Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

[Cerpen]: "Doa Imo" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 27 Agustus 2017)       Imo tahu, ia tidak mungkin lari dari para bocah. Pikirnya, dasar bocah kurang ajar. Padahal sekolah, tetapi kelakuan seperti ini? Tentu saja ia tidak berani bicara, atau sebut saja tidak sanggup. Kalaupun bicara, juga tidak akan didengar para bocah itu. Imo cuma ditendang, disiram air es, dan diludahi. Berbagai ledekan datang bertubi-tubi.     Imo berjalan dan terus berjalan, meski kakinya pincang. Ia menyisir pinggir jalan raya, dan anak-anak tadi masih membuntut. Satu atau dua melempar kerikil. Tetapi yang lain kotoran sapi. Di dekat situ memang ada kebun dan kandang. Kebetulan sekali. Imo merasa hujan bakal turun dan semoga saja bocah-bocah biadab itu pulang, sehingga ia bisa berteduh sekalian di kandang.     Tapi, brengsek. Mereka tidak pulang dan merebut tempat berteduh yang di-booking Imo dalam pikiran. Memang susah kalau segala ucapan hanya mampir di kepala, belum sempat keluar. Lagi-lagi, kalau keluar, bukannya

[Cerpen]: "Menelusuri Identitas Lely" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Agustus 2017)       Mudakir berkenalan dengan seorang gadis yang kemudian dia cintai diam-diam. Ia, si gadis itu, tidak bernama. Mudakir tidak peduli meski gadis itu bersumpah tidak akan pernah menyebutkan namanya kepada siapa pun di kota yang baru dia singgahi ini.     "Memangnya kamu datang dari mana?" tanya Mudakir.     "Sebuah tempat yang tidak ingin kamu bayangkan."     Maka, akhirnya Mudakir menyebut gadis itu Lely. Tentu saja nama itu tidak sama persis dengan nama asli sang gadis, dan gadis itu tahu Mudakir tidak akan pernah tahu nama aslinya. Tebakan itu hanya demi memudahkan lelaki itu saat memanggilnya.     Ketika kami bertemu, yang kuperhatikan dari gadis itu hanya rambutnya. Beberapa helai rambut panjangnya tampak putih seperti uban. Rambut panjang itu seharusnya bisa menjadi indah jika dirawat dengan benar. Lalu, aku curiga bahwa gadis ini mungkin tak cocok untuk Mudakir, karena mungkin dia bukan perempuan ba

[Cerpen]: "Lena dan Cintanya yang Keras Kepala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 20 Agustus 2017)       Lena mengajakku kawin lari, karena sudah tak tahan dengan desakan keluarganya yang memintanya menikah dengan orang selain diriku. Aku memang sadar betapa tidak ada kelebihan satu pun di diriku yang patut membuat Lena bangga. Bahkan seharusnya dia malu memiliki pacar sepertiku, yang tidak punya kerjaan tetap dan tidak jelas masa depannya. Hanya saja, sejujurnya aku juga mencintainya dan begitu pula Lena; tak ada di antara kami yang sanggup melepas satu sama lain. Aku pikir ikatan ini terjalin begitu kuat sejak hubungan haram itu kami gelar di suatu kasur di kamar kostku yang kusewa dengan upaya mati-matian,     Pada hari itu rasanya aku dan Lena telah menyatu dan sulit dipisahkan. Serasa ada tali temali gaib yang jatuh dari langit dan menjerat tubuh kami berdua, lalu kami bersatu menjadi satu badan dengan dua jiwa. Tentu saja ini agak berlebihan, mengingat tak ada di antara kami yang menyukai puisi. Aku hanya senang saja mem

[Cerpen]: "Mariana Memutuskan Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017)       Mariana memutuskan mati. Ia sudah jengkel hidup sebagai penyanyi malam, yang tidak jarang menghadapi gerayangan lelaki nakal atau bos yang bilang performance-nya kurang inilah, kurang itulah—padahal ia tampil sebaik dan semaksimal mungkin, atau teguran tetangga kostnya yang dikenal suka bikin gosip, "Dapat om baru, nih?"     Kalau tidak salah, sudah empat tahun Mariana memendam rindu pada Ibu dan dua adiknya di kampung. Ia menjalani berbagai jenis pekerjaan, salah satunya penyanyi malam. Ia hibur pengunjung kafe dengan suara indah, sekaligus—kalau ada yang mau dan sanggup bayar—bisa diajak ke mana pun dari pukul 23.00 hingga sebelum subuh.

