Skip to main content

Posts

Showing posts with the label opini

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?

Plagiarisme Harus Kita Lawan

Sebenarnya sekitar tiga atau empat minggu sebelum mencuatnya kasus plagiarisme oleh salah satu penulis "besar" itu, selama beberapa hari saya terpikir menulis cerita tentang plagiator. Sudah ada konsep kasarnya di kepala, sebagaimana biasa. Tapi entah kenapa ide-ide lain berasa lebih mendesak untuk ditulis, maka teruslah ditunda-tunda cerita yang satu ini. Suatu malam saat membuka Facebook, saya baca soal kasus tersebut dan saya jadi berpikir, "Ah, telat!" Maksudnya, kenapa tidak dari awal saja cerita plagiator yang baru berupa ide itu segera saya buat? Tapi saya tidak menyesal karena keterlambatan macam ini. Toh lain waktu cerita itu bisa saya tulis dengan lebih mematangkan konsep atau barangkali mencari serpihan-serpihan bahan dulu dari luar biar cerita yang dihasilkan bakal bagus. Sebenarnya saya pernah menulis cerita pendek tentang plagiator, tepatnya tahun lalu. Sayangnya cerita itu belum menemukan jodoh hingga hari ini.

Take It or Leave It!

Baca status seorang teman, jadi ingin tertawa. Mempromosikan karya itu wajar. Kalau tidak dipromosikan, bagaimana orang bisa tahu? Kalau diam saja, bagaimana buku/karya yang kita buat bakal dicari orang? Selama promosi itu di status kita sendiri, memang masalah? Sebenarnya bukan masalah. Hanya orang bermasalah di otak dan hatinya saja yang mempermasalahkan. Hehe. Kukira hanya pertapa, yang hidup di gua di suatu pedalaman, yang tidak memerlukan promosi andai dia berkarya, atau orang yang sok pertapa, atau barangkali orang yang sudah terkenal karena sudah memiliki banyak penggemar dan jaringan (bahkan mereka yang terkenal pun kita tahu gencar melakukan promosi).

Flash Disk Sejarah: Dari Zaman 'Main-main' hingga Jadi Penulis

Flashdisk yang sampai sekarang saya gunakan, yang di dalamnya berisi ribuan file tulisan sejak beberapa tahun lalu memulai menekuni dunia menulis, dibeli di dekat pasar, persis di samping sebuah toko jamu. Tempat itu menjual berbagai aksesori komputer dan membuka jasa fotokopi. Saya ingat hari itu, pada suatu siang ketika membeli flashdisk ini, berpikir betapa benda ini akan menjadi sejarah suatu hari nanti. Entah sejarah macam apa; pokoknya ia bakal menjadi lebih dari sekadar benda untuk menyimpan lagu-lagu dan koleksi video klip. Flashdisk ini mulai saya gunakan untuk "main-main", karena waktu itu belum serius menggeluti dunia menulis, walau sudah membuat beberapa bab novel--yang mandeg berkat ucapan pedas seorang teman. Flashdisk ini hampir tiap hari selalu saya bawa dan ketika mampir ke warnet mencari lagu-lagu favorit, ia selalu siap menampung. Entah berapa banyak file lagu dan video klip band serta penyanyi kesukaan terkumpul. Suatu ketika tahu-tahu s

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Tentang Pabrik Cerpen dan Selera Baca

Kira-kira seminggu lalu, setelah mencoba beberapa minggu, teman saya bisa juga meloloskan salah satu tulisannya. Bukan cerpen, tetapi esai. Dimuat di koran lokal tak berhonor, sebagai karya pertama di media, ia menganggap inilah sejarah. Saya tentu saja berpikir begitu. Sesepele apa pun pencapaian seorang kerdil di mata orang yang mungkin sudah besar, akan tetap istimewa di mata kami yang masih pemula ini. Sebagai sesama 'kerdil', saya jabat tangannya dan memberi ucapan selamat tiga kali, seperti memanggil Bento atau hantu Bloody Marry atau siapa pun yang minta dipanggil tiga kali guna memunculkan diri. Teman itu mengajak saya ke kafe seberang kantornya dan berniat menraktir jus buah naga kesukaan saya. Saya bilang itu berlebihan, karena ia sendiri tidak dapat honor. Tapi ia beranggapan ini harus dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia. Saya pun mau. Ketahuilah, kalau dia telanjur senang, susah mengendalikan diri. Ia terus menerus berjingkrak dan berk

