Skip to main content

Posts

Showing posts with the label pengalaman

[Puisi]: "Mati Kutu" karya Ken Hanggara

Semalam ada bintang jatuh di langit kota kita Perjalanan dua jam kusingkat jadi satu setengah Dan aku berdoa agar setelah ini segalanya baik-baik saja Kau di sana bahagia Aku di sini bahagia Seandainya tubuhku sebongkah es krim rasa cokelat Semalam aku segenang cairan di lantai kafe itu Membasahi sepatu dan sandal tukang kencan Membasahi sandalmu juga yang berada persis di depan sandalku Dan barangkali membasahi dadaku sendiri yang rongga Mati kutu semalam ditutup pertunjukan bintang jatuh Di bawah langit kota ribuan orang tumpah ruah Tetapi hanya aku yang melihat bintang jatuh Dan aku berdoa dengan panjang di perjalanan Sambungan doa-doa terdahulu yang kurang ajar Sebab tanpa izin dan permisimu -5 Juni 2016-

Bersyukur dengan Diriku Hari Ini

Tahun 2016 hampir separuhnya kujalani. Bagiku separuh ini cukup banyak memberiku kejutan dan perubahan. Bagaimanapun, semua ini tak mungkin terjadi jika dulu pada suatu siang aku tak memutuskan menulis sesuatu dan berharap kelak, dengan menulis, aku bisa dikenal orang dan memberi manfaat pada sesama.

Menilai Sesuatu Jangan dari Kulitnya Saja

Tetangga saya itu orang kaya. Punya rumah dan mobil bagus. Pernah naik haji juga. Dulunya berasal dari keluarga tidak mampu. Setelah sukses dan menjadi kaya, penampilannya tetap sederhana. Bahkan sangat sederhana. Suatu hari ketika menjelang lebaran dan pergi ke mini market hendak membeli buah, oleh tiga orang pegawai, tetangga saya didatangi dan diberitahu, "Yang itu mahal lho, Bu." Ia hanya mengangguk.

Jika Kau Menyakiti Hati Penulis...

Ada yang bilang, "Jika kau menyakiti hati seorang penulis, maka hati-hatilah. Kau akan diabadikannya sebagai sosok yang buruk dalam ceritanya." Saya tidak setuju dengan peringatan itu, walau barangkali ada penulis yang begitu. Tapi semua tergantung pribadi penulis yang mengalami.   Seandainya hati saya disakiti, siapa pun dia tidak saya abadikan dalam sosok buruk di cerita setengah fiktif. Lebih sering malah tidak saya tulis dalam bentuk apa pun. Kalaupun memang perlu suatu saat saya menulis tentang orang ini, saya lebih suka menuliskannya sebagai sesuatu yang baik.

[Puisi]: "Kado" karya Ken Hanggara

Suatu malam sekotak kado menjebol atap kamarku Kubuka kado aneh itu dan kutemukan namamu Nama dari dua huruf vokal dan tiga konsonan Besoknya aku demam dan aku jatuh cinta Besok lusanya aku terluka dan aku masih jatuh cinta Cinta tidak pernah salah Cinta selalu datang tiba-tiba, tetapi tidak selalu bahagia Ada luka di sana Ada lubang di sana Ada manis dan tawa yang dicetak dalam rongga dada Barangkali semua itu perlu Agar seribu tahun lagi ada kenangan yang bisa diputar Entah oleh siapa -24 Mei 2016-

Menyiasati Teror Hantu Jadi Cerita

Beberapa minggu belakangan ini saya sedikit menulis cerpen, karena harus mengurus beberapa hal penting lain. Meski begitu, tetap cerpen tidak bisa saya tinggalkan. Jadi sesibuk apa pun saya sempatkan menulis cerpen di waktu senggang. Membuka folder di email, saya sadari cerpen-cerpen saya belakangan berkaitan dengan hantu. Cerpen beride dasar apa pun, selalu membawa-bawa hantu. Suatu malam sengaja saya duduk di tempat yang katanya penuh hantu. Saya menulis tentang hantu di sana dan hasilnya lumayan lucu. Di waktu lain saya sedang kelaparan dan menulis tentang hantu, lalu hasilnya lumayan tragis. Hantu-hantu itu sengaja saya buat senatural mungkin. Jika kita pernah dengar hantu berbau tidak enak, maka saya sebut dalam suatu cerita kalau hantu itu berbau ikan busuk.