[Cerpen]: "Mampir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 28 Juli 2017)       Ben tidak ingin pulang buru-buru, karena gadis kenalannya mengajaknya mampir. Kami menumpang mobilnya dan mulai mengutuk dalam hati, "Betapa anjing kurap ini belum berubah!"     Semua selalu dalam pengawasanku. Bos meminta kami, aku dan Janus, mengawasi anaknya, Ben, yang sering berbuat ulah. Anak itu bukan semacam bayi yang tersesat di dunia baru, tetapi manusia dari golongan paling keparat yang bisa kau temui.     Gadis yang dikenal Ben di pesta malam itu adalah Sarmila, yang datang dari suatu desa jauh, yang pergi merantau ke kota dan terjebak di gemerlap dunia malam. Konon, Sarmila sukses dari memeras keringatnya tanpa ampun sebagai penyanyi, dan hasilnya adalah rumah mewah yang bakal kami sambangi.     "Kita tidak harus mengikutinya," bisik Janus dengan putus asa, sewaktu kami pergi ke tempat parkir. Ben berjalan di depan kami sambil membantu Sarmila karena gadis itu setengah mabuk.

[Cerpen]: "Menelusuri Identitas Diana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apakabar Indonesia edisi 10/XII 22 Juli - 4 Agustus 2017)       Pagi hari itu terasa lain. Aku bangun dan merasa dadaku sesak. Aku tahu selama ini tidak pernah mengalami gangguan pernapasan. Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berpikir tentang Diana, perempuan yang kusukai diam-diam, tetapi belum kukenal sama sekali.     Diana mendekam di kepalaku sebulan terakhir, dan kurasa bayang wajahnya sukar hilang dari sana hingga kami benar-benar saling mengenal dan dapat kuungkap perasaan cintaku kepadanya.     Barangkali memang ini terdengar aneh; aku jatuh cinta pada perempuan yang tidak kukenal, bahkan tidak kutahu sama sekali riwayat hidupnya. Aku juga tidak tahu apakah Diana putri dari keluarga baik-baik, ataukah keluarganya termasuk keluarga tidak beres. Tak ada informasi apa pun tentang Diana, selain namanya, yang kudapat secara rahasia dari seorang tetangga.     Ini terjadi sebulan terakhir. Aku mencintai seorang gadis yang melintas di jalanan depan aparteme

[Cerpen]: "Operasi Balas Dendam" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Jumat, 21 Juli 2017)       Aku lupa kapan pernah melihat perempuan itu. Ia duduk di sisi tempat tidurku dan memberiku air. Ia bilang, aku harus minum agar tidak mati, dan kalau aku mati, ia tidak bisa menuntut balas. Aku tidak tahu kalau ia menyimpan dendam padaku, bahkan aku tak ingat pernah membuat suatu kesalahan sehingga ia pantas menuntut balas.     "Aku tidak pernah melukaimu atau membuat gara-gara. Aku tidak pernah berdosa kepadamu," kataku.     Ia tertawa dan menyuruhku minum. Selesai minum, tubuhku jadi semakin remuk. Aku tidak tahu kenapa bisa ada di tempat asing ini. Kamar yang pengap dan temboknya penuh noktah cokelat. Bau bangkai tikus merebak dari kolong tempat tidur. Barangkali ini tempat yang si perempuan siapkan untuk menuntut dendam yang tidak kutahu apa. Kubayangkan di luar kamar terdapat berbagai macam alat siksaan yang bisa membuatku cacat. Atau jangan-jangan, ia akan membunuhku?     "Kamu memang tidak pernah s

[Cerpen]: "Perjalanan Pulang Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, Minggu, 16 Juli 2017)       Malam itu hujan deras. Aku terjebak di halte dekat kantor, yang tidak terlalu ramai di atas jam sepuluh malam. Sudah beberapa hari ini bos marah besar karena baru tertipu orang kepercayaannya. Para pegawai bawahan sepertiku yang akhirnya kena imbasnya. Demi apa pun, masalah-masalah harus dibereskan, dan tindakan ini pun mengorbankan waktu setiap orang.     Harusnya aku tahu. Membawa motor adalah hal utama sejak bos menambah daftar kerjaan yang harus kuselesaikan dalam sehari. Setumpuk berkas berisi data-data tahun lalu harus kuteliti ulang di tengah upaya mengambil tindakan hukum atas penipuan oleh orang kepercayaannya tadi. Aku tidak pernah bekerja sampai lupa waktu seperti kali ini. Aku bahkan tidak ingat jam berapa terakhir kali menyeduh kopi di pantry .

