tag:blogger.com,1999:blog-31582338290073393182024-02-22T15:13:46.710+07:00Pabrik CerpenMenghibur dengan Sepenuh HatiKen Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.comBlogger546125tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-9235273485201395142023-11-24T19:05:00.001+07:002023-11-24T19:05:26.743+07:00Perkenalan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjesHrbtMo2ml7GYMvkJ3su5NI7-WuF7fRgHBqEWJb-ZhCW1HKqLuLJlREShJinzBd_pLO_c5DobcoU_WJJwYA0VYTakTiqpAwvMMOrKerm_0KYZuzlkYPRSQxO0aY60XPNqxpnx_hpOOlPL6MCnOQZmRdrvAZsKqm5xNTI59iIKh7PBVzDwQaEdUVT4BM/s560/Screenshot_20231124-190123_1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="375" data-original-width="560" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjesHrbtMo2ml7GYMvkJ3su5NI7-WuF7fRgHBqEWJb-ZhCW1HKqLuLJlREShJinzBd_pLO_c5DobcoU_WJJwYA0VYTakTiqpAwvMMOrKerm_0KYZuzlkYPRSQxO0aY60XPNqxpnx_hpOOlPL6MCnOQZmRdrvAZsKqm5xNTI59iIKh7PBVzDwQaEdUVT4BM/s320/Screenshot_20231124-190123_1.jpg" width="320" /></a></div><br /><p>(<i>Dimuat di sutera.id, 9 Januari 2021</i>)</p><p><br /></p><p>Suatu hari seorang lelaki ditemukan tewas gantung diri. Orang-orang yang ada di sekitarnya, para tetangga yang tak saling peduli satu sama lain, terlihat berdiri di luar pintu, dan terjadilah bisik-bisik. Karena mereka tidak saling mengenal, beberapa bisikan berakhir dengan ucapan-ucapan klise tentang betapa bodohnya orang yang mengakhiri hidup dengan cara itu.</p><p>Kedatangan petugas kepolisian membuat beberapa orang tersebut balik ke rumah masing-masing. Sebagian tinggal di situ untuk ditanya beberapa pertanyaan oleh polisi. Proses ini berlangsung lama. Tak jauh dari situ aku mengamati apa yang orang-orang kerjakan dan iseng menghitung waktu yang dihabiskan untuk mengurus seseorang yang mati bunuh diri untuk dibawa pergi entah ke mana.</p><p>Seorang bocah yang juga duduk bersamaku di salah satu anak tangga menuju lantai keempat, mengamati tingkah lakuku. Aku tidak heran meski kami tak saling bicara satu sama lain sejak kepindahanku kemari beberapa tahun lalu. Aku tak heran bahkan meski kemudian dia tampak penasaran dan coba mencari tahu apa yang kupikirkan.</p><p>Kubilang, "Baiknya kamu pulang ke ibumu."</p><p>Anak itu diam untuk beberapa detik, lalu mengatakan tentang betapa bosan jika dia harus pulang ke rumah ibunya, tetapi masih lebih baik jika dia tetap di sini saja, meski sudah terlalu lama dia bermain sendiri karena tidak punya teman.</p><p>"Menurutmu, di sinilah kamu seharusnya main? Di lokasi di mana seseorang baru saja mati bunuh diri?"</p><p>"Sebelum orang itu mati, aku sudah di sini."</p><p>Aku tidak menjawab pertanyaan bocah itu, karena hitunganku nyaris saja salah jika tetap kubiarkan dia menggangguku. Mataku yang tajam dapat melihat jarum detik di jam dinding tua yang berdiri kokoh di ruang tamu pria yang ditemukan bunuh diri itu. Lalu lalang di sekitar pintu tidak membuatku hilang fokus untuk menatap detik demi detik yang berlalu di jam itu.</p><p>Hanya saja, keberadaan si bocah, membuatku berpikir semua ini rasanya tak perlu. Toh orang-orang di situ telah bekerja, meski mungkin agak lamban. Tidak lama lagi aku percaya seseorang ditelepon, setelah mereka menemukan buku atau catatan yang berisi nomor-nomor yang biasa dihubungi oleh si korban bunuh diri. Seseorang itu sudah pasti keluarga atau teman dekat yang kemungkinan lama tidak bertemu dengannya, karena lelaki yang bunuh diri itu cukup kupahami seluk beluknya. Ia tidak pernah benar-benar dekat dengan siapa pun di kota ini. Hampir seluruh waktunya selama hidup di kota ini dihabiskan hanya dengan dirinya sendiri.</p><p>Aku tak mau ambil pusing tentang nasib jasad pria kesepian tersebut. Aku menoleh pada si bocah yang juga tak memiliki teman, dan berkata, "Sebaiknya kita pergi dari sini. Nanti mengganggu orang-orang bekerja."</p><p>Bocah itu tertawa dan melonjak dari posisi duduknya tiba-tiba hingga membuatku yakin tubuh kurusnya bisa remuk saat menabrak tembok di dekat pintu apartemen si korban. Namun, dia bisa mengimbangi lonjakannya yang terlihat aneh itu, lalu melirik padaku dan berkata tentang beberapa lantai yang ada di bangunan ini. Di lantai teratas, kabarnya, ada perempuan yang memelihara banyak burung dan hidup seorang diri.</p><p>"Orang yang mati gantung diri itu seharusnya memelihara kucing atau anjing atau tupai atau apa pun biar tidak kesepian. Burung mungkin bagus, tetapi merawat burung di sini sangat sulit."</p><p>"Kok kamu tahu?"</p><p>"Perempuan itu temanku. Sudah kuanggap seperti kakakku sendiri."</p><p>Maka, kami pun ke atas, dengan menapaki satu demi satu anak tangga. Sebenarnya bisa saja kami menaiki lift, tetapi menurut si bocah, benda itu membuatnya tidak dapat mengendalikan diri. Aku paham keluhannya. Dulu ketika pertama kami saling bersitatap (saat aku baru saja datang ke bangunan ini), bocah itu terlihat sedih dan bercucuran air mata. Yang paling kukenang dari momen itu adalah dia berdiri kaku tepat di depan pintu lift.</p><p>Awalnya aku hanya bisa menduga beberapa kemungkinan tentang kenapa si bocah menangis, namun seiring waktu, setelah aku cukup sering melihatnya bermain di sekitar sini, aku memahami alasan air matanya itu. Aku juga memahami kebenciannya pada lift bobrok yang entah sudah berapa kali melahirkan keluhan dari bibir orang-orang pelit di seluruh sudut bangunan tinggi ini.</p><p>Kurasa perlu kusampaikan bahwa bangunan ini sudah cukup tua dan pengurusnya tidak terlalu peduli pada hal-hal teknis, selain bahwa orang-orang harus membayar agar dapat tinggal di sini. Uang sewa yang super murah tidak sebanding dengan permintaan fasilitas-fasilitas di atas standar. Aku mengerti. Aku sendiri jarang menggunakan lift.</p><p>Aku lebih senang menggunakan anak tangga. Itulah kenapa aku kerap menemui si bocah yang senang berkelarian di setiap jengkal anak tangga dalam bangunan ini, dan secara tidak langsung kami mulai saling memperhatikan, meski tidak menyapa. Tatapan matanya menyita perhatianku dan kuanggap dia sepotong sampel dari masa laluku yang tertinggal jauh di belakang. Di sana ada sebuah cerita tentang bocah yang membenci keluarganya dan bercita-cita membangun kehidupan kelak ketika dia dewasa; suatu cara hidup yang boleh dia rancang tanpa menuruti siapa pun. Barangkali itu juga yang kerap diangankan bocah yang membenci ibunya sendiri ini. Aku tidak tahu.</p><p>Kami tiba di lantai atas sekitar lima menit kemudian, dan begitu tiba di sana, udara terasa kembali sunyi seperti sebelum orang-orang menemukan keanehan di apartemen si korban bunuh diri. Bau menyengat yang sangat mengganggulah yang membuat si pria itu kedapatan mati tergantung di pertemuan antara ruang tamu dan ruang duduknya. Jika saja Tuhan menciptakan manusia dengan komposisi lain, sehingga ketika mati kita tidak mengeluarkan bau-bauan busuk, barangkali hingga kiamat tak ada yang menyadari jika seseorang yang sudah membeli secara penuh apartemennya itu telah lama mati. Itu bisa saja terjadi. Kelak suatu hari, entah berapa tahun kemudian, seseorang akan menemukan tulang belulang tergantung di situ dengan pakaian lengkap dan sepatu pantofel. Pikiran ini membuatku kehilangan fokus sesaat sampai si bocah menyentak tanganku, karena kami kini menghadap si perempuan pemelihara burung yang baru saja membukakan pintu.</p><p>"Ini teman baruku," kata bocah itu pada si perempuan, yang kemudian menatapku dengan kesan yang sulit kugambarkan. </p><p>Pada saat ini, dari bawah terdengar raungan ambulans yang pergi menjauh ke pusat kota.</p><p>Si perempuan mengintip ke bawah melalui jendela di ujung lorong dan menatapku sekali lagi.</p><p>"Ya, itu dia," kata si bocah. "Dia yang baru saja ditemukan mati gantung diri."</p><p>Perempuan itu hanya diam sampai si bocah—yang bertahun-tahun sebelum hari ini ditemukan tewas terjepit lift—memintaku menyebutkan nama supaya obrolan kami yang akan berlangsung entah berapa lama bersama perempuan pencinta burung itu, tidaklah canggung. [ ]</p><p><br /></p><p>Gempol, 2020</p>Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-76626103741551761042023-11-20T18:57:00.001+07:002023-11-20T18:57:19.967+07:00Mati Tanpa Nama<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg69KxSHNVcBvJcQwDH00ta9wPTiBO_2No5Ve9cx-lRcZ39l753hrb0ikMD00X7JbK9hYpkkFgDoqD_zGT9NjnUEqDGR11viBque16K5Ib0j6tUB_M795zCjIpE8QIxTyp_gWkWsPciCwPX7LkY_1G__wD7zmXtuPurecOH2QzS0pl-PPljZzTmI8l7I_A/s937/9140b4a79ad15a6aa4a29e3211ab0e73_2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="589" data-original-width="937" height="201" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg69KxSHNVcBvJcQwDH00ta9wPTiBO_2No5Ve9cx-lRcZ39l753hrb0ikMD00X7JbK9hYpkkFgDoqD_zGT9NjnUEqDGR11viBque16K5Ib0j6tUB_M795zCjIpE8QIxTyp_gWkWsPciCwPX7LkY_1G__wD7zmXtuPurecOH2QzS0pl-PPljZzTmI8l7I_A/s320/9140b4a79ad15a6aa4a29e3211ab0e73_2.jpg" width="320" /></a></div><br />(<i>Dimuat di ideide.id, 5 Januari 2021</i>)<p></p><p><br /></p><p>Ingin kuakhiri semuanya hari ini. Kota sudah terlalu busuk. Udara tak lagi nyaman kuhirup. Anjing-anjing yang menemaniku sudah kulepas ke tangan para pencinta satwa. Rumahku sudah dimiliki sejumlah gelandangan terbusuk di Kalodora. Tak ada keluarga, tak ada teman atau sahabat. Bahkan beberapa wanita yang sempat menemaniku selama belasan tahun terakhir kini entah di mana. Aku tak yakin mereka masih mengingat sosok lelaki kaya raya kesepian yang memutuskan tak pernah memiliki anak sampai mati ini. Itulah yang membuat mereka kabur satu per satu; mereka berharap menimang anak dari percintaan atau pernikahan kami, sedang aku menolak kehidupan seperti itu.