Skip to main content

Posts

Showing posts with the label inspiratif

Tidak Ada Masa Depan Tanpa Masa Lalu

Apa pun yang ada hari ini kita jalani dengan upaya terbaik. Saya tidak bisa melupakan kalimat luar biasa di salah satu novel yang baru-baru ini saya baca, yang berbunyi kira-kira begini: "Kau tidak akan memiliki masa depan jika tidak punya masa lalu." Maksud kalimat itu adalah: kelak kau tidak akan menjadi apa-apa, atau kelak kau akan jatuh dalam penyesalan, jika hari ini kau tak menggenggam dan memanfaatkan waktu yang Tuhan berikan untukmu dengan sebaik mungkin. Hari ini adalah masa lalu di masa mendatang. Hari ini adalah penentu siapa kita suatu hari nanti. Kau tidak akan memiliki masa depan, jika hari ini memilih kalah/menyerah.

Cinta Tak Pandang Bulu

Suatu hari di warung langgananku, aku duduk dan memesan makanan seperti biasa. Di samping kiriku ada seorang kakek sedang makan. Beliau seorang tunanetra dan didampingi istrinya. Keduanya makan mie rebus. Aku tidak pernah melihat sepasang suami istri tua ini, tetapi mereka membawa gumpalan kain, yang kuduga berisi pakaian. Mungkin mereka berkelana ke tempat yang jauh dari kampung, dan jelas mereka bukan pengemis, karena mereka tidak meminta-minta di beberapa bangunan dekat warung setelah pergi meninggalkan warung itu.   Ketika kakek itu makan, dan istrinya dengan sabar mengambilkan tisu serta mengusapi bibir si suami, hatiku mendadak pedih. Seperti seseorang menghantam hatiku dengan batu berkali-kali, dan hatiku menjadi bengkak karenanya. Kakek itu makan dengan lahap, (maaf) seperti orang yang tidak makan beberapa waktu lamanya. Di meja sisi kanan dan kirinya tumpahan kuah mie rebus itu terlihat jelas oleh mataku dan aku semakin pedih justru ketika si nenek semakin semangat membersi

(Nyaris) Tak Ada Metromini Sore Itu

Seorang bapak-bapak bertanya padaku ke mana arahku pulang, karena tampaknya para sopir metromini berdemo hari itu dan kami yang tinggal jauh dari Jakarta Barat bakal susah menemukan kendaraan. Kujawab, "Jakarta Selatan, Pak." Ini terjadi tahun 2011. Waktu itu aku pasrah. Seandainya memang tidak bisa pulang, aku bisa tidur di masjid dekat kantor. Semalam saja tak soal, karena toh baju kerja bisa kulipat dengan rapi dan kusimpan di tas. Aku tidak bisa membayar taksi karena uang di dompet sedang tipis. Tabunganku ada di koper, di kontrakan, di Jakarta Selatan. Aku benar-benar tidak membawa uang selain yang di dompet. Seandainya aku menginap malam itu di masjid dekat kantor, untuk makan besok dan ongkos pulang besok sorenya, aku bisa pinjam teman.

Dalam Segala yang Lucu, Tersimpan Banyak Hal Serius

Hidup ini lucu, tapi kamu harus bersyukur. Bayangkan, kau jatuh dan mencoba bangkit dan mendekatkan diri pada-Nya. Lalu Tuhan mengirim kado untukmu pada suatu malam ketika kau berharap ada sesuatu yang membuatmu lebih memiliki tujuan jelas dalam hidup. Kado itu tahu-tahu jatuh menimpa genteng rumahmu dan menjebol atap kamarmu, membuatmu berpikir barangkali seseorang menjatuhkan sesuatu dari pesawat. Kepalamu yang pusing meyakini itu, tapi tidak ada orang membuang sampah dari jendela pesawat, karena pesawat bukan metromini. 

Meninggalkan Hobi = Dosa Berat

Kalau saya hari ini dipertemukan dengan saya sepuluh tahun yang lalu, dan keduanya membawa gitar, lalu disuruh memainkan melodi lagu tertentu, bisa dipastikan saya yang hari ini jauh lebih payah. Pasalnya sudah bertahun-tahun saya berhenti memainkan gitar. Benar-benar berhenti, meski bukan karena benci atau niat berhenti, tetapi tidak sempat. Jika dulu waktu luang sehabis sekolah dan mengerjakan PR saya habiskan dengan main Playstation atau gitar atau main bola di luar, maka tahun-tahun terakhir gitar menempati urutan terbawah daftar hobi penghilang penat setelah saya menekuni dunia literasi. Kalau ditulis dalam angka, mungkin hobi main gitar dapat nilai nol koma nol-nol sekian. Nol di belakang koma barangkali ada tujuh belas, saking parahnya.