Garis Takdir: Jatuh Cinta Tidak Punya Rumus

Takdir setiap manusia itu garis. Satu garis bertumpukan dengan garis lain berarti satu pertemuan. Garis ketiga datang, tiga tumpuk garis. Garis keempat datang, empat tumpuk. Dan seterusnya. Pertemuan dan perpisahan membawa garis-garis kita ke sana kemari, menyatu dan menjauh dari garis-garis tertentu untuk menuju ke garis-garis berikutnya. Percintaan pun ada dalam garis-garis ini. 

Cinta Tak Pandang Bulu

Suatu hari di warung langgananku, aku duduk dan memesan makanan seperti biasa. Di samping kiriku ada seorang kakek sedang makan. Beliau seorang tunanetra dan didampingi istrinya. Keduanya makan mie rebus. Aku tidak pernah melihat sepasang suami istri tua ini, tetapi mereka membawa gumpalan kain, yang kuduga berisi pakaian. Mungkin mereka berkelana ke tempat yang jauh dari kampung, dan jelas mereka bukan pengemis, karena mereka tidak meminta-minta di beberapa bangunan dekat warung setelah pergi meninggalkan warung itu.   Ketika kakek itu makan, dan istrinya dengan sabar mengambilkan tisu serta mengusapi bibir si suami, hatiku mendadak pedih. Seperti seseorang menghantam hatiku dengan batu berkali-kali, dan hatiku menjadi bengkak karenanya. Kakek itu makan dengan lahap, (maaf) seperti orang yang tidak makan beberapa waktu lamanya. Di meja sisi kanan dan kirinya tumpahan kuah mie rebus itu terlihat jelas oleh mataku dan aku semakin pedih justru ketika si nenek semakin semangat membersi

[Puisi]: "Surat Itu Belum Aku Kirim" karya Ken Hanggara

Surat itu belum aku kirim Sudah tertulis rapi dan terbungkus wangi Ada segumpal belahan jantungku di sana Ada setetes darah dari dadaku yang lubang Surat itu tidak banyak berisi kata Hanya sekalimat: 'aku mencintaimu' Disertai tambahan-tambahan tersebut di atas Tapi surat itu belum kamu sentuh Terselip di antara tumpukan tugasku Sesekali diresapi keringatku atau darahku atau apa pun tentang luka yang lahir dari sebuah perasaan tak tepat waktu Surat itu barangkali hanya sesuatu yang kusimpan dalam amplop dan selamanya begitu Atau barangkali dengan segera dirobek-robek oleh tangan yang kuharap menerimanya dengan terbuka Dan menyimpannya dengan rapi bersama senyum kerinduan Tapi, siapa aku? Suratku berdiam di sini, di dekat hari-hariku Hari-hari yang berjarak begitu jauh dengan hari-harimu Jarak yang berusaha kupenggal dengan pisau bedahmu yang tertinggal Jarak yang kadang mematikanku, atau kadang menghidupkanku, atau di lain waktu membuatku terbang ke Planet Mars Aku alien dan k

(Nyaris) Tak Ada Metromini Sore Itu

Seorang bapak-bapak bertanya padaku ke mana arahku pulang, karena tampaknya para sopir metromini berdemo hari itu dan kami yang tinggal jauh dari Jakarta Barat bakal susah menemukan kendaraan. Kujawab, "Jakarta Selatan, Pak." Ini terjadi tahun 2011. Waktu itu aku pasrah. Seandainya memang tidak bisa pulang, aku bisa tidur di masjid dekat kantor. Semalam saja tak soal, karena toh baju kerja bisa kulipat dengan rapi dan kusimpan di tas. Aku tidak bisa membayar taksi karena uang di dompet sedang tipis. Tabunganku ada di koper, di kontrakan, di Jakarta Selatan. Aku benar-benar tidak membawa uang selain yang di dompet. Seandainya aku menginap malam itu di masjid dekat kantor, untuk makan besok dan ongkos pulang besok sorenya, aku bisa pinjam teman.

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Kita Tidak Hidup Selama 2 Jam!