[Cerpen]: "Minggat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Juli 2017)       Aku memutuskan menumpang kendaraan orang saja, ketimbang jalan kaki sekian kilo jauhnya. Aku jelas tidak akan sanggup. Lagi pula aku juga baru melahirkan, meski bayi yang seharusnya tumbuh itu malah mati sia-sia. Jadi, dalam kondisi nyaris putus asa, aku pergi dengan membawa sedikit barang dan secara sadar meninggalkan suamiku yang kasar. Dengan seseorang memberiku tumpangan, tidak lagi kehidupanku seburuk yang sudah-sudah.     "Aku harus segera keluar dari area sini, sebelum suamiku tahu dan akhirnya diriku kembali dibawa pulang," kataku ke seorang sopir truk yang kucegat.     Sopir truk itu kelihatannya berbudi luhur. Dia berkacamata dan bertampang seperti tidak pada tempatnya. Maksudku, sejauh yang aku tahu, sopir truk biasanya adalah para lelaki hidung belang yang senang melihat wanita cantik atau setidaknya senang dengan pikiran kotor mereka tentang wanita. Dan entah bagaimana aku tahu sopir berkacamata in

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Angkasa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 9 Juli 2017)       1/     Sejak kecil saya bercita-cita pergi ke angkasa. Tapi banyak orang mengira saya gila dan menyuruh saya ke dokter; siapa tahu otak saya rusak atau mungkin di tempurung kepala saya tidak ada otak sama sekali. Kecuali astronot, kata mereka, tidak ada yang bisa ke angkasa!     Saya tahu saya bisa ke angkasa, walau bukan astronot dan belum pernah ke sana, kata saya. Suatu hari nanti, lihatlah, saya ke sana seperti Bapak saya.     Bukannya mendukung, mereka malah tertawa. Padahal mereka tahu Bapak saya di angkasa. Beberapa hari setelah itu, saya ditaruh di kandang babi. Baunya tidak enak dan saya berak di sana, juga kencing dan makan di sana. Semua saya lakukan di sana setelah saya ditangkap dan dipukuli ramai-ramai. Saya dipasung karena melukai siapa pun yang meledek saya.     Akhir-akhir itu sebilah pisau tidak lepas dari tangan. Sembari memandang angkasa, saya genggam pisau itu erat-erat dan menjilatnya. Dalam setiap jilatan,

[Cerpen]: "Sampai Tua dan Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post edisi Minggu, 4 Juni 2017)       Setiap malam aku selalu berjalan berkeliling rumah mewah peninggalan almarhum suamiku. Biasanya satu malam kuhabiskan menelusuri ruang tertentu dalam rumah, tapi aturan itu tidak selalu berlaku. Kadang-kadang aku hanya suka berjalan saja dari ruang satu ke ruang berikut, tanpa memikirkan apa-apa, sampai azan subuh terdengar.     Rumah ini memang sangat besar. Setiap ruangnya bahkan dapat menampung lebih dari lima puluh orang, jika memang dibutuhkan. Hanya saja, sejak kami menikah, sebab aku tidak bisa mengandung bayi, rumah ini tetap sepi. Beberapa pembantu memang ikut tinggal di sini, tapi mereka tidak dapat meramaikan rumah.     Suatu ketika, sebelum meninggal, suamiku mengeluh, "Betapa sia-sianya rumah ini. Kita tidak bisa memenuhi ruang-ruangnya dengan banyak orang, kecuali tamu-tamuku yang kadangkala datang sekadar untuk keperluan bisnis."     Aku sendiri tahu aku tumbuh dari keluarga tak berpunya. Beberapa ker

[Cerpen]: "Hotel Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 4 Juni 2017)       Ada yang tidak beres di kepala resepsionis yang memberiku kunci kamar nomor 21. Ia tidak ramah dan tidak sepenuhnya mengerti yang kukatakan, dan hanya mengangguk sekenanya saat kubilang, "Teman saya tadi datang."     Tentu kujelaskan identitas temanku tersebut, beserta segala ciri, yang kutahu sangat mudah dihafal oleh siapa pun yang tidak temanku kenal. Temanku itu memang unik; dia seniman yang senang menyebut coretan-coretan tak berarti sebagai barang berharga dan suatu hari nanti dapat digunakan untuk membeli dunia. Ia juga senang bicara dan pamer bahwa karyanya sering dipamerkan secara eksklusif di tempat-tempat terkenal, di dalam maupun luar negeri. Intinya, tidak ada yang harusnya merasa kesulitan mengenali orang macam temanku.     Bagaimana dapat kusebut beres? Bahkan, untuk mengenali seniman seunik itu saja, seorang resepsionis tidak mampu? Ia cuma menggeleng dan mengangkat sebelah tangan tanda tidak tah