Kita Tidak Hidup Selama 2 Jam!

Tahun 2016 ini tahun paling berbeda bagi saya. Kalau melihat ke belakang, ke beberapa tahun silam sebelum saya menekuni dunia literasi, lalu mulai mengenalnya, menseriusinya, memperjuangkan agar tulisan saya dibaca orang, dan melalui semua proses itu, dari tahun ke tahun rasanya selalu saja ada perubahan. Sedikit demi sedikit memang, tidak instan, karena bahkan mendaki gunung pun tidak bisa sambil berlari. Sementara puncak mimpi lebih terjal dari gunung. Saya ingat perubahan yang 'sedikit demi sedikit' ini sudah saya yakini sejak awal dan selalu saya pegang. Itulah kenapa jika saya jenuh dalam menulis, saya tidak membenci kegiatan ini (apalagi sampai putus asa dan berhenti menulis), tetapi istirahat dulu entah dengan cara apa selama satu atau dua hari, lalu bersambung menulis kembali. Itu saya lakukan bertahun-tahun.

Kita Akan dan Harus Sampai Tujuan dengan Selamat

Tidak tahu mau menulis status apa, walau sudah membuat beberapa cerita hari ini. Ketika ingin menulis status, kepalaku hanya penuh dengan satu hal, dan satu hal itu tidak bisa kuabaikan. Lalu kuintip keluar jendela dari dalam gerbong kereta ini. Kututup semua bacaan dan buku catatan. Pemandangan di luar penuh barisan bukit dan awan terlihat gelisah. Sepertinya akan turun hujan dan badai kencang segera menerpa. Stasiun tujuan masih jauh. Dada ini masih lubang. Kelak di tujuan, dada ini mungkin penuh dengan bahagia.

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?

Masa Kecilku: Kenakalan Semasa Belajar Ngaji

Mama saya biasa mengajar ngaji di masjid dusun sebelah, di dekat rumah lama. Masjid ini pembangunannya dimulai saat saya masih SD dan selesai 2-3 tahun kemudian. Saya kira, masjid inilah yang sampai hari ini semakin ramai digunakan sebagai tempat anak-anak belajar mengaji sehabis ashar, apalagi setelah di sampingnya didirikan sebuah TPQ. Sementara itu, masjid tua di dekat rumah saya, yang ada sejak zaman layar tancap dulu, atau mungkin sudah dibangun sejak zaman Belanda, sudah lama tidak ditemukan anak-anak kecil berkumpul selepas ashar di terasnya. Pasalnya, generasi 90an seperti sayalah yang dulu menyebabkan masjid tua ini menjadi TPQ yang paling diminati. Ketika kami jadi remaja dan tidak lagi mengaji di sana, pelan dan pasti masjid itu tidak lagi dipakai untuk mengajar membaca Quran.

Telusuri Dulu Kenyataannya, Baru Menilai Seseorang

Suatu ketika saya bertemu artis yang dulu sempat saya kagumi karena kepribadian dan aktingnya. Waktu itu kami sama-sama syuting di Persari, studio besar di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Saya masih peran kecil-kecilan dan dia peran utama.  Saya tidak sampai berpikir bakal ada jembatan antar-kasta, mengingat kebaikan dia di saat wawancara atau menghadiri undangan talkshow di layar kaca. Ternyata saya salah besar. Artis ini seratus delapan puluh derajat berbeda jika ditemui di dunia nyata. Ia tidak ramah dan bahkan cenderung menganggap saya tidak ada. Padahal saya cukup cerdik mengambil momen menyapanya ketika kami di musala selesai salat magrib; lagi pula saya menyapanya dengan wajar dan tidak dengan cara memalukan. 

Masa Kecilku: Kalau Sudah Besar Jadi Polisi?

Dulu semasa saya kecil, almarhum kakek yang pensiunan polisi selalu berkata pada teman-temannya, "Ini cucuku yang paling ganteng. Kalau sudah besar jadi polisi."   Tapi saya tidak ingin jadi polisi. Tentu saja saya tidak mengatakan itu pada Kakek, karena beliau suka menghibur saya dengan membuat skesta binatang-binatang seperti kuda dan macan, sampai saya menyimpan cita-cita ingin menjadi pelukis suatu hari nanti. Gambar skesta almarhum Kakek, yang dibuat di berbagai macam kertas seadanya, karena tiap meminta dibuatkan sketsa, saya tidak tahu waktu, suka saya pandangi. Lalu saya tiru gambar-gambar itu sesuai versi saya yang jadinya kelihatan lebih besar dan komikal.

