Skip to main content

Posts

Cerpen: "Ditolak Bumi" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Ditolak Bumi" oleh Ken Hanggara "Ditolak Bumi" ( Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup), Jumat, 21 Agustus 2015)   Malam itu kampung dilanda hujan lebat. Laut seolah tumpah dari langit. Lentera menggantung layu, berkali-kali padam oleh angin. Hanya dengan bantuan senter—atau sesekali cahaya petir—seseorang bisa melihat dengan jelas. Semua itu tak menghalangi kedatangan pelayat ke rumah Sukarman. "Tapi hujan terlalu deras. Apa tidak bisa kita tunggu satu-dua jam dulu?" Mursid si penggali liang lahat mengajukan usul. Sebagian setuju. Tak mungkin mereka menerabas hujan disertai angin kencang, apalagi dengan membawa keranda mayat. "Kita tidak bisa nunggu. Jenazah ini harus dimakamkan malam ini!" tukas Samijan, ketua RT.

Cerpen: "Patuh" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Patuh" oleh Ken Hanggara "Patuh" (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 16 Agustus 2015) Martini mencengkeram lengan kemejaku. Seperti dulu. Rasa-rasanya kenangan itu berputar. "Tapi pastikan, Bung," bisikku pada diri sendiri, "ini bukan saat yang tepat untuk tangis-tangisan!" Meski begitu, aku tahu tiap wajah yang mengamati dari jauh, sebelum lenyap ditelan gelap kotak jendela jajaran rumah kardus, mulai bertanya-tanya: Kesedihan macam apa yang wanita itu bawa? Atau mungkin: Setan itu lagi, ya? Martini, sebagaimana kenangan, akan selalu manis dan harum. Aku simpan dia di balik jaket kulit tebal dengan beberapa lubang bekas sulutan rokok teman main judi. Dia cengkeram lengan kemejaku, tak peduli sobek, tak peduli kutampar wajahnya. Tapi dia tahu aku tak 'kan begitu malam ini. Dan memang tak akan. Bedaknya rata. Dan malam yang dingin ini membuatnya pucat. Malam penuh kenangan. "Sudah kubilang mestinya kamu

Cerpen: "Dimangsa Kenangan" karya Ken Hanggara

"Dimangsa Kenangan" (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 9 Agustus 2015) Kenangan-kenangan itu hadir bagai makhluk di dalam otakku. Mereka berkembang sekian lama, sekian tahun, untuk kemudian menetas di sana. Mereka tumbuh dan belajar menemukan cara memangsa seperti halnya anak elang. Dan ketika aku sampai di titik akhir hidupku, kenangan-kenangan itu benar-benar menuntaskan daya yang dulu pernah ada untuk mematikan nyawa-nyawa tak berdosa. Bunyi mesin berdengung di kamar putih membuatku sadar aku masih hidup, walau tentu tidak lama lagi. Kenyataan ini membuat kenangan-kenangan itu terus berdatangan. Seperti tak kenal lelah, seperti tak kenal ampun. Terus menyiksa dan menghabiskan darah kehidupanku dari dalam. Nyalaku meredup hari demi hari. Meski sekadar imaji, barangkali, rasa-rasanya tubuhku benar akan habis dibuatnya. Makhluk bernama kenangan, alangkah kejamnya kalian. Tidak kasihankah kalian padaku? Bisik-bisik menguar sejak sebulan lalu, bilang bahwa tida

Cerpen: "Lelaki dalam Bus" karya Ken Hanggara

"Lelaki dalam Bus" Ilustrasi cerpen "Lelaki dalam Bus" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Solopos, Minggu, 9 Agustus 2015) Bus malam itu masih melaju ketika Upi sibuk menggaruk pantat. Sesekali matanya menerawang, memandang tepi jalan yang dihias pepohonan atau rumah penduduk. Tiang lampu sana-sini. Menyala tapi kelabu. Hidup segan mati tak mau. Kapan masa depan datang? Kapan masa lalu hilang? Apa hidup hanya berisi masa kini dan kelak mati dengan kondisi tetap begini? Asap rokok dari penumpang yang duduk berjarak dua bangku darinya, membelai pipi Upi yang kumal. Sudah dua hari tidak mandi, atau tiga. Entahlah. Tidak penting. Tidak ada ibu yang ngomel , apalagi ayah yang mengajari ini-itu. Langit dan bumi mengajari langsung bocah itu segala yang perlu dipelajari dan diketahui untuk sekadar hidup, meski bukan sebagai manusia utuh. "Siapa tadi?" Asap rokok masih menebar aroma khas di deret bangku belakang bus yang sudah sepi. Hanya enam penumpang ter

Cerpen: "Siluet Ibu" oleh Ken Hanggara

"Siluet Ibu" Ilustrasi cerpen "Siluet Ibu" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, Sabtu, 1 Agustus 2015 ) Matahari tergelincir ke barat. Sam bergeming, mengenang hari-hari yang lewat. Tujuh ratus empat puluh tiga hari, kalau tak salah hitung—atau gampangnya ia biasa menyebut 'tujuh ratus hari lebih', sejak berpisah dengan Ibu. Lamat-lamat azan maghrib bersahutan dari surau dan masjid di seluruh kota. Seseorang menyentuh pundaknya. "Apa lagi?" Seorang bocah, teman seperjuangannya, tampak meringis. Giginya tak rata, sebagian berlubang. Wajahnya terlihat amat kumal, tapi ceria. Sam tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya diam. "Ada duit, 'kan?" Sam mengangguk. Mereka menyusuri lantai kosong. Debu di hampir semua bagian merata, kecuali tentu jalur menuju balkon; ada tapak-tapak kaki mungil, jejak Sam, juga temannya, Sabari, yang baru saja menjemput. Langit-langit penuh sarang laba-laba dan lubang hitam, y