</p><p>Hari ini, yang tersisa dariku selain baju yang kukenakan, adalah nyawa. Mungkin satu-satunya yang kupegang, yang bukan milikku, adalah nyawa. Aku yakin Tuhan di atas sana menunggu mengambil apa yang bukan jadi milikku.</p><p>Melihat situasi taman pusat Kota Kalodora yang nyaris tak pernah ramai ini, tiba- tiba membuatku ingin menangis. Bukan demi penyesalan, tapi demi keinginan yang tak pernah orang-orang pahami.</p><p>Maka, aku menangis. Di sebuah kursi besi panjang, aku menangis selama kira-kira sepuluh menit. Tak seorang pun tahu. Mungkin hanya malaikat dan setan sajalah yang tahu bagaimana aku menangis sebelum mengakhiri semua ini. Mungkin juga tidak ada yang tahu sampai beberapa hari kemudian bahwa aku berada di sini, memutuskan untuk selesai dari hidup ini di sini, hingga jasadku membusuk dan orang-orang baru akan menyadari itu jikapun ada yang melintas di bagian tenggara taman yang paling sering dijauhi karena terlalu senyap. Mungkin butuh waktu sebulan untuk menemukan jasadku, tapi apa pun itu aku tak peduli.</p><p>Namun, aku tak cukup yakin sudah berhasil ‘menghilangkan’ diri sejak tadi malam, meski kubuang identitas dan jejak yang membuat seisi kota, bahkan kaum gelandangan yang sehari-hari tak ada kesempatan menonton TV atau membaca berita tentang diriku di koran lokal, tak akan menemukanku. </p><p>Aku tak yakin tak ada seorang pun yang bertanya-tanya kenapa seorang lelaki tenar macam diriku berkeliaran di taman kota, di bagian yang paling senyap, seorang diri pula? Apa yang membuat lelaki itu berpakaian apa adanya, malah cenderung mendekati gaya gelandangan? Apa juga yang membuatnya menyerahkan rumah terbaiknya ke sejumlah gelandangan?</p><p>Para gelandangan itu mungkin sempat bertanya-tanya siapa aku, tapi aku tak ingin menjawab, dan pada akhirnya mereka bakal tahu juga setelah membongkar setiap sudut dari rumahku, lantas menemukan foto-foto, piagam dan piala, potongan berita tentang kisah suksesku, berbagai skandal, dan lain-lain.</p><p>Jejak-jejakku masih tertinggal di rumah, dan karena itu, menunda kematian kurasa akan jauh lebih baik ketimbang orang kota menemukan jasadku dan headline hari yang sial itu berbunyi: Ali Mudakir, pengusaha tersukses di Kalodora, ditemukan mati bunuh diri di bagian tersenyap dari taman kota setelah dengan sengaja meninggalkan seluruh hartanya untuk para gelandangan.</p><p>Itu bukan sesuatu yang kudamba. Orang-orang yang dulu pernah menjadi keluarga dan temanku pasti akan sangat terganggu.</p><p>Aku berharap sebuah kedamaian untuk akhir yang buruk ini. Aku mau tak seorang pun menyadari diriku saat sudah menjadi jasad nanti. Aku harap sebagian besar tubuhku bisa berguna untuk beberapa mahasiswa di sebuah fakultas kedokteran, di dalam ruang praktik di mana jasad-jasad tanpa identitas diotopsi demi ilmu pengetahuan, sekalipun mungkin sebagian diriku akan membusuk.</p><p>Maka, sisa hari itu kuhabiskan dengan berjalan lebih jauh, menuju pinggiran Kota Kalodora, menelusuri bagian-bagian sunyi dan kemungkinan jarang dilalui orang paling tidak hingga beberapa hari ke depan. Waktu itu hari sudah cukup gelap dan aku berjalan tak terlalu jauh dari jalan utama, tapi wajahku tetap terlindungi oleh kegelapan sebab di kawasan tersebut, lampu-lampu jalan banyak yang tidak berfungsi. </p><p>Pernah dulu terjadi perampokan di area sini. Seorang pegawai salah satu bioskop terbaik di Kalodora ditemukan berbaring melingkar bagai udang di kotak sampah dan mungkin saja saat ini lokasi tersebut tak terlalu jauh dariku. Aku pasti tak salah tebak. Kawasan ini memang sepi. Rumah-rumah kosong dibiarkan telantar, dan hanya dihuni beberapa orang gila dan orang liar yang tak tepat disebut gelandangan, melainkan lebih cocok menyandang gelar para pengganggu keamanan. Konon mereka datang dari kota sebelah yang sebagian besar hancur total karena kerusuhan beberapa tahun lalu, dan kini kehidupan di kota tersebut jauh lebih buruk ketimbang kesialan yang sehari-hari ditelan oleh orang-orang termiskin di Kalodora. Bisa dibayangkan seliar apa orang-orang itu jika turun, beraksi merampok, atau memalak orang-orang di jalanan. Bisa dibayangkan nyawa para mangsa tak bakal ada artinya demi kebahagiaan memiliki uang dan hidup bersenang-senang seminggu ke depan untuk mereka.</p><p>Tiba-tiba aku memikirkan gagasan itu; mati sebagai korban perampokan dari kaum liar ini, lalu jasadku dibuang, hingga ‘hilang’ dari dunia paling tidak sampai tiga atau empat minggu ke depan. Apa mungkin?</p><p>Namun, para pembegal pastilah memilih siapa yang layak menjadi korban, dan aku jelas bukan korban yang menggiurkan, sebab yang kubawa hanyalah pakaian lusuh yang tadi pagi masih dikenakan salah satu gelandangan yang kini kubiarkan menguasai tiap sudut rumahku.</p><p>Aku harus melakukan sesuatu untuk memancing orang-orang liar itu ke luar sarang. Mungkin kini mereka mengintai dari balik lorong-lorong gelap di antara rumah-rumah yang lama tidak disambangi pemiliknya sebab sebagian besar dari mereka mati dalam kecelakaan di pabrik bir. Para buruh di pabrik itu tewas dalam kebakaran yang dahsyat beberapa tahun lalu dan kini rumah mereka tak ada yang memiliki, kecuali orang-orang gila dan para begal itu.</p><p>Mereka mungkin hanya melihatku sebagai orang gila, atau gelandangan biasa yang tersesat, dan tidak cukup menarik untuk digasak. Demi tewas dengan cara seburuk itu, demi mati sebagai mayat tanpa identitas, aku pancing mereka. Dengan keras kukatakan, “Kalian mau uang dan emas? Ayo, keluar dan bunuh saya!”</p><p>Tak seorang pun merespons. Tetap sepi dan hanya terdengar bisik-bisik gerutuan di di beberapa rumah: orang-orang gila yang terganggu tidurnya. Kembali kuucap tawaran, tapi tak seorang pun muncul.</p><p>Mereka baru tergoda setelah kutampakkan wajahku ke bawah sinar lampu jalanan. Mereka tentu tak sepenuhnya tahu siapa aku, tapi wajahku bukan ciri orang-orang yang lama hidup di jalanan. Mereka dengan sabar mendengarkan sejumlah arahan dariku jika nanti sudah menghabisiku dan menyembunyikan mayatku. Kusampaikan mereka bakal menjemput kekayaan di rumah di alamat yang kutulis untuk mereka. Tentu alamat itu bukan alamat rumahku. Itu tak lebih alamat palsu sebab jika kutunjukkan rumahku, mati yang kualami bukan lagi mati yang rahasia. Bukankah aku mengharapkan berakhir dan tak seorang pun menyadarinya?</p><p>“Bagaimana kami yakin kau tidak bohong?” tanya seseorang dari balik kegelapan.</p><p>“Apa gunanya saya berbohong, sedang saya benar-benar bosan hidup?”</p><p>“Apa buktinya kau memiliki uang dan emas?”</p><p>Tanpa berkata-kata, kulempar sesuatu yang lupa kulepaskan sejak pergi dari rumah mewahku: sebuah arloji emas.</p><p>Demikianlah, mereka menghabisiku malam itu. Mayatku dibuang ke suatu selokan di pinggir kota, ditemukan dua hari kemudian oleh sopir taksi yang sedang kencing. Tak ada yang perlu dicemaskan tentang alamat palsu itu. Alamat itu tidak lebih dari sebuah tanah kosong di bagian utara kota, tempat dulu, dua puluh tahun lalu, aku bercinta untuk kali pertama dengan kekasihku yang tidak sudi melanjutkan hubungan kami sebab aku tak pernah berharap memiliki anak.</p><p>Aku ingat apa yang kekasih itu katakan usai kami bersetubuh malam itu, “Kamu pasti bisa menjadi ayah yang baik. Tak perlu takut memiliki anak.”</p><p>Aku hanya menjawab, “Oh, mustahil. Aku tak akan bisa menjadi ayah yang baik.” [ ]</p><p><br /></p><p>Gempol, 14 April-15 Desember 2020</p>Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-13148658625815345402021-02-25T09:58:00.001+07:002021-02-25T09:58:44.634+07:00Lelaki Mercusuar<div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8q9pVAYGmSkRFwNDcC7J5fYzmsnLwW-LeYUnpST9mNxxWRmPiC3kN4c9bQta4Aysa5_ZlkfDbUom5qbkejkGxBKlTxuzMpyTe8VVUoNab6Jiqsrz8K5OhFwWAjI2pMSSU0cCE4cTWwpQ/s635/0+0+0+0+Lelaki+Mercusuar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="395" data-original-width="635" height="231" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8q9pVAYGmSkRFwNDcC7J5fYzmsnLwW-LeYUnpST9mNxxWRmPiC3kN4c9bQta4Aysa5_ZlkfDbUom5qbkejkGxBKlTxuzMpyTe8VVUoNab6Jiqsrz8K5OhFwWAjI2pMSSU0cCE4cTWwpQ/w371-h231/0+0+0+0+Lelaki+Mercusuar.jpg" width="371" /></a></div><br /><p style="text-align: left;"><i>(Dimuat di <a href="https://magrib.id/2020/09/07/lelaki-mercusuar/">magrib.id</a> pada Senin, 7 September 2020)</i><br /> </p><p style="text-align: left;">Ibu dan adikku dibawa kapal barang bertahun-tahun lalu dan aku selalu menunggu di tepi pantai hingga mereka datang. Aku duduk di sana setiap hari dari pagi sampai sore dan kadang dari pagi hingga pagi jika aku terlalu murung. Rutinitas melelahkan macam itu terjadi selama entah berapa tahun lamanya. Aku tinggalkan pekerjaan dan pacarku. Aku tinggalkan kehidupanku hingga orang kira aku mungkin sudah gila.</p><p style="text-align: left;"><br />Aku tidak yakin apakah aku sudah gila atau belum, tetapi aku tidak dapat lepas dari pikiran soal ibu dan adikku yang pergi dibawa kapal ke tempat yang entah di mana. Aku bayangkan mereka kembali suatu hari nanti dan "suatu hari" itu sering kali cuma berupa "besok". Dan tentu saja "besok" akan selalu berulang sepanjang waktu.