Belasan Tahun Mengubah Segalanya

Kira-kira tujuh belas tahun lalu saya pernah dibentak seorang bapak berbadan gendut, karena tak sengaja ban sepeda saya menginjak jembatan kecil di selokan depan rumahnya yang baru diperbaiki. Karena semennya belum kering, bekas ban sepeda saya kelihatan. Saya dan seorang teman langsung mengayuh sepeda lebih kencang karena takut ditangkap. Sejak itu, saya tidak berani lewat jalan tersebut. Pengalaman ini sama persis dengan sebelumnya. Waktu itu hari sudah cukup terang dan saya takut terlambat sampai sekolah. Di tengah jalan sempit, di depan sebuah toko alat pancing, ada banyak sekali bebek berkeliaran yang entah milik siapa. Saya harus buru-buru, tetapi bebek-bebek itu kurang ajar. 

Flash Disk Sejarah: Dari Zaman 'Main-main' hingga Jadi Penulis

Flashdisk yang sampai sekarang saya gunakan, yang di dalamnya berisi ribuan file tulisan sejak beberapa tahun lalu memulai menekuni dunia menulis, dibeli di dekat pasar, persis di samping sebuah toko jamu. Tempat itu menjual berbagai aksesori komputer dan membuka jasa fotokopi. Saya ingat hari itu, pada suatu siang ketika membeli flashdisk ini, berpikir betapa benda ini akan menjadi sejarah suatu hari nanti. Entah sejarah macam apa; pokoknya ia bakal menjadi lebih dari sekadar benda untuk menyimpan lagu-lagu dan koleksi video klip. Flashdisk ini mulai saya gunakan untuk "main-main", karena waktu itu belum serius menggeluti dunia menulis, walau sudah membuat beberapa bab novel--yang mandeg berkat ucapan pedas seorang teman. Flashdisk ini hampir tiap hari selalu saya bawa dan ketika mampir ke warnet mencari lagu-lagu favorit, ia selalu siap menampung. Entah berapa banyak file lagu dan video klip band serta penyanyi kesukaan terkumpul. Suatu ketika tahu-tahu s

Ini Murid Bapak yang Tidak Suka Pelajaran Bahasa Indonesia

Tidak tahu kenapa sejak SMP dan SMA saya selalu bermasalah dengan guru bahasa Indonesia. Waktu SMP, saya yang baru masuk sudah dengar kabar dari kakak saya dan beberapa teman sedesa yang lebih dulu sekolah di sana, bahwa ada salah seorang guru yang memiliki indra keenam. Jadi, barangsiapa berbuat nakal, sekalipun pintar menutupi, konon beliau ini pasti tahu. Saya percaya saja, karena penampilan beliau mendukung. Dingin namun santai. Tidak galak namun disiplin. Kalau saja kita murid baik-baik, santai saja menghadapi beliau, karena orangnya suka bercanda, walau kalau sudah serius tidak mudah dibuat tersenyum. Saya juga tidak takut pada guru ini, dalam arti tidak menyembunyikan kenakalan apa pun; jadi kenapa takut? Tentu saja saya juga selalu sopan pada semua guru.

Masa Kecilku: Belajar Membaca Tanpa Paksaan

Dulu waktu kecil tidak ada yang benar-benar berniat mengajari saya membaca, atau tepatnya ketika itu memang belum waktunya bagi saya, sehingga orangtua pun belum berpikir ke arah sana. Tapi saya sering duduk manis di dekat kakak yang ketika itu sudah sekolah TK dan mulai diajari membaca oleh Mama. Dengan cara melihat dan membayangkan bentuk huruf demi huruf, saya mulai tahu keasyikan membaca. Tidak langsung lancar, karena tentu saja saya hanya menjadi penonton di sana. Mama saya tidak tahu betapa anak bungsunya ini diam-diam terus mendengar dan mengamati, lalu membayangkan segala huruf, bahkan setelah kakak menutup buku dan tidur. Ketika itu ada mainan semacam lego, ukurannya sekepalan tangan saya, yang terdiri dari banyak warna dengan hiasan 26 abjad plus contoh kata serta gambar agar mudah diingat. Misal untuk huruf 'A', saya ingat bergambar buaya dengan kata 'aligator'. Ditambah permainan ini, semakin hari saya semakin lancar.

