Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Cangkang Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apa Kabar Indonesia Plus edisi awal November 2016) Mas Bram datang dengan bujuk rayu. Dia bukan lelaki tanpa tanggung jawab. Ibu tak suka caranya membawa diri. "Tidak sopan," tukasnya. Aku mencintai Mas Bram dan tidak suka cara Ibu menilainya. "Ibu tidak tahu, sih , gimana Mas Bram aslinya," selalu itu yang kukatakan, walau aku tidak benar-benar tahu watak asli Mas Bram. Aku tak mau ia jatuh ke tangan wanita lain. Yang aku tahu, Mas Bram ceplas-ceplos. Kadang arogan, tak mau kalah, ambisius, tapi dia sangat baik. Kini kesemuan itu, cinta buta itu, menang. Kalau saja kesemuan hidup, ia hadir dalam wujud aneh. Ia makhluk bertaring dan haus darah. Seperti mimpi, tapi setengah nyata, aku lari dan sembunyi darinya. Meski begitu, makhluk itu selalu bisa menangkap dan mengisap darahku.

[Cerpen]: "Membunuh Masa Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Desember 2016) Seorang wanita dari masa lalu mengetuk pintu rumah saya malam-malam. Ia ingin tahu di mana ia bisa mendapatkan pistol. Untuk apa, kata saya. Ia bilang, ia harus bunuh kekasihnya, yang mencampakkannya, juga yang membuatnya malu karena hamil di luar nikah. Apa ini nyata? Belakangan saya lebih banyak begadang ketimbang tidur. Akibatnya sering melihat hal-hal aneh, padahal tidak ada yang aneh di sekitar saya. Istri saya menyarankan saya tinggalkan kebiasaan itu, karena setiap hari saya berbisnis, walaupun di rumah juga tempat bisnis saya. Dalam sehari, saya tidur dua jam dan itu kurang. Sepertinya kamu berhalusinasi, kata istri saya.

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016) Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka. Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu. "Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016) Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir. Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh. "Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya. Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016) Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua. "Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua. Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah. "Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.