<br /> </p><p style="text-align: left;">“Besok pasti mereka pulang,” pikirku tiap malam.<br /> <span></span></p><a name='more'></a><p></p><p style="text-align: left;">Jika besoknya ibu dan adikku tetap tidak muncul, malam berikutnya aku sekali lagi berkata, “Besok pasti mereka pulang.”<br /> </p><p style="text-align: left;">Ayah tak pernah berkata apa-apa tentang kepergian mereka; dia hanya menghidupi diri kami dengan pekerjaannya sebagai nelayan yang sederhana dan tidak banyak uang. Ingin sekali suatu hari aku membantu lelaki tua itu di laut, tapi jika nanti ibu dan adikku pulang dan tidak ada yang menunggu kedatangan mereka di pantai, tidak ada seorang pun yang menyambut, aku takut mereka tidak jadi pulang.<br /> </p><p style="text-align: left;">Bisa-bisa ibuku akan berkata, “Wah, seharusnya kita tak lagi ke sini. Lihat saja tak ada yang peduli menunggu kita pulang!”<br /> </p><p style="text-align: left;">“Iya, Bu, semua orang tak mengharapkan kita pulang, termasuk keluarga sendiri,” begitu mungkin sahut adikku.<br /> </p><p style="text-align: left;">Jadi aku harus tetap menunggu.<br /> </p><p style="text-align: left;">"Kampung tepi pantai ini sudah banyak berubah, dan jika suatu kali mereka datang dan melihat kondisi ini, mungkin mereka tidak percaya kita masih di sini, dan mungkin juga mereka akan pergi lagi dengan kapal itu untuk selamanya." Itu kusampaikan pada Ayah yang kebanyakan cuma diam.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak pernah tahu kejadian malam itu. Kabarnya Ibu dan Adik pergi gara-gara utang Ayah yang menggunung hingga mereka harus melarikan diri dari seorang juragan yang ingin mengawini adikku. Versi lain mengatakan kalau ibu dan adikku memang sengaja pergi sejauh mungkin dari sini karena muak menjalani hidup yang melarat.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak pernah tahu apakah Ayah memang memiliki utang menggunung, tapi ia tidak pernah bercerita soal itu dan aku sendiri segan bertanya dan pula tak pernah ada tukang tagih utang mengobrak-abrik rumah kami, misalnya. Aku tahu selama aku di rumah ini, sebelum pergi ke kota sebelah demi mendapat pekerjaan yang lebih layak, Ayah bukan orang yang mudah berutang. Jadi, pikiranku terus menuju ke kemungkinan lain, yakni bahwa ibu dan adikku diculik entah oleh siapa.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak tahu siapa penculik itu, tetapi benar-benar percaya memang itulah yang terjadi. Hanya karena aku tahu betapa adikku cukup cerdik saja, maka aku tetap percaya jika suatu hari nanti mereka bisa kembali setelah kabur dari si penculik. Mereka jelas dapat kabur dengan mudah oleh ide-ide brilian adikku. Mungkin pada saat ini mereka sudah lepas dari si penculik dan mungkin juga adikku sudah mendapat pekerjaan yang bagus di suatu kota yang sangat maju dan modern, dan dia perlu menabung dulu untuk bisa pulang ke sini.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku terus membayangkan kemungkinan baik macam itu, sepanjang hari, bertahun lamanya hingga memancang diriku di pantai ini bak pasak abadi yang mengawasi setiap pergerakan apa pun di perairan sekitar. Mataku sampai sangat terlatih karenanya. Aku bisa melihat bentuk-bentuk benda dari kejauhan yang mungkin saja tak mudah ditelaah mata normal. Mungkin, karena kebiasaan menunggu ini pula aku bukan sekadar pasak. Bisa dibilang akulah mercusuar hidup. Aku sendirian dan menua oleh angin pantai, dan itu terjadi demi alasan yang masuk akal.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak peduli jika suatu kali ada sekumpulan bocah melempariku atau beberapa orang menggodaku meninggalkan pantai busuk ini demi bersenang-senang seperti yang seharusnya kulakukan sebagai seorang lelaki.<br /> </p><p style="text-align: left;">"Kamu belum terlalu tua, belum kepala empat. Kami pikir kamu dapat berbuat apa pun di luar sana ketimbang sekadar duduk menunggu sesuatu yang tidak pasti begini!" kata mereka selalu.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak pernah peduli. Aku tetap pada rutinitasku. Pergi ke pantai sewaktu subuh dan pulang menjelang maghrib dan kadang pulang subuh jika terlalu asyik terbenam dalam pikiran-pikiran, seperti kataku tadi. Itu terjadi terus menerus tanpa peduli musim apa pun.<br /> </p><p style="text-align: left;">Suatu kali badai menghempas pantai ini dan aku terpaksa berlindung di kumpulan karang yang cukup jauh dari dermaga dan kembali pulang dengan tubuh remuk redam oleh dinginnya angin dan siraman air hujan. Di saat-saat seperti itulah Ayah baru dapat berbicara beberapa patah kata kepadaku, tetapi sebagian besar yang dia ucapkan tidak ada kaitannya dengan ibu atau adikku.<br /> </p><p style="text-align: left;">Ayah hanya berbicara soal masa kecilku yang bermakna baginya. Dia bilang, aku pernah hampir tenggelam di dekat dermaga. Saat itu yang dia pikirkan hanya bagaimana aku dapat diselamatkan.<br /> </p><p style="text-align: left;">"Jika saja seseorang harus mati pada hari itu, Nak, aku berharap itu bukan kamu," tuturnya dengan suara yang begitu tua. "Aku harap dapat menukar nasib denganmu dan biarlah aku saja yang mati di tempat yang sama saat itu juga."<br /> </p><p style="text-align: left;">"Tapi, sekarang aku masih hidup."<br /> </p><p style="text-align: left;">"Ya, kamu masih hidup dan tumbuh jadi lebih besar dari anak-anak seumuranmu. Tak pernah kamu bertubuh lebih kecil daripada mereka. Semua anak selalu kalah besar darimu."<br /> </p><p style="text-align: left;">"Dan kemudian aku pergi dari sini seakan-akan tidak ada yang berarti di antara kita. Bukan begitu?"<br />Aku ingat pengalaman saat masih remaja. Ketika itu adikku masih berumur empat atau lima tahun. </p><p style="text-align: left;">Aku membantah nasihat Ayah tentang mencari pekerjaan di luar sana, dan kami bertengkar selama semalam dengan ucapan-ucapan yang tidak pernah kuduga dapat muncul dari mulut kami. Aku tidak pernah berpikiran dapat menyumpahi ayahku, dan barangkali begitu juga halnya yang Ayah pikirkan. Seumur-umur baru kali itu Ayah mengatakan hal-hal kasar di depanku, khusus ditujukan untukku. Itu terjadi sekali dalam satu malam itu. Sesudah itu aku pergi dari sini dan baru kembali setahun kemudian saat datang kabar dari tetanggaku bahwa ibu dan adikku pergi dibawa kapal barang.<br /> </p><p style="text-align: left;">Kejadian itu tidak pernah ada yang tahu bagaimana persisnya, tapi ada seorang gila dari kampung kami, yang agak tua dan biasanya berkata jujur tentang bencana-bencana, dan orang ini bersumpah melihat ibu dan adikku berada di atas kapal barang yang ketika itu berangkat berlayar entah ke mana.<br />Tidak pernah ada yang tahu kapal barang itu milik siapa serta pergi ke tujuan mana. Aku bicara tentang kapal barang, bukan berarti berbicara tentang kapal-kapal besar yang biasa ditemui di pelabuhan. Di kampung kami, sebutan kapal barang juga berlaku untuk perahu-perahu kecil yang memuat berkarung-karung barang yang hendak dijual dari dan ke pasar-pasar di pulau lain.<br /> </p><p style="text-align: left;">Tentu saja ada berbagai kemungkinan soal perginya ibu dan adikku, dan dua sebab tadi yang paling sering dibicarakan orang kampung. Aku sendiri tidak lagi memikirkan apa pun, kecuali bahwa ibu dan adikku tidak benar-benar menginginkan pergi dari sini, dan cuma ada seseorang yang secara paksa membawa mereka pergi dan bertahun-tahun kemudian kondisi mereka sudah menjadi lebih baik dan aman, lalu setelah itu mereka berusaha untuk kembali ke kampung asal mereka di mana aku selalu setia menunggu.<br /> </p><p style="text-align: left;">Yah, aku akan tetap menunggu mereka sebagai lelaki yang mengubah diri sendiri menjadi mercusuar.<br />Aku tidak peduli berapa lama lagi menunggu keduanya pulang, tetapi diriku di sini ditakdirkan sebagai mercusuar bernyawa yang memang harus sebatang kara sampai tua demi tujuan yang lebih besar.<br /> </p><p style="text-align: left;">“Barangkali inilah makna keberadaanku. Untuk memastikan mereka pulang. Jika tidak ada mercusuar, mereka akan tersesat dan tak jadi pulang. Tak jadi kembali kepada Ayah yang sudah renta dan kesepian,” pikirku selalu.<br /> </p><p style="text-align: left;">Ayah sungguh terlalu tua untuk ini dan aku hanya berharap kembalinya ibu dan adikku kelak dapat membawa ketenangan baginya. Aku tidak peduli bagaimana akhir kisah ini untukku pribadi. Tapi, yang jelas tidak ada yang dapat menghentikanku sampai mereka benar-benar kembali.<br /> </p><p style="text-align: left;">Pada saatnya, aku yang kelelahan berbaring di atas pasir dan berdoa kepada Tuhan di atas sana, bahwa kuatkan tubuhku sampai waktu yang tak terbatas hingga dua orang itu benar-benar kembali untuk kami. Setelah doa itu selesai, aku kembali duduk dengan tegak dan penuh percaya diri.<br /> </p><p style="text-align: left;">Aku tidak tahu apakah ibu dan adikku berpikir hal yang sama, tentang kami yang dapat berkumpul kembali, tetapi kuharap mereka tetaplah merasa betapa aku dan Ayah masih hidup dan menunggu di tempat yang sama, di dermaga yang sama, yang dahulu mereka pijaki sebelum hengkang dari pulau ini.<br />Hanya saja sampai Ayah meninggal, bahkan sampai tubuhku keropos dan ringkih oleh waktu, keduanya tidak pernah kembali. <br /> </p><p style="text-align: left;">Aku masih tetap memikirkan betapa adikku telah mendapatkan pekerjaan yang bagus dan mencoba berbagai cara untuk bisa kembali pulang. Aku terus memikirkan itu. Aku juga memikirkan soal Ibu yang masih hidup, sekalipun tubuhku sendiri (sebagai anaknya) sudah serenta ini.