Skip to main content

Posts

Permintaan yang Tak Terucap dan SMS Misterius

Dua bulan yang lalu, saya duduk di ruang tamu sambil menunggui dua orang tukang membenahi dan mengecat teras depan. Saya duduk di ruang tamu namun tak bisa melihat teras, sebab gorden sengaja ditutup agar tidak menyilaukan mata. Saya sibuk mengerjakan sesuatu di depan laptop dan masih bisa mendengar suara dua tukang tersebut mengobrol sembari bekerja. Di saat yang sama, orangtua saya ke bank yang letaknya lumayan jauh kalau jalan kaki, sekitar satu kilo. Orangtua saya bermotor berdua sehingga di rumah hanya ada saya dan dua tukang tadi.

[Cerpen]: "Peri Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 12 Juni 2016)   Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Lelaki di Halte yang Memberiku Hadiah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 12 Juni 2016)     Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Pengarang Tanpa Nama" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Batam Pos edisi 6 Juni 2016)    Pengarang tanpa nama itu berhenti di depan warung kopi, sebelum melanjutkan langkah ke sebuah lubang di bawah rumah tua. Ia bersembunyi di sana. Ia lelah dikejar para penggila sastra yang menyukai karya-karyanya. Konon, karya-karyanya itu dibuat di ruang bawah tanah sarang tikus. Tidak ada penerangan cukup; hanya beberapa batang lilin yang kadang membuatnya merasa suram.     Kritikus sastra kenamaan menganggapnya bintang yang terbit di pagi hari. Di kala marak bermunculan nama-nama baru, juga sekaligus karya-karya nol mutu (untuk tidak menyebutnya tumpukan sampah), si kritikus pikir, pengarang tanpa nama inilah harapan. Bintang di pagi hari. Sebuah harapan langka bagi dunia sastra di negeri mereka.     Pengarang tanpa nama tidak tahu kenapa orang-orang menggilai karyanya yang ia anggap kebohongan. Bahkan, tidak jarang ia menganggap setiap karya yang terbit atas namanya adalah bencana.     "Seharusnya kamu sebut itu anugerah. Ja

[Cerpen]: "Segunung Jasad di Mulut Mudakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Haluan Padang edisi Minggu, 5 Juni 2016)    Di suatu desa ada bau busuk. Bau itu bersumber dari mulut lelaki bernama Mudakir. Kebusukan di level atas, menyerupai gunung bangkai di negeri tanpa malaikat. Setan- setan bergerumbul di jalan. Tangan dan kepala mayat bergeletakan sana-sini, jadi rebutan anjing liar. Dan setiap orang masih sempat berangkat kerja. Adakah yang lebih buruk?     Bau busuk itu bukan karena Mudakir malas gosok gigi. Ia terkenal paling bersih. Ia juga sering makan makanan tertentu yang bisa menghilangkan bau mulut, tetapi selalu sia-sia. Kata dukun, mulutnya dimasuki setan yang entah datang dari zaman mana, yang kemudian membangun koloni di sudut mulut Mudakir; di tempat itu kelak berdiri gunung bangkai.     "Setan-setan keluar untuk makan. Anda tahu? Mangsanya manusia. Mereka makan tiap hari, tidak peduli dewasa atau anak-anak, semua dilahap. Tapi begitulah setan; belum habis satu, sudah tergoda yang lain. Satu mayat belum tuntas, perburua