Skip to main content

Posts

Lima Tahun Mengubah Banyak Hal

Kira-kira seminggu yang lalu saya membuat janji bertemu dengan seorang teman lama yang dulu saya kenal di Jakarta. Jam sembilan pagi, setelah mengurus perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi) di Bangil, saya langsung bertolak ke Malang. Sudah sejak tahun 2012 lalu (kalau tidak salah), saya berjanji suatu hari akan mampir ke Malang jika sempat. Dan tentu, sejak 2012 hingga medio 2016 ini sudah tak terhitung lagi seberapa sering saya ke Malang. Hanya saja, saya tidak pernah sempat datang ke tempat kost teman saya yang satu ini. Dia bernama Yusuf. Asli Lamongan dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, Malang. Saya biasa memanggilnya Ucup. Kami berkenalan di Jakarta pada medio 2010, ketika saya masih menggeluti dunia akting. Sebagai artis pemula yang masih mendapat peran kecil-kecilan, tentu saja waktu itu duit saya juga belum banyak. Hahaha. Ketika itu Yusuf menjadi figuran dan merasa nasibnya tidak jelas. Suatu hari, akhir tahun 2010, ia mengajak saya mencari peke

[Cerpen]: "Pengantar Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 26 Juni 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

Masa Kecilku: Gara-Gara Buku Kumpulan "Kliping" Cerpen

Kalau tidak salah, dua puluh tahun lalu, ketika masih berumur 5 tahun, pada suatu sore saya menemukan sebuah buku tulis yang di dalamnya berisi kumpulan cerpen koran yang dikliping dengan sangat rapi dan telaten di meja belajar kakak saya. Katanya buku itu milik sepupu kami dan ia sengaja "mewariskannya" ke kakak. Buku kumpulan cerpen "legendaris" itu. Cerpen ini jadi salah satu favorit saya. Saya yang suka membaca pun amat senang mendapati ada buku cerita semacam ini di rumah, karena sebenarnya pada saat itu belum satu pun buku cerita saya miliki. Paling hanya buku bergambar dan saya sudah bosan dengan buku cerita bergambar. Maka saya membaca cerpen-cerpen di buku ini seperti memainkan mainan baru; susah berpisah. Meski beberapa cerita di dalamnya agak membingungkan, karena beberapa kata belum saya pahami artinya, saya baca saja setiap cerita sampai habis.

[Cerpen]: "Hikayat Pengecut" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Koran Madura edisi Jumat, 24 Juni 2016)   Aku memang pengecut. Tak berani menjalani risiko paling buruk dalam mahligai rumah tangga. Aku tak mau kelak melihat anak istriku mati lebih dulu. Aku berharap malaikat mencabut nyawaku lebih dulu, karena aku tak yakin masih waras setelah satu per satu orang yang kusayang tiada.     "Berarti kamu egois," tuding temanku.     "Tidak."     "Bayangkan kamu mati duluan. Istri merawat anakmu sendiri. Kaupikir gampang?"     "Rejeki sudah ada yang ngatur," jawabku pendek.     Temanku mendengus dan pergi. Ia tak mau lagi bicara soal kematian atau menebak siapa yang lebih dulu mati—aku atau istriku, dia atau istrinya, dan sebagainya—lebih- lebih berharap siapa yang menurutku berdampak baik bila mati duluan.     Suatu saat aku pasti akan mati. Dan tentu istri dan anakku kelak juga mati. Kami tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana kami mati, tapi kematian membuat kami terpisah. Di dunia

[Cerpen]: "Permintaan Nayla" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Sabtu, 18 Juni 2016)   1/     Mamaku supersibuk. Setiap hari, kecuali akhir pekan, Mama selalu ngantor dan aku kesepian. Papa? Jangan ditanya. Malah lebih sibuk dari Mama. Kadang Papa ke luar negeri dan baru pulang setelah dua minggu. Di rumah tidak ada teman selain pembantu. Tetapi pembantuku pendiam. Aku lebih sering main dengan boneka-boneka.     Suatu malam, saat Mama pulang (beliau sering pulang larut malam, bahkan pernah subuh hari), aku bangun dari tidur dan menggigil ketakutan. Mama memelukku erat dan mengelus-elus rambutku. Ia bertanya lembut. Kujawab bahwa aku bermimpi buruk.     "Mimpi apa? Pasti kamu nggak berdoa, ya?" kata Mama.     Aku bilang aku berdoa, tetapi aku mimpi melihat semua anak di dunia ini memiliki teman, kecuali aku saja yang hidup sendiri. Lalu, kutambahkan bahwa dalam mimpi itu, setiap anak berbaris memasuki tempat wisata terbesar dan paling meriah, yang mana di sana terdapat berbagai wahana men