Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Wanita yang Membelah Hati" karya Ken Hanggara

    (Dimuat di Merah Putih Pos edisi 14/ 28 Maret - 3 April 2016)        1/ Lelaki Kesepian     Hatiku terbelah jadi dua dan kini sepotong hatiku hilang entah ke mana. Kucari ke mana-mana, tidak ketemu. Tapi, karena hidup harus terus berlanjut—tidak peduli hatiku tinggal separuh dan itu membuatku merasa tidak sehat—aku bertindak seolah-olah tak ada kejadian yang berarti. Jadi, tidak semua orang tahu hatiku tinggal separuh. Padahal, ini masalah besar, 'kan?     Siapa yang membelah dan mencuri sepotong hatiku? Seandainya kau bertanya itu, sudah, lupakan saja. Aku sendiri berusaha melupakan itu, maksudku, pelakunya. Karena aku lelaki, ia pasti perempuan sepantaranku, yang tahun depan berusia dua puluh enam. Ini bukan kisah menyimpang. Ini kisah biasa saja. Yang menjadikannya berbeda adalah soal hati yang dibelah dan dicuri, sehingga kini aku merasa hidupku tidak lagi sehat.

[Cerpen]: "Pertanyaanku" karya Ken Hanggara

Lukisan "The Crying Boy" karya Bruno Amadio (Dimuat di Koran Pantura, Selasa, 29 Maret 2016)       Setiap hari aku bergumul dengan asap. Hanya pagi tidak ada asap, namun kudapati bunyi dengkur dan aroma busuk dari ruang sebelah. Barang-barang berserakan. Rokok, sepatu, tas wanita, tumpahan bir (yang kutahu rasanya, karena pernah mencicipi), dan entah apa.     Di sekolah, cuma aku murid kelas empat yang tidak tahu siapa bapak kandungnya. Jika ditanya siapa bapak kalian, teman-teman menjawab dengan berbagai kalimat yang menunjukkan profesi, atau sekurang-kurangnya alamat sebuah "kuburan", bila memang yang ditanyakan itu sudah mati.     Aku tidak pernah bisa menjawab karena aku tidak tahu. Itu satu dari sekian banyak pertanyaanku. Siapa bapakku? Tapi satu itu tidak cukup membuatku pusing. Aku masih bisa santai karena tentu saja teman-teman ada yang tidak punya bapak. Rata-rata karena sudah meninggal, kata mereka.     "Berarti bapakmu sudah meninggal, Jo.&quo

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Cerpen]: "Cita-cita Terakhir Mudakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Buletin Jejak vol.60/Maret 2016)     Sering kali cita-cita terlambat datang. Mudakir punya cita-cita baru sepulang dari rumah dokter. Dulu waktu duduk di bangku kelas dua SD, dia bercita-cita jadi seorang anggota dewan, dan itu kesampaian. Belum cukup di situ; juru ceramah juga ia impikan, dan kesampaian. Mudakir juga mau jadi dokter gigi, dan kesampaian. Alangkah banyak cita-cita kecil Mudakir yang kesampaian, sehingga cerita ini agak melenceng, karena harus menyinggung cita-cita di masa tua.     Cita-cita sejati, demikian namanya, adalah yang datang di masa tua.     Mudakir tidak tua-tua amat sebetulnya. Kepala empat permulaan. Istri cantik dan awet muda. Dua anak gadis; cantik-cantik mirip ibunya. Rumah besar ada empat; dua di dalam negeri, sisanya di negeri orang. Kekayaan, kehormatan, dan keluarga harmonis, semua ia miliki.     Tidak ada di dunia ini yang tidak bisa Mudakir capai.     Tentu saja, itu diwujudkan dengan usaha keras. Mudakir tidak suka pakai dukun

[Cerpen]: "Hukuman untuk Imo" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos, Minggu, 20 Maret 2016) Imo menangis menjerit-jerit seperti anak sinting pagi itu. Saya tidak tahu siapa si brengsek yang mengajarinya bahwa seorang bapak tidak lebih baik dari pamannya. Dia benar-benar tidak mau saya antar ke sekolah setelah tahu dari ibunya bahwa sang paman baru saja pulang. "Kenapa nggak pamit sih?! Imo pokoknya nggak mau ke sekolah kalau nggak diantar P aman!" rengek anak itu. Benar-benar habis kesabaran saya. Setelah menjerit-jerit soal pamannya, yang begitu saya benci sejak lama, Imo mulai menagih hadiah yang pernah saya janjikan padanya : robot mainan yang bisa bergerak-gerak sendiri. Yang dimaksud tentu saja robot berteknologi remote control . Tanpa perlu memberitahunya bahwa saya belum punya uang, dan tentu saja bahwa tadi saya sempat menolak uang pemberian adik ipar saya — pamannya yang tercinta itu — saya sambar tangan Imo dan saya tampar dia. Istri saya menjerit juga setelah diam kaku bagai patung selama