<br /> </p><p style="text-align: left;">Sampai pada titik ini, orang tidak lagi menyebutku gila. Orang hanya akan datang dan duduk tepekur, di kejauhan, dan saling berbisik. Aku tidak pernah mendengar suara mereka, tetapi angin mengabarkan padaku perihal gosip-gosip itu, yakni soal lelaki yang mengubah dirinya menjadi mercusuar demi sesuatu yang sia-sia. [ ]<br /><br />Gempol, 2019-2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit buku kumpulan cerita terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.</p>Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-67144566287803899832020-08-31T08:32:00.001+07:002020-08-31T08:32:48.593+07:00Masa Tua Pengembara<p style="text-align: justify;"><i> </i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYgSDrKk05U3cJIrQxwYX7k0-0B41bmeDwvZdU0Pz5pJVEQhB_l-LJ_hnF_ZZEJsCULiItitz_diYB2EHt1kMwVQddd_KiVvMDFcgs6Ny7zfE36OGEXD_x62f3MQ2oZKHkrjv-8gI9ZVc/s401/0+0+0+masa+tua+pengembara.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="195" data-original-width="401" height="305" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYgSDrKk05U3cJIrQxwYX7k0-0B41bmeDwvZdU0Pz5pJVEQhB_l-LJ_hnF_ZZEJsCULiItitz_diYB2EHt1kMwVQddd_KiVvMDFcgs6Ny7zfE36OGEXD_x62f3MQ2oZKHkrjv-8gI9ZVc/w626-h305/0+0+0+masa+tua+pengembara.jpg" width="626" /></a></i></div><i><br /></i><p></p><p style="text-align: justify;"><i>(Dimuat di Minggu Pagi edisi 28 Agustus 2020)</i></p><p style="text-align: justify;"><br />Aku tidak mengenal perempuan itu, tetapi kurasa pernah melihatnya di suatu kota di masa lalu. Kunjunganku ke berbagai kota tidak bisa dibilang sebagai upaya melarikan diri. Maksudku, itu pekerjaanku. Sejak dahulu entah berapa banyak kota kudatangi, dan ketika tubuhku menua dan tak mampu mengerjakan segala kesenangan lagi, aku pensiun dan membangun rumah di kota yang juga kampung halamanku.</p><p style="text-align: justify;"><br />Bertahun-tahun perjalanan tak begitu saja membuatku mengenal gadis yang dapat membuatku jatuh cinta. Akhirnya aku hidup sendiri dan tidak pernah menikah. Kukira ini takdirku; sendiri sampai tua dan mati. Saat rumah masa tua itu selesai kubangun, aku kesepian.<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Tak pernah kubayangkan hidupku bisa sesepi ini. Berkelana membuat diriku lupa pada banyak hal," kataku pada seorang rekan, yang hadir dalam acara pesta berdirinya rumah baruku. Setelah tamu-tamu pulang, rasa sepi itu semakin menggila.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Hari demi hari kulalui dengan lebih banyak menyendiri di setiap sudut rumah dan itu bukan sesuatu yang nyaman. Masa mudaku penuh perjalanan dan pertemuan dengan ribuan manusia dengan bermacam watak. Semua itu membuatku terkekang saat kukira hidupku kuletakkan pada wadah yang layak.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Aku tahu tidak mungkin ini diubah. Masa pensiunku tiba dan aku tidak sanggup ke mana-mana seperti dulu. Lagi pula beberapa tahun terakhir tubuhku terasa janggal. Aku tak ingin tahu penyakit apa yang menderaku atau maut jenis apa yang dapat membawa tubuh fanaku ke liang lahat.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Kepada dokter kukatakan, "Anda simpan saja diagnosis Anda itu, karena saya ingin menjalani sisa hidup dengan tenang."<br /> </p><p style="text-align: justify;">Setidaknya, pikirku waktu itu, membangun rumah dan menempatinya di masa tua tidak membuatku terkubur di antah berantah, suatu tempat yang di masa mudaku terlalu sering kusambangi. Setidaknya aku tahu kalau kelak aku mati, seseorang menguburku di sini, di kampung halamanku, dekat kuburan ibu dan bapak kandungku.</p><p style="text-align: justify;"><br />Kesepian yang datang setelah rumah itu berdiri mengajarkanku bahwa segala yang dulu kuanggap enteng, sama sekali tidak mudah. Aku justru tersiksa dan ingin, jika saja Tuhan mau, tubuhku kembali muda. Aku ingin lari sejauh mungkin dari rumah ini. Aku ingin terbang bebas dan melewati segala batas yang orang pikir mustahil untuk dilewati.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Kukira orang-orang pada saat itu melempar omong kosong, "Kami mengira lebih baik begini. Tak pergi ke mana-mana. Menetap dan membangun keluarga di tempat asal adalah anugerah yang bakal kau sesali di hari tua kalau tak kau jalani."<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Bagaimana kalian begitu yakin?"<br /> </p><p style="text-align: justify;">Setelah melewati banyak hal, aku tak terlalu menyesal tidak pernah bertemu tulang rusukku. Aku malah melihatnya sebagai anugerah, karena bisa bepergian tanpa terikat dengan seseorang dan tanpa bersedih hati saat pasangan mati. Sayangnya, kondisi tubuh yang menua, ditambah kesepian di rumah baru, membuatku mulai menyesalinya. Aku berpikir, seandainya dulu tak berkelana dan menetap di kampungku, kemudian menikah dan mengerjakan segala hal yang sewajarnya, mungkin hari tuaku tidak sesepi ini.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Penyesalan awalnya bagai jerawat. Suatu ketika jerawat itu membesar dan berubah jadi benjolan berisi nanah. Bukan meledak untuk kempis, benjolan itu makin hari makin bertambah parah dan aku bisa menghirup aroma busuk yang melahirkan rasa iba di hati semua orang. Di dadaku ada sakit yang sulit dijelaskan.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Dalam beberapa kesempatan, beberapa rekan lama sesama petualang, datang untuk berkunjung, tetapi mereka tidak banyak. Mereka tidak dapat mengusir apa pun yang kini menggangguku, yakni sepi, melainkan cuma memberi penguluran waktu untuk kembali ke kesepian itu lagi.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Salah seorang rekanku berkata, ketika kusampaikan tentang rasa sakit di dadaku itu, "Itulah gelaja patah hati. Kau patah hati di usia setua ini."<br /> </p><p style="text-align: justify;">Aku tidak mengerti apa yang dia katakan, tetapi terakhir memeriksakan kesehatan ke dokter, dia tidak bicara apa pun tentang penyakit pernapasan. Barangkali memang itu yang orang sebut patah hati. Kukira aku sedang patah hati tentang hidupku sendiri yang selama ini terlalu banyak kulewatkan untuk memuaskan hasrat pribadi. Kukira aku telah berbuat tidak adil pada hatiku sendiri. Maksudku, aku tidak tahu bagaimana mungkin ini terjadi. Dulu aku begitu berambisi menjelajahi banyak tempat di ujung dunia, tetapi hari ini, keinginan terbesarku bukan itu.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Kegiatan sehari-hari mulai kuubah. Aku keluar dan berjalan ke beberapa sudut kota yang tidak jauh dari rumah. Jarak dua atau tiga blok adalah jarak terjauh yang masih bisa kutoleransi, karena selain tubuhku tidak kuat berjalan jauh seperti dulu, aku tidak ingin tenggelam lagi oleh masa lalu.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Dalam perjalanan inilah aku bertemu perempuan itu. Dia seakan datang dari suatu masa yang purba. Seakan seseorang meletakkan beberapa potong cerita dari masa laluku ke dalam stoples, lalu hari ini, saat aku menua, seseorang itu bosan dan mengembalikan beberapa potong cerita secara utuh, seperti dulu saat kami pertama jumpa.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Maka, beginilah yang terjadi: seorang perempuan muda melintas di depanku, dan aku mengira pernah mengenalnya berpuluh-puluh tahun silam di suatu kota. <br /> </p><p style="text-align: justify;">Aku ingat sebuah nama. Aku ingat bagaimana perkenalan itu dimulai. Aku ingat seseorang bernama Helen menyapaku di sebuah festival seni tahunan di suatu kota di benua lain. Saat itu aku tak menganggap Helen sebagai sosok yang istimewa. Lagi pula, Helen bukan sejenis perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta. Dia lebih menyerupai adik di mataku.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Helen memberiku beberapa hal penting; pelajaran menerima perbedaan, yang jelas sulit kulakukan. Pada masa itu aku selalu mencibir orang-orang yang lebih senang hidup di balik cangkang mereka dan enggan bertualang ke segala penjuru dunia. Helen tidak setuju, tetapi dia tak mengajakku debat. Ketika akhirnya kami berpisah, dia memberiku kalung dengan inisial namanya. Katanya, agar sampai kiamat aku bisa terus mengingat dirinya.<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Kenapa kau lakukan ini?" tanyaku spontan.<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Orang sepertimu tidak mampu menyimpan kenangan, kecuali yang istimewa. Dan kuharap aku istimewa."<br /> </p><p style="text-align: justify;">Aku tak tertawa dan tak juga membalasnya dengan ucapan. Aku meminta diri dan pergi sesegera mungkin dari situ. Sejak itu, memang aku tidak pernah melupakan Helen. Maksudku, di beberapa titik, aku tidak ingat ada seorang Helen yang berperan seakan dia adikku, meski kami bersama selama kurang lebih satu bulan. Satu bulan di kota asal Helen, kukira lumayan lama bagi orang sepertinya. </p><p style="text-align: justify;">Jadi, caraku menghargai pertemanan kami adalah tetap menyimpan hadiahnya tersebut, dan bahkan terus memakai kalung itu hingga bertahun-tahun kemudian.