(Dimuat di Flores Sastra edisi Sabtu, 9 Juli 2016) Dua puluh empat jam sehari dikali beribu-ribu belum cukup lama untuk membuat saya menua. Saya tetap muda dengan gerakan jarum yang itu-itu saja; tik, tak, tik, tak, selalu rapi dan tak cela, kecuali barangkali pernah dua kali harus berhenti bekerja bagai orang mati, namun yang suri, sehingga saya bisa bangkit dan menjadi penanda waktu. Oleh lelaki Belanda saya diajak menapaki desa dengan jalan yang belum diaspal. Dijual kepada pemilik tanah terluas di sana, diperlakukan bagai perawan cantik jelita, saya merasa hidup saya akan membosankan. Konon, ada yang bilang, tempat macam ini tidak akan memberi saya pemandangan pelangi. Maksudnya, yang penuh warna. Perang meletus entah pada tanggal berapa. Bukan tugas saya memang kalau soal hitungan bulan dan tahun. Saya hanya bekerja pada skala yang lebih kecil dan sederhana. Detik, menit, jam terus berputar oleh saya; atau saya yang bekerja oleh mereka setiap hari. Saya ba
Menghibur dengan Sepenuh Hati