Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara (Dimuat di Harian Joglosemar edisi Minggu, 11 September 2016)       Aku tidak ingat kapan terakhir kali pergi ke rumah pacarku, Maria, tetapi kukira ia juga sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mendatanginya. Kejadian itu sudah usang, dan sekarang aku sudah memiliki anak empat. Kalau saja Maria tidak menyuruhku pergi, maka tentu saja empat anak itu tidak terlalu menjengkelkanku, sebab Maria gadis cantik yang menyenangkan. Di mana-mana, watak orangtua pasti menurun pada buah hatinya. Dulu aku berharap dan yakin itulah yang terjadi; anak-anak rupawan berperangai seperti Maria. Tapi, kami harus berpisah.     Takdir menikahkanku dengan si buruk rupa yang sama sekali pantas jadi bibiku. Ia wanita yang kubenci. Tabiat dan tampilan wanita itu sama buruknya, dan aku tidak bisa melarikan diri. Begitu pernikahan terjadi, istri yang kubenci hamil dan beranak empat kali, dan keadaan rumah membuatku ingin pergi seja

[Cerpen]: "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara (Dimuat di Banjarmasin Post, 11 September 2016)     Sejak ditinggal mati suaminya, Maria membuka usaha jahit di rumahnya. Mula-mula sepi, tapi hari demi hari pesanan jahitan mulai banyak dan ia kewalahan. Ia merekrut dua gadis di dekat rumah untuk membantu. Ia bangkit dan bisa menghidupi dua anak yang masih kecil, diri sendiri, dan dua karyawan. Sampai suatu ketika, sesosok malaikat datang mengetuk pintu rumahnya.     Malaikat itu datang tengah malam, persis empat tahun sepeninggal suami yang tewas dalam kecelakaan. Malaikat itu mengentuk pintu dengan lembut, sampai-sampai tak bakal ada yang dengar, kecuali orang yang benar-benar berhati suci atau yang dikehendaki malaikat itu untuk mendengar.

[Cerpen]: "Enam Belas Tahun Kemudian..." karya Ken Hanggara

(Dimuat di  Taman Fiksi edisi 17)     All or Nothing berputar begitu saja setelah mobilku meninggalkan halaman rumah Vina. Lagu lama ini membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Enam belas tahun berlalu dan semua tetap sama. Segalanya tetap sepi bagiku. Aku tidak menyesal atas perpisahan yang memang harus terjadi ketika itu. Vina tidak benar-benar mencintaiku, dan aku juga tidak begitu yakin kami dapat membina hubungan yang lebih baik jika kami menikah.     Enam belas tahun segalanya tetap sama, tetapi tidak bagi Vina. Ia menikah dengan temannya setelah memutuskan hubungan kami. Vina tampak sedih, dan di masa-masa ini hatiku hancur. Aku tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dengan baik. Tanpa memberi kabar, aku pergi sejauh mungkin dan sempat berpikir semoga ia benar-benar melupakanku, dan aku juga berusaha melupakannya. Setahun berlalu, aku merasa aku berhasil. Aku lupakan Vina dengan menjalin pertemanan dengan beberapa wanita baik dari negeri-negeri asing, sekalipun tidak

[Cerpen]: "Milana dan Sungai Purba" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 4 September 2016) "Dulu, di depan kita ada sungai," kataku. "Sungai besar dan nyata." Telunjukku menuding ke timur, titik matahari berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada kami, hingga melampaui wajah Milana dan bersambung ke arah benamnya hari. Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua tangan. "Sungguh," kataku lagi. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. "Bukan. Bukan itu." Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman. Kami menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat hingga beberapa puluh meter. Garis itu—aku menyebutnya batas sungai purba yang hilang—memang ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya aku tak menjelaskan, karena toh telah tercatat dalam buku-buku dongeng di kota kami.

[Cerpen]: "Menjahit Tubuhmu ke Tubuhku" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Mark Demsteader (Dimuat di nusantaranews.co , Sabtu, 3 September 2016)     Seandainya Mila bisa kujahit di saku kemejaku atau kusimpan langsung di dompet sebagaimana foto pacar pada umumnya, aku tidak cemas soal identitas. Ia tidak pernah kuantar sampai ke rumahnya. Tepatnya, tidak pernah mau. Bila selesai malam mingguan nonton bioskop atau makan jagung di taman kota, ia selalu minta turun di gang depan.     Aku mengenal Mila empat bulan yang lalu. Langsung jatuh cinta begitu melihatnya duduk sendiri di taman. Tidak tahu tenaga apa yang mendorong, aku datangi bangkunya dan berkata soal sepatuku yang bolong dan aku yang tidak tahu di mana letak tukang sol sepatu. Aku tidak suka membaca novel roman, tetapi barangkali seperti itu situasinya. Aku bicara soal sepatu dan Mila terkikik geli. Lalu ia jongkok dan mengamati sepatu itu dan berkata, "Tidak ada yang bolong."     "Ya ampun! Benarkah? Tapi, aku merasa ada yang bolong," kataku.     &quo