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Tentu saja kalung pemberian Helen tidak hilang. Aku tetap menyimpannya di balik tumpukan harta pribadiku, hasil berkelana ke seluruh penjuru dunia. Dan aku tahu cuma satu tempat yang kini dapat membuatku menemui benda itu sekali lagi.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Pertemuan dengan perempuan muda yang berwajah mirip Helen menggiringku ke peti penyimpanan harta pribadi. Di sana aku cukup kesulitan mencari kalung kecil tadi di antara sekian banyak benda kenangan yang kudapat dari segala macam pertemuan di sepanjang masa mudaku. Ketika kalung itu ketemu, aku duduk lemas karena kelelahan, dan bingung harus berbuat apa.<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Apakah kalung ini ada artinya hari ini? Apa seseorang dapat memberiku suatu hal yang lebih baik?"<br /> </p><p style="text-align: justify;">Rasanya kesepian menjadi takdirku, dan aku mati dengan cara begini: suatu malam tubuhku mendadak tak bernyawa, lalu beberapa malam kemudian seseorang di seberang jalan, yang biasa senang basa-basi dengan bertanya apa kabarku, masuk rumahku untuk mengantar beberapa kue sebagai hadiah, dan dari situ seseorang tahu aku mati. Atau, jangan-jangan tak pernah ada yang mengetuk pintu rumahku dan mendapati tubuh tuaku berbaring tanpa nyawa hingga sebulan atau berbulan-bulan kemudian? </p><p style="text-align: justify;">Beberapa tahun kemudian? Seabad kemudian?<br /> </p><p style="text-align: justify;">Memikirkan ini membuat kepalaku pusing. Hari-hari setelah kalung itu kutemukan, kujalani seakan diriku sudah gila. Aku terus berjalan kaki ke sekeliling blok yang telah beberapa kali kulewati dan tidak kujumpai lagi si perempuan berwajah mirip Helen.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Suatu ketika, hujan deras turun dan pada saat itu jalanan di depanku tidak memiliki sesuatu pun untuk berteduh. Aku bersandar pada tembok dan tak dapat menghindar dari serbuan tetes air hujan. </p><p style="text-align: justify;">Seseorang tiba-tiba memberiku payung dan mengajakku pergi ke tempatnya.<br /> </p><p style="text-align: justify;">"Lebih baik saya pulang. Rumah saya tidak jauh," kataku.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Orang itu pun, dengan suara lembutnya, berjanji akan mengantarku sampai selamat di tujuan. Aku berterima kasih dan menengok wajahnya, dan melihat wajah Helen sekali lagi di sana.<br /> </p><p style="text-align: justify;">Untuk beberapa saat aku tidak mengerti kenapa perempuan ini harus ada? Mungkin Tuhan ingin membuatku belajar bahwa keputusan-keputusan dan takdir, tak selalu dapat saling berjalinan. Aku hanya menurut ketika wanita muda itu menggandengku dan kami menerabas hujan selagi berharap sesuatu di kulkasku masih layak guna menyuguhi tamu yang istimewa. [ ]<br /><br />Gempol, 2017-2020</p>Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-344519320854633342020-05-20T16:12:00.001+07:002020-05-20T16:12:19.827+07:00Memutus Kuasa Raja Pemburu<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu91SOuqo3FHZ_Gf2KPPAN7bhcMqfQ2qlLanJpyRU4pPdVCVb6oUY5lIo4vKN7qWJOu4jy9qloddb3zOQ8RS7B9CF_35XdM6pUftQ7NNJuI2PDgT-aWuTWIQz-EaxPEAEgYbV9F11tLcE/s1600/0+0+0+Memutus+Kuasa+Raja+Pemburu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="828" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu91SOuqo3FHZ_Gf2KPPAN7bhcMqfQ2qlLanJpyRU4pPdVCVb6oUY5lIo4vKN7qWJOu4jy9qloddb3zOQ8RS7B9CF_35XdM6pUftQ7NNJuI2PDgT-aWuTWIQz-EaxPEAEgYbV9F11tLcE/s400/0+0+0+Memutus+Kuasa+Raja+Pemburu.jpg" width="275" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di kompas.id pada Kamis, 7 Mei 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Apa yang Anda pikirkan jika seekor kijang yang sedang Anda buru tiba-tiba kabur dan berbalik memburu Anda? Kijang itu mendadak lebih cepat, lebih ganas, lebih cerdik dan licik ketimbang Anda, hingga pada momen itu Anda sadar nyawa Anda mungkin bakal segera dicabut, dan hal terakhir yang dapat Anda pikirkan adalah tunangan Anda yang kini menunggu cemas nun jauh di sana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Seekor kijang tampak lemah di hadapan peluru. Dia dapat mati karena kebodohan. Teknologi mampu menyingkirkan seekor kijang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Bukan itu yang saat ini terjadi. Andalah yang terancam. Seekor kijang yang Anda buru berbalik mengejar. Tak ada jalan selain menuju utara, yang secara pasti mengantar Anda ke sebuah jurang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Apa dongeng seperti ini bisa terjadi?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Lihat Ali Mudakir dan pasukannya. Tidak ada yang tersisa seorang pun. Semua mati dikepung ribuan semut keji dari hutan terangker di muka bumi. Anda tahu tidak ada yang lebih hebat dari pasukan khusus Ali Mudakir dalam menumpas makhluk-makhluk absurd di muka bumi demi perdamaian dan keamanan umat manusia.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dengarlah kisah para tentara dari negeri Kalodori, yang mana suatu ketika mereka berperang melawan para petani bodoh di sebuah desa penghasil bunga yang terbelakang. Tak ada seorang pun pulang. Para tentara itu, kelak di kemudian hari, usai bertahun-tahun resmi dinyatakan hilang oleh dewan Kota Kalodori, ditemukan tinggal tulang-belulang saja; terkubur di lahan kosong tak jauh dari barisan toilet umum milik para petani yang kini sebagian besar telah tiada atau hijrah ke negeri lain karena situasi politik empat dekade terakhir.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Itu segelintir dari sekian banyak kisah aneh tentang kalahnya orang-orang kuat dari mereka yang dianggap lemah. Sebagaimana kisah-kisah aneh itu, seekor kijang pun juga memiliki jatah keberuntungan; dia bisa mengejar balik Anda, dan tentu saja bisa membuat Anda mati sia-sia di atas panci sebagai makanan kijang-kijang yang mungkin kini sedang menunggu kematian Anda dalam rasa lapar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Apa mungkin seekor kijang menyantap daging manusia?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Seekor kijang bisa menyantap manusia jika hanya itu cara yang tersisa untuk bertahan. Seekor kijang yang Anda kejar habis-habisan sepanjang hidup selama bertahun-tahun juga bisa memangsa Anda sampai tiada yang tersisa kecuali nama dan memori di kepala sedikit orang. Itu pun jika ada yang mengingat Anda. Apa Anda benar-benar yakin di dunia ini setidaknya ada satu saja orang waras yang sudi mengingat Anda setelah Anda mati?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saya tidak yakin.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Reputasi Anda di masa lalu menjadi bahan pemikiran yang menyenangkan. Saya tahu betapa panjang jejak berdarah yang Anda ukir di tanah di suatu hutan demi kepentingan Anda. Saya mengerti bagaimana Anda tak tersentuh tangan musuh-musuh Anda yang lain, yang berupa harimau, serigala, kambing gunung, elang, burung emprit, ikan paus, kecoa, cacing tanah, itik, ayam, dan entah berapa jenis lagi binatang yang pernah Anda buru dan musnahkan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Anda bencana di mata mereka. Anda wujud malaikat maut itu sendiri. Di luar sana, malaikat maut bekerja menarik nyawa setiap makhluk, tetapi pada tempat Anda berpijak, Anda yang bekerja untuk itu. Semua Anda kerjakan untuk kesenangan pribadi. Bahkan malaikat maut saja segan berada terlalu dekat dengan Anda, sehingga para satwa pernah meyakini betapa sang pemburu, betapa Anda, tidak mungkin mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang Anda dapat?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Anda mendapat keluarga bahagia, paling bahagia di muka bumi. Anda bisa membeli segala sesuatu, termasuk membeli tubuh dan otak manusia-manusia lain, yang lalu dengan rela menjilat dan menciumi kaki Anda sebagai pemburu paling andal dan cerdik. Hanya dengan itu mereka makan dari daging buruan Anda. Andai saja satu dari mereka tiba-tiba berbalik mengkhianati, tidak ada waktu untuk kabur. Mereka segera mati di tangan Anda yang terlalu jenius untuk ditipu. Dengan cara hidup ini, apa Anda betul-betul bahagia?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Apa membunuh tak ubahnya bernapas? Atau, sama halnya sarapan pagi? Bagaimana rasanya buruan pertama, kedua, ketiga? Apa Anda rasa segalanya mulai mati rasa setelah banyak buruan tak berdosa mati, hingga demi melihat bayi-bayi manusia mati pun, Anda tidak lagi sedih?