Tentang Pabrik Cerpen dan Selera Baca

Kira-kira seminggu lalu, setelah mencoba beberapa minggu, teman saya bisa juga meloloskan salah satu tulisannya. Bukan cerpen, tetapi esai. Dimuat di koran lokal tak berhonor, sebagai karya pertama di media, ia menganggap inilah sejarah. Saya tentu saja berpikir begitu. Sesepele apa pun pencapaian seorang kerdil di mata orang yang mungkin sudah besar, akan tetap istimewa di mata kami yang masih pemula ini. Sebagai sesama 'kerdil', saya jabat tangannya dan memberi ucapan selamat tiga kali, seperti memanggil Bento atau hantu Bloody Marry atau siapa pun yang minta dipanggil tiga kali guna memunculkan diri. Teman itu mengajak saya ke kafe seberang kantornya dan berniat menraktir jus buah naga kesukaan saya. Saya bilang itu berlebihan, karena ia sendiri tidak dapat honor. Tapi ia beranggapan ini harus dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia. Saya pun mau. Ketahuilah, kalau dia telanjur senang, susah mengendalikan diri. Ia terus menerus berjingkrak dan berk

Membuat Banyak Peluang

Teman lama itu mengeluh, setelah mengaku mengirim kira-kira sepuluh tulisan ke berbagai media cetak, namun tidak satu pun mendapat kabar baik. Dia bilang mungkin menulis bukan jalannya. Saya baca tulisan-tulisannya, tidak buruk. Ini hanya soal kesempatan, kata saya padanya. Dan jangan lupa, setiap kita punya jatah nasib baik, yang entah kapan itu datangnya. Tapi nasib baik itu memang ada. Tanpa menanggapi saran saya, dia serahkan pada saya file itu untuk diperlakukan terserah saya. Boleh diprint lalu dibakar. Boleh juga dijadikan bungkus kacang. Atau langsung delete saja dari flashdisk. Ia benar-benar putus asa. Saya diam dan melihat seberang jalan. Sekiranya di sana ada cara menjelaskan sesuatu. Ketika itu kami duduk di depan lapak koran. Lapak itu ada sejak sebelum saya lahir. Yang jual sudah tua dan saya sering membeli majalah Bobo atau buku TTS atau buku cerita terbitan beberapa penerbit kecil kawasan Surabaya semasa sekolah dulu di sini.

Produktif Bukan Soal Seberapa Banyak Karya Dinikmati

Seorang teman menegur saya ketika ketemu di jalan, "Wah, penulis produktif, ya, sekarang!" Suaranya begitu lantang sampai beberapa orang di halte menoleh dan memandangi saya lamat-lamat. Dengan agak malu, saya menepi ke dekat telepon umum dan menyembunyikan wajah di sana--meski gagal, karena postur saya yang jangkung. Lalu teman itu menjabat tangan dan saya membalasnya. Ia tanpa basa basi bicara tentang cerpen-cerpen saya yang beberapa kali terbit di koran lokal di tempat tinggalnya. Ia bilang belum baca semua, tapi turut senang karena sekarang saya produktif. "Itu gimana caranya?" tanyanya setelah dua menit bicara panjang lebar soal cerpen dan produktivitas saya--dalam tanda kutip--akhir-akhir ini.

Menulis untuk Uang... Salahkah?

Menulis untuk mendapat uang? Kenapa tidak? Tidak ada yang salah dengan itu. Namanya juga tujuan. Selama menulis itu dilakukan dengan baik dan jujur, tidak ada salahnya orang punya misi mendapat uang. Yang jadi soal hanyalah: fakta bahwa uang tidak seinstan itu didapat dari menulis, sebab ada proses panjang yang perlu kita lalui. Mungkin ada beberapa orang yang kelihatannya cepat sekali "kaya" dari menulis, tetapi saya yakin itu memang takdir khusus yang sengaja Tuhan beri untuk orang-orang ini (peraih gelar best seller di karya pertama, misal) untuk inspirasi yang lain. Di sisi lain, tidak semua orang ditakdirkan menjadi inspirator. Tuhan adil? Tentu saja adil. Kalau semua orang di dunia ini jadi inspirator, bagaimanakah dunia disebut indah dan bermakna? Bayangkan saja itu.