[Cerpen]: "Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 21 Mei 2017)       Di suatu halte, seorang lelaki sedang berdiri menunggu kekasihnya. Ia berdiri tanpa alasan yang lebih baik selain menunggu seorang kekasih, meski telah banyak yang tahu bahwa kekasihnya sudah meninggal setahun lalu dalam kebakaran. Lelaki itu barangkali sudah gila, tetapi anggap saja dia waras dan hantu kekasih yang datang di saat tertentu adalah kenyataan.     Bicara tentang kenyataan, aku sadari banyak kenyataan kadang terdengar aneh atau tidak masuk akal. Termasuk soal si lelaki yang menunggu kekasihnya di halte. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama, tapi setiap orang di sepanjang jalan ini mengenalnya dan akan bersaksi pernah melihat pacar lelaki itu mati di depan mata mereka.     "Dia benar-benar sudah mati. Tubuhnya gosong dan kaku, dan sekarang lelakinya menunggu di halte seperti apa yang dulu mereka janjikan," tutur salah seorang saksi.     Bicara tentang janji, ada fakta yang membuatku ingin menan

[Cerpen]: "Pengelana dan Uang Ajaib" karya Ken Hanggara

Dimuat di basabasidotco, Jumat, 19 Mei 2017)       Sudah bertahun-tahun jauhnya aku berkelana, tetapi uang di koperku tidak pernah habis. Aku suka berkhayal suatu hari nanti uangku habis dan aku bisa mulai beristirahat di tempat yang tenang dan jauh dari peradaban sampai tua.     Aku sering berkhayal dan tertawa senang selama proses berkhayal ini, tetapi ketika sadar dan tahu keadaanku yang jauh dari cerita khayalan itu, aku mulai mual. Tidak ada pilihan selain melanjutkan perjalananku. Mungkin aku tidak ditakdirkan berhenti. Meski kubagi-bagikan semakin banyak uang ke semakin banyak orang, Tuhan tidak ingin aku berhenti.     Aku tak ingat kapan pertama kali pergi meninggalkan rumahku dengan membawa koper berisi banyak uang. Aku bahkan tak ingat bentuk teras rumahku, yang mungkin saja sekarang sudah lapuk atau roboh dan digantikan oleh bangunan semacam mall. Aku tak pernah pulang sejak keberangkatanku yang pertama, dan segera mengetuk satu demi satu pintu untuk membagikan ua

[Cerpen]: "Sihir Bola" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Mei 2017)      Bola yang menggelinding di pinggir lapangan akhirnya berhenti. Anak-anak saling rebutan mengambil dan melemparkannya ke seorang pemain tengah, Mugeni namanya, agar dapat kesempatan diajak main minggu depan.     Tapi tentu bagi Mugeni mereka tidak selevel. Tingkatnya jauh di atas dukun paling sakti di kampung. Tidak ada yang lebih pandai mengendalikan bola ketimbang dirinya, termasuk angin.     Sore ini angin berembus lumayan kencang dan menjatuhkan beberapa motor dan sepeda pancal di parkiran. Lapangan busuk, kata Bung Dakir, rekan setim Mugeni, yang sering kali iri pada orang yang dibilang sahabatnya sendiri itu.     Mugeni memang sakti. Kalau kata orang, kesaktiannya setara legenda Maradona, meski sesungguhnya ia memang sakti dalam arti sebenar-benarnya. Tapi, pemain tengah top turnamen ini tidak mau sibuk-sibuk membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia guna menunjukkan makna kata 'sakti' secara nyata, demi penegasan di

[Cerpen]: "Murah Mart" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 29 April 2017)      Orang kecil mesti pilih-pilih kalau mau belanja, harus hemat. Apalagi anak-anakku nakal. Mereka maunya makan yang enak-enak. Anak dapat rangking, orangtua mana yang tak bangga? Aku juga mau anak-anakku pintar, berprestasi. Tapi, bagaimana kami beli makanan enak yang konon mahal? Sekadar tahu tempe saja sulit. Mereka merengek dan bertanya kapan Ibu belikan makanan enak? Atau, kapan kami rangking satu?     Suatu waktu, temanku Nani mengajakku ke suatu tempat. Yang lewat di pikiranku adalah: dia mengajakku ke rumah bosnya. Tempat itu luas. Ada beberapa truk terparkir. Kok bisa Nani punya pekerjaan sampingan tanpa takut ketahuan bos kami? "Bukan, Mar. Ini bukan rumah bos baruku. Ini rumah Pak Dermawan," jawabnya usai kuberondong dia dengan berbagai pertanyaan.