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami, para satwa di mata Anda, adalah kumpulan makhluk bernyawa yang sah saja mati jika memang diperlukan. Sebuah perasaan berkuasa harus dibayar oleh nyawa para makhluk yang tak berdosa seperti kami, yang untuk belajar membaca saja harus melalui perjalanan panjang yang sungguh payah. Membaca adalah barang mewah bagi kami di saat segala bentuk kekuasaan seakan terletak hanya pada diri Anda. Sebagian binatang di hutan pada suatu masa pernah meyakini Tuhan tak menengok tempat kami untuk beberapa saat sehingga Anda dapat terus berburu melebihi batas demi kesenangan, dan Anda dapat terus mencegah kami mempelajari banyak hal dari buku-buku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, Anda tidak selalu memegang kendali. Adakalanya Anda merasa lelah dan butuh beristirahat. Pada saat itulah, dalam bayang-bayang dan sunyi, beberapa dari kami bertekad mengakhiri ini dengan mempelajari banyak hal. Para kijang, kami yang dahulu lemah dan selalu mati di tangan Anda dengan mudah, tak lagi bisa dianggap sepele. Para kijang akhirnya berbalik mengejar Anda dan menjatuhkan Anda dengan telak seperti masa lalu yang suram di sebuah hutan tak pernah terjadi saja. Seperti seseorang yang membunuh terlalu banyak satwa (atau di mata kami: manusia lemah) bukan iblis mengerikan yang tak terkalahkan, melainkan tak lebih dari lelaki renta haus kuasa. Untuk menghabisi lelaki tua dengan uang dan senjata dan para penjilatnya, para kijang dan binatang-binatang lain perlu bersatu. Dan dengan cara itulah, pada akhirnya, kami menghabisi Anda. [ ]<br /><br />Gempol, 7 Januari-12 Desember 2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, puisi, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-23490791516847115102020-05-20T16:04:00.001+07:002020-05-20T16:04:21.230+07:00Bidadari Pemberontak<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgm5t3dEmVuTFnu6DukdrKAUvfdPZ4rJTiQ643cEieIZOw-KmQ2rsK3QqBz-3FiKmXro0kMWta4cme5YnCaQOmQJiVxsu5dufgXMAvVnAw2LpvCoZ4Mhk9vjQzEGMcSZtcvoKI7b4DqdCg/s1600/0+0+0+Bidadari+Pemberontak.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="327" data-original-width="245" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgm5t3dEmVuTFnu6DukdrKAUvfdPZ4rJTiQ643cEieIZOw-KmQ2rsK3QqBz-3FiKmXro0kMWta4cme5YnCaQOmQJiVxsu5dufgXMAvVnAw2LpvCoZ4Mhk9vjQzEGMcSZtcvoKI7b4DqdCg/s400/0+0+0+Bidadari+Pemberontak.jpg" width="298" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Te-Plok pada Sabtu, 9 Mei 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Bersama Mariana, aku melewati banyak cobaan, yang satu di antaranya nyaris saja menghabisi nyawaku. Tapi, aku tidak kenal kapok. Aku tetap berada di sisi gadis itu dan meladeni kegilaannya dengan aksi-aksi yang dapat membuat ibuku jantungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Ibu tidak tahu aku ke luar kota demi Mariana. Ibu hanya tahu aku dapat panggilan kerja, dan demikianlah aku pergi. Kubawa koper serta tas berisi baju dan barangku, lalu menjalani hidupku yang bebas bersama Mariana.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengenal Mariana tidak sengaja saat berada di antrean bioskop. Saat itu dia sendirian dan aku juga. Kami mengobrol karena sama-sama mengira tak ada yang dapat kami lakukan, sedang duduk diam itu membosankan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu apa yang membawaku ke pertemuan itu, lalu tiba-tiba begitu ringan saja mengajak bicara perempuan asing yang tadinya tidak pernah sama sekali kutahu. Ia pun juga demikian. Dalam suatu obrolan, Mariana pernah mengakui, ia tidak mengerti bagaimana bisa menanggapi pertanyaan basa-basi dari pria asing sepertiku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kurasa itu takdir," katanya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mariana percaya manusia lahir ke bumi untuk berkelana, dan bukan hidup di satu tempat, bekerja, beranak-pinak, tunduk pada aturan-aturan. Dia tidak setuju yang seperti itu disebut hidup.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Di tubuh Mariana tidak hanya ada sesosok bidadari, melainkan pemberontak yang ingin bebas, dan itulah yang terjadi di kehidupanku. Aku kaku dan taat peraturan, tapi perlahan lentur dan menentang segala aturan. Aku yang berwatak kaku mendadak jadi manusia paling bebas yang kemudian membuat gadis itu jatuh hati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu tidak setuju pada hubungan ini. Perubahanku karena Mariana, baginya, adalah aib. Gadisku sering datang dalam keadaan setengah mabuk dan melantur pada tetangga kami soal tetangganya yang sekarat gara-gara overdosis. Ia sering membantah kata-kata Ibu yang lembut, dan dengan demikian, jelas sudah, tak ada yang dapat menghalanginya demi hubungan ini. Karena dia mencintaiku dan aku mencintainya, kami sepakat untuk kabur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu dari mana akal-akalan ini dibuat, dan bagaimana mungkin aku bisa membohongi ibuku. Tetapi, aku tidak dapat hidup tanpa Mariana dan apa pun akan kulakukan demi bersamanya, termasuk membuat kabar palsu lamaran pekerjaanku yang direspons salah satu perusahaan di Jakarta.<br />Sesudah itu, aku tidak menetap di satu alamat; aku berpindah dari satu kost-kostan, ke kost-kostan lain, dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain, dan itu terjadi berbulan-bulan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Barang-barangku sebagian besar habis terjual, karena sejak awal kabur aku tidak punya pekerjaan, dan Mariana pengangguran. Kami memakai uangku dengan efektif. Mariana pintar berbisnis supaya kami bisa bertahan tanpa bekerja dan terus bersama. Ia punya kenalan di luar yang mengirimi kami pasokan obat-obatan terlarang untuk dijual, dan dengan demikian, kami bertahan hidup.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Meski begitu, ada saja hal-hal buruk yang harus kami alami. Aku dan Mariana pun kabur beberapa kali dari kejaran geng pesaing, dan saat itulah, di suatu hutan, aku nyaris tertembak. Jika saja tembakan para keparat itu tidak meleset beberapa mili, sudah pasti aku mampus.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mariana tidak hanya membawaku terlibat dengan urusan geng yang merajai bisnis narkoba, melainkan juga para begundal yang kenyang berbuat mesum dan keji, dan ada juga beberapa orang yang tidak segan membunuh demi kesenangan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu bagaimana aku masih mencintai Mariana, meski jelas-jelas, secara sadar, aku dibawanya ke jurang kegelapan. Aku mungkin lebih suka menyebut betapa inilah hidup sesungguhnya. Tetapi, kalau saja watakku tak pernah berubah dan tak juga pernah kutemui gadis bernama Mariana, pada detik ini, kehidupan yang kami alami ini bagiku tak ubahnya jurang kehinaan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak terasa hidupku yang bahagia sekaligus berisi cobaan-cobaan bersama gadis ini membuatku terpisah dengan Ibu lima tahun. Aku tidak lupa di suatu hari yang paling menentukan, aku menyampaikan kebohongan pada Ibu dan itu tak membuatku merasa menyesal. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Memang kadang ada sedikit pikiran bahwa mungkin Ibu sakit keras setelah sekian lama aku ke luar kota untuk "bekerja" di sebuah perusahaan bergengsi, tapi tidak pernah memberi kabar. Aku juga beberapa kali membayangkan Ibu seharusnya baik-baik saja, karena dia tidak sendiri; ada saudaraku yang menikah dan bekerja, dan kurasa dia tidak mungkin tinggal diam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak pernah mengatakan ini ke Mariana, tetapi ketika pikiran-pikiran soal Ibu muncul, aku tidak dapat membayangkan hal lain selain keberadaan saudaraku di sisinya, dan bagaimana dia tidak akan kepikiran padaku yang sudah lama tidak memberi kabar. Ibu pasti tahu aku tidak bekerja di perusahaan yang kumaksud, karena mungkin sejak bulan ketiga atau keempat, Ibu menyuruh seseorang mencari informasi dan orang itu tak menemukan apa-apa.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kurasa, meski tahu aku bohong, Ibu mungkin tidak sampai berpikir aku ke luar kota demi Mariana. Aku sudah tidak mengajak gadisku ke rumah empat bulan sebelum melarikan diri. Aku juga tidak menyinggung-nyinggung soal Mariana, dan beberapa kali membicarakan penjaga toko baju di dekat pasar yang begitu manis dan ingin kupacari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Cerita penjaga toko ini ampuh mengecoh perhatian Ibu, sehingga dia sampai bilang, "Ya, baiknya pikiranmu kembali lurus dan tak usah balik ke cewek tidak jelas itu!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Inilah yang membuatku yakin jika Ibu tak pernah tahu kalau selama ini aku pergi bersama Mariana.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai di sini, ceritaku terasa luar biasa bagi diriku sendiri. Aku dan gadisku tidak mendapat masalah apa-apa dalam hubungan kami, dan kami semakin lekat. Suatu hari, Mariana mati tertabrak mobil dan kejadian ini membuat beberapa hal mulai berubah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kematian Mariana yang begitu mendadak membawa kesedihan berlipat ganda, dan aku merasa linglung untuk beberapa hari. Ketika mulai dapat menelan makanan dengan normal tanpa bercucuran air mata, seorang rekan Mariana, yang menampung kami satu bulan sebelum Mariana mati, mengatakan sebaiknya aku pulang ke kampungku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kenapa?" tanyaku dengan kesal.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kamu banci dan tak bisa diandalkan. Cuma Mariana yang mengontrol, bahkan sebelum kalian mampir. Setelah dia mati, kami masih harus mengurusmu? Memangnya kau siapa?!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah membayar utang-utangku pada orang itu, aku pergi. Aku pulang dengan menumpang kendaraan apa saja, sebagaimana dahulu ketika berkelana bersama gadisku yang tercinta. Aku tak tahu tujuan lain selain pulang, hingga mau tidak mau aku kembali berpikir soal Ibu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terus memikirkan Ibu ketika uangku mulai habis, padahal belum juga sampai ke seberang pulau di mana kampungku berasal. Aku mencari pekerjaan, yang tentunya tak mudah, karena tubuhku rusak akibat bergaul bersama Mariana dan orang-orang yang menyembah kebebasan tanpa batas.