Skip to main content

Posts

Cerpen:"Wajah-Wajah Gundu" karya Ken Hanggara

"Wajah-Wajah Gundu" Ilustrasi cerpen "Wajah-Wajah Gundu" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Oktober 2015)   Ibu membukakan pintu belakang. Wajahnya yang penuh keriput itu menatapku tajam, seolah pertanda aku adalah sesuatu yang tidak patut ia pertahankan. "Lihat adikmu Yanti! Berapa kali kuperingatkan? Jangan sekali-kali berbuat macam-macam jika masih ingin menemuinya!" Akhirnya kudengar juga suaranya, suara yang dulu sewaktu aku kecil selalu memberi kenyamanan. Ya, dulu kami merasa nyaman meski pertanyaan-pertanyaan selalu tak menemui jawab. Pagi itu, di suatu hari yang lampau, tak ada asap mengalir di atap rumah. Benda kelabu yang melayang di udara dan menebar aroma sedap. Asap itu kurindukan setiap kali bangun tidur. Jika memasak, Ibu menyihirku sampai pada tahap tertentu, di mana aku tidak sanggup menolak permintaannya untuk melahap yang telah ia upayakan, meski perutku telah kenyang. "Buat apa aku masak kalau t

Cerpen: "Lelaki Puisi" karya Ken Hanggara

"Lelaki Puisi" Ilustrasi cerpen "Lelaki Puisi" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 4 Oktober 2015) Sejak minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. Dan itu hanya bisa kulakukan dengan menelannya habis. Apa kau kira aku kenyang? Tidak. Aku tidak kenyang, malah mual dan harus dibawa ke dokter. Ketika kukatakan selama dua minggu ini aku sering diam-diam menelan kertas-kertas itu, dokter kira aku sudah gila. Ia kira, andai aku sulit melupakanmu, ada baiknya kalau kubakar saja kertas itu. Kau tahu apa jawabanku? "Andalah yang gila, Dok. Mana mungkin saya bakar puisi-puisi itu? Itu artinya saya tidak menghargai jerih payah kekasih saya." "Tapi sekarang, 'kan, dia bukan pacarmu?" "Iya, memang sudah bukan pacar saya. Tapi jujur, Dok, saya masih cinta. Sebagian hati saya menyuruh menghapus, sementara sebagian lain me

Cerpen: "Sang Model" karya Ken Hanggara

"Sang Model" Ilustrasi cerpen "Sang Model" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di tamanfiksi.com, edisi 05, September 2015) Begitu Sanjaya berkemas pulang, Marlina—model yang sempat naik daun sepuluh tahun lalu, yang tenggelam, tak lagi muncul karena masalah narkoba—menarik lembut lengannya. Mata mereka beradu beberapa detik, dan berhenti karena ingat mereka tidak bisa bertemu lama di luar jam kerja. Sanjaya, atau biasa dipanggil San, atau cukup dengan Jay saja, beringsut dan mengambil perlengkapannya yang jatuh berguling di lantai semenit lalu. "Apa kamu datang lagi?" Wanita itu bertanya setengah cemas, tapi lebih terkesan pasrah. Tahun-tahun yang gemilang telah pudar. Barangkali tidak akan bisa kembali, meski ia berharap bisa memancing satu-dua kenangan lama menjadi suatu hal yang real . "Entah." San menjawab pendek. "Tidak bisa tidak. Aku belum dapat salinannya." Marlina tersenyum dan melirik penuh arti, menyimpulkan sendi

Cerpen: "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" karya Ken Hanggara

"Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" Ilustrasi cerpen "Bayi Berbalut Kain Gorden Warna Krem" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 20 September 2015) Seonggok bayi berbaring di tumpukan sampah. Entah bayi siapa. Dia menangis karena pagi begitu dingin. Dia menjerit karena lapar. Dia bergetar karena ingin tahu siapa yang menaruhnya di situ sehingga kulitnya jadi gatal-gatal, atau ingin tahu siapa ibu-bapaknya yang dengan tega menelantarkannya. Bayi itu berbalut kain gorden warna krem. Dibungkus begitu saja bagaikan lemper, lalu diletakkan di atas kardus bekas wadah Indomie yang sudah ditata sedemikian rupa. Tak ada yang tahu ada bayi di situ, karena tumpukan sampah ada di tepi kampung, dekat rawa-rawa, dekat tanah kosong yang dirimbuni pepohonan bambu. Bayi itu menangis dan menangis, sehingga misal ada yang dengar dan orang itu membawa dendam, bisa sirna saking kuatnya getaran kemanusiaan yang terkandung dalam suara si bayi. Orang itu

Cerpen: "Tipu Daya" karya Ken Hanggara

"Tipu Daya" Ilustrasi cerpen "Tipu Daya" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 6 September 2015)   Kali kesekian eranganmu mencabik gendang telingaku. Darah melukis sungai pada dingin wajah bidadari setengah iblis, tapi kau belum puas. Kau lepaskan dan hempaskan kesal dari balik bukit kembarmu lewat sebilah pisau. Ya, pernah kutanam cinta dan rasa nafsu di kedua bukit itu, dulu. Lalu kamu pasrah dan diam, bahkan menikmati hari-hari terakhir keberadaan suamimu yang sama sekali tak kau cintai. Kepadaku waktu itu kau berkata penuh tekanan, "Segera kerjakan!" Dalam gemingku, kenangan terpancar dari bening bola matamu. Seakan Tuhan dan iblis bersatu padu dalam suatu rekayasa imajinatif. Suatu hal yang mustahil. Kau duduk di bangku pusat kerumunan kru dan perkakas shooting . Dari balik topi lebar, kau titah segala-galanya dengan telunjuk berkuku merah. Kau bersandar angkuh sebagaimana sutradara bekerja.