[Cerpen]: "Pencuri Otak" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 30 April 2017)     Berita itu menggemparkan: Jun kehilangan otak. Sudah pasti, otak itu dicuri orang. Ia bocah pintar, jauh lebih pintar ketimbang anggota dewan, barangkali. Maka segenap pasukan dikerahkan demi menyisir seluruh tempat. Tugasnya: mencari di manakah otak Jun.     Tidak ada petunjuk. Pencarian buntu di hari keempat. Hujan tidak putus-putus, dan Pak RT—sebagai pemegang komando misi pencarian otak sang jenius—jatuh sakit sore itu. Tugas berat gagal total dan ia terancam jadi omongan.     Tak ada yang lebih geram ketimbang Pak RT. Seseorang mencuri otak orang jenius. Kalau Jun mati, bisa celaka. Tidak ada lagi liputan TV, tidak ada lagi wisata dadakan para penggemar ilmu pengetahuan, serta tentu tidak ada lagi pemasukan buat kas RT.     Jun sekarat di kamarnya empat hari.     Ibunya cuma bisa menangis. Tidak ada saksi ketika kejadian. Mungkin saja pencuri itu masuk kamar Jun tengah malam dan diam-diam membelah otaknya. Sebagai

[Cerpen]: "Neraka di Kepala Mama" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 9 April 2017)     Bagi anak di seluruh dunia, rumah adalah tempat teraman, tetapi bagi Sani, rumah itu neraka. Tempat orang jahat membuat siksaan supaya anak sepertinya jera dan tidak meminta mainan.     Sani tidak punya mainan, tetapi dia ingin. Seperti teman-teman di sekolah, Sani berharap suatu hari Papa pulang dan membawakannya mainan. Mungkin sebuah remote control, atau paling tidak papan monopoli, sehingga di permainan yang seru, dia bisa belajar berhitung.     Bagi Mama, Sani anak bodoh. Sani itu bencana. Mama berulang kali bilang kepada semua orang tentang hal ini dan terus menerus meyakinkan mereka. Tentu saja, mereka seakan percaya bahwa Sani adalah tsunami dalam hidup mamanya. Mainan apa pun tak akan berguna bagi anak itu.     "Gara-gara Sani, suamiku mati. Gara-gara anak sial itu sekarang hidupku miskin!" kata Mama selalu.

Dibuka Pre Order Kumpulan Cerpen Tema Cinta: "Babi-Babi Tak Bisa Memanjat"

Buku terbaru saya ini siap kamu miliki. Isinya 17 cerita cinta dari berbagai sudut pandang. Ada cinta pada dunia, pada kekasih, atau apa pun. Semua tentang cinta. Tentu saja tidak semua cinta dalam buku ini bisa atau bahkan harus dipahami. Beberapa malah tak perlu. Bukankah memang selalu begitu?

[Cerpen]: "Markonah ke New York dan Tak Kembali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 2 April 2017)       Mugeni bercerita tentang pacarnya yang pergi ke New York dan tak kembali. Dari awal ini memang tidak wajar, karena setahuku Mugeni tidak pandai berbahasa Inggris. Teman-teman lain mengira ia semakin sinting.     "Tapi benar, pacarku itu minggat ke New York!" katanya selalu.     Mugeni memang begitu. Jangan heran jika suatu hari kau lihat dia duduk di depan kios fotokopi Haji Samak, dan dia memegang sendok plastik sambil berkhayal dengan itu ia bisa terbang menjemput pacarnya. Mugeni mengaku sang pacar pintar berbahasa Inggris dan berdarah asli Jombang. Lulus SMA, si pacar terbang ke New York untuk sebuah cita-cita. Mugeni mengenal pacarnya ketika ia membeli buku bekas di Surabaya.     Aku sendiri tidak begitu percaya waktu mendengar cerita ini. Coba saja kau pikir, setan mana membisiki Mugeni hingga ia rela menghabiskan uangnya yang tidak banyak itu demi sebuah buku?     Mugeni berkeluh kesah, ia butuh buku ten