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Daun telingaku ditindik tiga, seperti yang Mariana lakukan. Lengan hingga dada dan perut ramai oleh tato segala binatang dan tulisan, serta angka-angka keramat bagi apa yang sudah aku dan Mariana lalui. Gigi-geligiku tidak lagi utuh; aku mengikirnya hingga terlihat tajam mengerikan, dan bahkan aku tahu jika seseorang memeriksa gigiku, mereka mungkin percaya bahwa gigi itu adalah gigi siluman.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan penampilan macam itu, aku tidak mendapat kepercayaan. Lalu demi dapat bertahan hidup dan tiba di rumahku dengan selamat, aku mencuri ke sana kemari, dan sesekali merampok, dan dihajar massa, dirajam, nyaris tewas, masuk penjara, digebuki polisi, dan segala macam. Waktu terasa tidak ada harganya, karena siang dan malam tidak ada bedanya. Wajah dua orang itu, Mariana dan ibuku, berkelebatan setiap malam. Aku jadi sulit tidur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kira-kira tujuh tahun kemudian aku berhasil sampai ke rumah, dan sampai pada titik ini aku percaya selama ini aku memang tidak becus, sebab tanpa Mariana, aku tidak akan bisa lari sejauh itu dari rumah. Akulah penggila cinta, tetapi tak bisa menghidupi cinta dengan usaha-usaha yang harusnya dapat lelaki perbuat. Aku benar-benar payah dan hari ini aku menangisi itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menangis saat berjalan memasuki gang rumahku. Dan makin keras tangisku di saat melihat lahan yang dulu dipijaki rumahku, kini berubah jadi masjid. Kutanya pada orang lewat, lalu kudapat penjelasan bahwa rumah itu dijual beberapa tahun lalu, dan oleh pemiliknya disumbang ke warga sekitar untuk dibangun tempat ibadah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Memangnya siapa pemiliknya?!" tanyaku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Markoni."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Markoni adalah saudaraku yang sudah menikah. Orang itu lalu memberi penjelasan tambahan bahwa ibu Markoni sudah mati sebelum rumah itu dijual dan disumbangkan, dan sebenarnya niat menyumbangkan itu datang dari ibunya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sadar aku jauh berbeda dari diriku yang dulu. Dan aku ingat wajah orang yang sedang kutanyai, namun dia tidak mengenaliku. Orang itu bilang, dengan tampang agak ketakutan karena tak sadar kucengkeram kemejanya, bahwa niat tersebut muncul karena ibunya percaya anak bungsunya mungkin mati di luar sana. [ ]<br /><br />Gempol, 2015-2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018). Segera terbit kumpulan cerpen terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-88491198219938996642020-05-04T12:15:00.000+07:002020-05-04T12:15:01.627+07:00Para Pendaki<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjii5-01RNyx3AheaRDYLIrrZFqqUPl7hHLrMMqodgHwbL3c3OMClEFKQTUZr7RA0IWbU22f6Htbgptv_PE08IvjRwXlc5YdCTLIwp72tpELB98ATlqpXN61_cUksyb4Z6XEaiejmzl-QY/s1600/0+0+0+Para+Pendaki.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="203" data-original-width="145" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjii5-01RNyx3AheaRDYLIrrZFqqUPl7hHLrMMqodgHwbL3c3OMClEFKQTUZr7RA0IWbU22f6Htbgptv_PE08IvjRwXlc5YdCTLIwp72tpELB98ATlqpXN61_cUksyb4Z6XEaiejmzl-QY/s400/0+0+0+Para+Pendaki.jpg" width="285" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 3 Mei 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Pendakian ini mungkin tidak akan tercatat di buku atau ingatan siapa pun. Aku tahu pasti itu setelah menghirup aroma wangi yang aneh begitu Mudakir menembak seekor macan kumbang hingga tewas. Padahal tidak seharusnya kami membunuh atau mencuri apa pun.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja Mudakir bisa beralasan: “Kalau tidak kutembak mati, kita sendiri yang akan mati.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak benar-benar mendengar ucapannya, tapi jika saja dia masih berada di sini saat ini, dalam situasi yang benar-benar normal, aku yakin itulah yang berulang kali ia katakan. Mudakir mati tak lama setelah binatang itu terkapar. Itulah yang kami yakini; ia mati, meski tak ada jasadnya. Mungkin tiga menit setelah penembakan dan tepat saat aroma wangi yang kumaksud muncul. Lalu kami terjebak hujan angin selama kurang lebih dua jam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hujan angin yang tak biasa. Hujan angin di musim yang tak seharusnya. Sungguh melengkapi firasatku sebelumnya, betapa kami tak mungkin bisa meneruskan pendakian. Bahkan untuk kembali turun ke bawah saat itu juga terasa tak mungkin bagiku. Namun, aku tetap diam. Aku tak bicara selagi kebanyakan temanku berteriak panik begitu tahu mereka mendapati diri bukan di tempat di mana tadi macan kumbang itu tumbang.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Badai itu surut dan kami menyadari berada di bagian lain dari gunung ini; padang ilalang terbentang di kiri-kanan. Tidak tahu apa yang terjadi pada Mudakir, sebab ia tak ada di sini. Dua rekan pendaki lain juga tak ada di sisi kami dan kami berpikir inilah imbas perbuatan melanggar itu. Aturan yang harusnya selalu dipatuhi sampai turun ke pos terbawah telah dilanggar oleh Mudakir dan kini ketiga rekan kami mungkin sudah mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami tak bisa berdiam diri dan mencoba mencari jalan untuk turun. Sebagian besar kelompok yang tersisa yang hanya berjumlah lima orang termasuk diriku beranggapan mungkin nanti kami akan menemui teman-teman lain di bawah. Pemandu kami yang tak berkata apa-apa sejak Mudakir menembak macan kumbang itu lalu menyahut, “Harapan di tempat seperti ini, dalam kondisi macam ini, sangat mungkin membuatmu gila.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak menanggapi, meski setuju. Aku telah mendengar banyak cerita pendakian yang gagal, dan kecerobohan kecil bisa berakibat fatal. Apa yang Mudakir tadi lakukan adalah tindakan besar. Membunuh seekor macan kumbang, sesosok binatang di sebuah hutan dalam gunung yang terkenal memiliki banyak kisah mistis. Aku sama sekali yakin kami tak akan pulang, tapi tak pernah tahu apa saja yang mungkin kami hadapi nanti.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami berjalan menuruni jalur yang sepertinya sudah lama ditinggalkan. Pemandu itu tak bicara sepatah pun. Dan kami juga kehilangan tenaga untuk sekadar berpikir, dan tak ada yang bisa kami lakukan selain terus berjalan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pada suatu titik, kami menemui sebuah sumur. Sumur tua yang dibangun dari batu- batu alam, yang sepertinya berumur puluhan tahun. Kami tak yakin. Seorang dari kami segera menimba air dan mengisi beberapa botol dan tentu saja kami minum. Pemandu itu menolak saat kutawari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Katanya, “Minumku masih ada.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami melanjutkan perjalanan menembus kegelapan malam itu, tapi sepertinya tak ada yang berubah. Suasana sekitar tetap dipenuhi ilalang. Pepohonan baru muncul saat jam menunjukkan pukul 22.30. Kalau tidak terjadi sesuatu yang kutakutkan, perjalanan ke bawah hanya memakan kurang lebih satu jam saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, aku tak terlalu yakin. Pemandu kami juga terlihat pasrah akan segala hal yang mungkin terjadi. Ketiga rekanku terlihat berusaha keras menenangkan diri sebab mereka kira kami sudah berada di jalur yang tepat untuk pulang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, esoknya ketika kami melihat cahaya menerangi tenda-tenda kami, tak ada pepohonan di sekitar. Tak ada ilalang. Yang ada justru batu-batu besar seukuran perahu nelayan, entah berapa ratus jumlahnya, yang tersebar di segala penjuru. Kami panik dan membuat pemandu itu marah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Seharusnya kalian tinggalkan teman kalian yang arogan itu. Kalau saat ini selamat, saran saya jangan pernah mengajak siapa pun, kecuali kalian yakin orang itu bukan jenis pembangkang seperti tukang tembak itu!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Beruntunglah, dalam keadaan perut lapar, kami menemukan sejumlah buah-buahan liar yang bisa dimakan. Aku dan seorang teman tahu karena kami pernah memakan ini di desa saat kecil dulu. Pemandu itu juga turut serta melahap buah-buahan tersebut, tapi ia terlihat begitu pucat dan lelah. Bibirnya bahkan tampak berdarah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Sepertinya kau tidak minum sejak kemarin,” kataku padanya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana kau tahu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku pengamat yang baik.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memang mengamati pemandu itu sejak awal, terlebih setelah badai itu datang dan membuat kami tersesat. Ia mengaku masih menyimpan air minum tapi aku tak juga melihatnya meminum apa pun. Akhirnya, kami menemukan sumber air yang tak terlalu jernih di sebuah turunan yang agak landai dan mengisi botol-botol kosong. Botol lain di ransel teman-temanku masih terisi penuh dengan air sumur semalam dan mereka lebih memilih air sumur itu ketimbang air dari sumber yang tak terlalu jernih. Si pemandu tak berkata apa-apa saat seorang teman meledek air yang diminumnya itu lumayan kotor.