututnya menerbangkan saya ke ingatan belasan tahun silam soal Bapak. Di sini, di tikungan ini, dahulu Bapak juga sering berhenti dan menyetandarkan motornya di sisi jembatan. Tanpa menoleh kanan-kiri, ia melongok bawah dan berteriak, "Maria, Maria."     Saya kira, mungkin lelaki tua itu Bapak saya. Apa mungkin seseorang yang sudah meninggal tahu-tahu menyambangi kita? Di dunia ini, hal paling konyol saja bisa terjadi, apalagi hantu. Hantu bukan hal konyol, walau saya berharap bapak saya tidak menjadi hantu.     Saya menyeberang dan meninggalkan Leli, pacar saya, di butik sehingga ia protes. Saya ke sana dulu, begitu kata saya. Tak tahu apa yang Leli omelkan. Saya sampai di jembatan, menjelang tiang lampu tempat motor butut itu disandarkan.     "Sore, Pak!

Resolusi 2016 Tercapai dan Kini Saatnya 2017

Tahun 2016 yang saya lalui penuh dengan cerita pendek. Seakan-akan saya hidup dikelilingi makhluk aneh bernama cerita pendek, dengan wajah yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan, dan dengan watak yang kadang menyerupai orang-orang yang pernah saya kenal atau ingin saya jumpai atau bahkan saya ingin musnahkan. Dan saya merasa tidak mungkin lepas dari jeratan makhluk aneh ini. Sebagaimana tekad saya di awal 2016, yakni membuat hitungan iseng tentang jumlah cerpen yang saya buat per bulan, juga berapa banyak buku yang saya baca, dan mendata seluruh karya yang terbit di media, maka beginilah hasil akhirnya. Slogan "sehari minimal satu cerpen" memang tak selalu dapat terpenuhi, tapi melihat hasil selama 12 bulan, dapat dibilang resolusi yang saya tulis di akhir tahun 2015 lalu terpenuhi. Tentu saja ini tidak mudah. Melihat jumlah tiap bulan yang bervariasi, sudah dapat ditebak bagaimana saya yang telanjur cinta menulis juga punya masalah-masalah. Sekali waktu masalah hidup