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada. Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa. Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung. Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif. "Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 3): "Ending yang Membekas"

Dalam kesempatan ini saya akan bagikan tips menulis ending . Ending adalah akhir sebuah cerita. Ending yang baik adalah yang membekas di hati pembaca. Yang namanya membekas, bisa menyenangkan, bisa juga menyebalkan. Intinya kita butuh menulis cerpen yang tak biasa, maka buatlah sesuatu yang juga tak biasa. Coba ingat kejadian apa yang paling berkesan dalam hidupmu. Pasti kebanyakan yang nyebelin. Iya atau iya? :p Kejadian menyenangkan lebih jarang kita ingat. Maka buatlah ending yang menyebalkan bagi pembaca.     Lha kok malah gitu? Aya-aya wae Kakak ini! Ini gak main-main. Ending menyebalkan yang saya maksud adalah ending yang menampar, ngagetin, kurang ajar, dan nggantung. Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.     Berikut tips menulis ending:

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 2): Opening yang Menjerat

Kali ini giliran saya bagikan tips menulis opening cerpen. Kalau judul ibarat penampilan luar, maka opening adalah tingkah laku. Attitude! Bayangin, kamu ketemu orang baru, kenalan baru. Kelihatannya sih asyik, seru, baik, ramah, sopan... ah, pokoknya perfect lah. Eh, ternyata, setelah kenal beberapa menit aja, kamu udah bosen hanya karena cara bicara dia yang tidak sopan atau kurang ajar. Nah, judul yang bagus saja tidak cukup untuk cerpenmu. Itulah gunanya tips menulis cerpen yang tak biasa. Opening yang bagus itu penting. Karena sejak kalimat-kalimat pertama, orang akan tahu dia mau atau tidak meneruskan membaca cerpenmu. Maka, opening harus tak biasa, menjerat, nendang, mengundang penasaran, menggugah perasaan, dan menyimpan kejutan.

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 1): Judul yang Memikat

Berikut ini akan saya bagikan satu tips menulis cerpen yang tak biasa . Pertama, tentu saja soal judul. Judul ibarat wajah, kepala, baju, dan segala asesoris yang dipakai "seorang" cerpen. Semua terlihat dari luar. Maka sepatutnya judul dibuat memikat, mengikat, mengundang rasa penasaran dengan sejuta tanda tanya. #jiaah... Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight? Bagi sebagian orang itu omong kosong. Tapi percayalah, bagi pembaca cerpen, cinta semacam itu wajib! Maka menulis cerpen yang tak biasa tentu juga butuh judul yang tak biasa. Cerpenmu gak akan menarik minat pembaca jika judul yang kamu buat ngebosenin, jadul, klise (itu-itu saja), bikin ngantuk, dan pasaran. Maka buatlah gebrakan baru soal judul. Dan satu lagi, jangan ikut-ikutan! Namanya juga menulis cerpen yang tak biasa , pasti dibutuhkan hal-hal baru dong. Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.   Tips menulis judul cerpen yang tak biasa ad

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?

Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun. Alasan "pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan , sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Antara Pencurian, Korupsi, & Plagiasi

Pencurian adalah tindakan jahat yang dilakukan dengan mengambil milik orang lain secara diam-diam. Kebanyakan--dan hampir dapat dipastikan--tujuannya tak lain untuk menguntungkan diri si pelaku. Pelaku tersebut tidak akan mengembalikan benda yang dicurinya, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang mendesak, sepeti misalnya ketika ia tertangkap basah. Sepanjang masih 'aman-aman' saja, pencuri adalah asap di tengah badai, yang hilang dan tak mungkin akan kembali.