Tahun 2016 ini tahun paling berbeda bagi saya. Kalau melihat ke belakang, ke beberapa tahun silam sebelum saya menekuni dunia literasi, lalu mulai mengenalnya, menseriusinya, memperjuangkan agar tulisan saya dibaca orang, dan melalui semua proses itu, dari tahun ke tahun rasanya selalu saja ada perubahan. Sedikit demi sedikit memang, tidak instan, karena bahkan mendaki gunung pun tidak bisa sambil berlari. Sementara puncak mimpi lebih terjal dari gunung. Saya ingat perubahan yang 'sedikit demi sedikit' ini sudah saya yakini sejak awal dan selalu saya pegang. Itulah kenapa jika saya jenuh dalam menulis, saya tidak membenci kegiatan ini (apalagi sampai putus asa dan berhenti menulis), tetapi istirahat dulu entah dengan cara apa selama satu atau dua hari, lalu bersambung menulis kembali. Itu saya lakukan bertahun-tahun.

Kita Akan dan Harus Sampai Tujuan dengan Selamat

Tidak tahu mau menulis status apa, walau sudah membuat beberapa cerita hari ini. Ketika ingin menulis status, kepalaku hanya penuh dengan satu hal, dan satu hal itu tidak bisa kuabaikan. Lalu kuintip keluar jendela dari dalam gerbong kereta ini. Kututup semua bacaan dan buku catatan. Pemandangan di luar penuh barisan bukit dan awan terlihat gelisah. Sepertinya akan turun hujan dan badai kencang segera menerpa. Stasiun tujuan masih jauh. Dada ini masih lubang. Kelak di tujuan, dada ini mungkin penuh dengan bahagia.

Permintaan yang Tak Terucap dan SMS Misterius

Dua bulan yang lalu, saya duduk di ruang tamu sambil menunggui dua orang tukang membenahi dan mengecat teras depan. Saya duduk di ruang tamu namun tak bisa melihat teras, sebab gorden sengaja ditutup agar tidak menyilaukan mata. Saya sibuk mengerjakan sesuatu di depan laptop dan masih bisa mendengar suara dua tukang tersebut mengobrol sembari bekerja. Di saat yang sama, orangtua saya ke bank yang letaknya lumayan jauh kalau jalan kaki, sekitar satu kilo. Orangtua saya bermotor berdua sehingga di rumah hanya ada saya dan dua tukang tadi.

Masa Kecilku: Pendek, Bukan Pendekar

Ada teman bermain dari dusun sebelah yang dulu waktu kecil dipanggil Pendek (cara pengucapannya sama seperti saat kita menyebut kata 'pendekar', hanya saja tanpa huruf 'a' dan 'r'). Tidak tahu kenapa ia disebut Pendek. Yang jelas ia tidak bertubuh pendek, sebab waktu itu anak kecil yang paling kelihatan tua adalah si Pendek ini. Umurnya dua atau tiga tahun di atas saya dan badannya hitam besar. Saya hampir tidak pernah membuat masalah dengannya, begitupun sebaliknya, karena Pendek ini tidak pernah berlagak sok. Orangnya santai, meski kalau berkelahi kemungkinan besar pasti menang, karena ketika itu belum ada bocah berbadan sekekar dia. Pendek suka bermain layang-layang di sawah dan sesekali sepak bola. Saya sering meledeknya dengan maksud bercanda, dan ledekan itu juga tidak berlebihan. Semacam ledekan pertemanan. Pendek tidak pernah membalas selain melihat mata saya beberapa detik, seperti seorang lelaki tua menatap cucunya.

[Puisi]: "Kereta" oleh Ken Hanggara

Sebelum kereta berangkat, kubawa koper berisi namamu Nama dari dua huruf vokal dan tiga konsonan Hanya namamu Lalu semua seakan tidak penting Baju-baju, pasta gigi, sandal jepit, bahkan mobil Sebab koperku hanya muat membawa nama Koperku doa dan kereta waktu azan Hari ke hari bertambah lama kita Maju ke depan dan koper kian erat kupeluk Kubawa sampai jauh dan kupikul ke gunung dekat stasiun tujuan Di stasiun tujuan ada kios kecil Jual permen, kacang goreng, dan pulpen Kubeli sebatang pulpen dan sekali lagi kususun namamu di telapak tangan "Apa?" tanya seorang bocah "Rahasia," kataku Namamu rahasia dan biar hanya Tuhan dan barangkali kita yang tahu Kubawa koper itu sekuat-kuatnya ke puncak gunung Jika lelah kuintip telapak tanganku Tentu saja, pulpennya harus kualitas nomor satu Biar kalau kena hujan, tinta pengukir namamu tidak luntur Sekarang kereta bersiap-siap Aku dan koperku--berisi namamu--sudah duduk manis dekat jendela Ada

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Secuil Kisah Penulis Cerita di Koran

Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?" Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni. Di keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya, sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!"  Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.