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami tiba di sebuah belokan saat hari sudah agak sore. Di situ ada sebuah pondok kayu yang sangat terawat. Teman-teman bersorak senang. Pemandu itu, tentu saja, tidak bereaksi apa-apa sebagaimana diriku. Tampaknya kami berdua sepemikiran dalam soal sesuatu yang semestinya layak kami dapatkan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maksudku, Mudakir yang juga bagian dari kami, terang-terangan melanggar aturan dan kami juga sudah tersesat sejak itu. Apa yang bisa diharapkan, sekalipun kami secara tak sengaja menemukan sumur tua dengan air yang sangat jernih dan sebuah pondok di tengah hutan yang kemungkinan dihuni seseorang?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak terlalu yakin saat rekanku mengusulkan kami tidur saja di teras pondok itu; kami tak bisa menemukan pemilik pondok atau seorang pun meski sudah berteriak dan memanggil dengan segala macam cara. Pemandu itu juga tak yakin. Kali ini ia berkata, “Saya akan terus berjalan. Ada yang tidak beres di pondok ini.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu sudah gila, ya?!” bantah temanku. “Kami sangat lelah dan butuh istirahat. Setidaknya beberapa jam. Lagi pula pemilik tempat ini pastilah mengerti. Kita tak perlu izin untuk meminta pertolongan!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Terserah kalian.” Pemandu itu melangkah membelakangi kami. Aku tak suka atas kejadian ini, tapi aku lebih percaya pada pemandu itu. Akhirnya kami berdua tak tidur di pondok itu, melainkan di tengah hutan, agak jauh dari pondok di mana sekarang ketiga temanku istirahat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Esoknya, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tak ada sesuatu yang terjadi. Aku juga tak menemukan perbedaan dari tempat yang kami pakai untuk menginap, termasuk juga pondok itu. Teman-temanku terlihat biasa saja dan mereka tak bercerita apa-apa tentang pondok itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Entah berapa jam kami berjalan pagi itu. Entah berapa jam kami tak makan. Ketika seekor kijang tampak sekian puluh meter di depan, terlihat tenang seolah tak menyadari keberadaan kami, seorang temanku tergoda untuk menembaknya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu si pemandu melarang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa yang akan kau lakukan, he?!” bantah temanku itu. “Kita di sini butuh makan dan tak ada apa pun yang bisa dimakan selain kijang itu!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Perdebatan pun terjadi, tapi meski suara pertengkaran mereka lumayan lantang, tak ada reaksi apa pun dari kijang itu. Seakan-akan kami berada di tempat yang sangat jauh darinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Firasatku semakin menguat di sini. Kulihat di tenggara sana, tak jauh dari titik di mana si kijang sedang asyik memamah rumput, terhampar padang ilalang sejauh mata memandang. Sebuah padang ilalang yang terasa, entah bagaimana, tak asing saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku merinding. Aku mungkin sudah pasrah, tapi sungguh tak tahu apa yang bakal terjadi pada kami setelah terjebak selamanya di tempat macam ini. Aku tak peduli meski teman-teman mencoba mencegahku dari berlari menjemput kijang itu. Aku tak peduli bahkan meski mereka akhirnya terpaksa menembakku demi tidak membuat kesalahan lain.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, tak ada yang tertembak hari itu. Bahkan tak ada peluru melesat hingga tahun- tahun mendatang yang kualami dalam keabsurdan dan kesialan tanpa batas. Sebab tidak ada yang menghentikanku berlari menjemput kijang yang terlihat tenang itu. Hatiku tak henti berkata, “Menyingkirlah, kijang sialan! Menyingkir kau dari hadapanku!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kijang itu tetap tenang di sana, tetap memamah, meski kemudian kutabrakkan diri padanya. Anehnya, tak ada yang jatuh terguling. Tak ada keributan. Teman-temanku di belakang sana mendadak bungkam setelah berteriak tiada henti, mengira aku menggila dan akan berbuat sesuatu pada kijang itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kenyataannya memang aku menggila, tetapi bukan untuk melukai si kijang dengan belati dalam ranselku. Aku menggila karena pemikiran logisku berkata, tak mungkin ia, si kijang sial itu, tetap tenang, padahal seharusnya ia tak setuli itu. Apakah ada seekor kijang yang dilahirkan tuli?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tabrakan itu tak menghasilkan apa-apa. Kijang dan diriku sama-sama tak terjatuh. Aku merasa menembus tubuhnya dan semua temanku terpana melihat itu. Si pemandu malah tertawa terbahak-bahak. Kami melanjutkan perjalanan dengan putus asa. Padang ilalang itu terlihat sama, karena mungkin saja itu padang ilalang yang sudah kami lihat di awal ketersesatan. Hanya saja, kami tak menemukan sumur tua itu lagi. Kami juga tak menemukan sumber air apa pun. Sisa air terakhir dalam botol terpaksa kami buang seluruhnya, sebab ternyata itu berubah menjadi darah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kata pemandu kami, “Itu bahkan tak pernah berubah. Sejak awal itu sudah darah.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kenapa kau tak mencegah kami?” tanya salah satu temanku dengan menangis.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pemandu itu lagi-lagi tertawa dengan aneh. Sejenis tawa yang hanya akan muncul ketika kau kehilangan akal sehat. [ ]<br /><br />Gempol, 22 April 2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-76814284265847538042020-04-29T16:56:00.002+07:002020-04-29T16:56:32.495+07:00Pengakuan<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcKJSg_1lGRSm5aFtXgPWZWOzkBiHIBimfGaxELCHPKyeFqMVtphJjrIubh4R0EoRV81NQDm28iEKJZVDrFOdBTnMpOUvzdg0vADkYiP59b8iKctQ7ZykY6DyHhCwBf83lKPaTUBuQM9U/s1600/0+0+0+Pengakuan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="443" data-original-width="659" height="268" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcKJSg_1lGRSm5aFtXgPWZWOzkBiHIBimfGaxELCHPKyeFqMVtphJjrIubh4R0EoRV81NQDm28iEKJZVDrFOdBTnMpOUvzdg0vADkYiP59b8iKctQ7ZykY6DyHhCwBf83lKPaTUBuQM9U/s400/0+0+0+Pengakuan.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Bacapetra.co pada 17 April 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Terakhir kulihat senyum perempuan itu bukan saat kami baru saja melepas rindu di atas kasur semalam sebelumnya. Bukan ketika aku meninggalkannya duduk di bangku depan mobil. Senyum terakhir itu, yang kutangkap setelah tahu seseorang rela menjadi malaikat maut bagiku, akan mengendap di kepalaku sampai beratus atau bahkan beribu tahun lamanya, andai aku diberi jatah hidup sebanyak itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Tuhan tidak memberi bajingan sepertimu keistimewaan!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, memang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Bukankah terlalu banyak jiwa yang kulempar ke jurang pekat, yang tak terjamah, tak terendus bahkan oleh anjing pelacak paling jenius sekalipun? Tak ada satu hal pun yang kubanggakan untuk itu, sebab tindakan itu hanya “perlu” untuk diadakan, dan aku bukan sedang mengejar prestasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Coba kau ingat-ingat ada berapa nyawa yang sudah kau habisi?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejujurnya, aku tak ingat. Tetapi, andai seseorang ingin membangun sebuah rumah dengan bahan-bahan dan desain unik, tubuh para korbanku jelas sesuai untuk kebutuhan semacam itu; mereka akan patuh saat misalnya engkau menyusunnya menjadi sebidang tembok atau atap atau bahkan pintu toilet yang tentu saja akan memiliki banyak lubang. Bisa kau bayangkan tubuh demi tubuh manusia, yang disatukan menjadi sebuah rumah. Bisa kau bayangkan ada berapa banyak celah dan lubang yang terbentuk?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Mereka patuh? Bukankah mereka memang sudah mati, Tolol?!”<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Itu dia maksudku. Mereka sudah mati dan mereka patuh meski tubuh-tubuh kaku mereka kau gunakan untuk apa pun. Dalam perkara membangun rumah, kurasa arwah para korbanku tak akan keberatan. Mereka baru akan keberatan, meski aku yakin tidak ada satu pun di antara arwah-arwah sial itu yang bisa bertindak untuk melukaiku atau bahkan dirimu dan seluruh manusia lain di muka bumi, andai mereka mengendus aroma nikmat dari sudut dapur, yang mana itu terjadi akibat diriku yang memasak sekumpulan daging dan tulang dan organ tubuh dari orang-orang yang kubantai selama lebih dari satu dekade.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, mari kita pergi jauh saja dari pikiran-pikiran tentang kelakuanku yang sudah lama berlalu. Aku sudah muak untuk memikirkan bagaimana tubuh-tubuh itu akan tetap bertahan di sana; di segala tempat yang tak mungkin kusebutkan padamu dan tak perlu juga kuungkap demi alasan tertentu yang manusiawi. Coba gambarkan bagaimana rasa mengetahui tubuh orang-orang yang kau cintai ditemukan hancur dan tak ada sisa sama sekali tentang mereka di sana? Sepotong tangan akan membusuk pada suatu hari, lantas daging dan uratnya akan hilang oleh waktu, dan yang tersisa hanya tulang. Bayangkan perasaan seorang istri atau pacar atau orang tua demi melihat itu? Tapi, sudahlah. Cukup dan sudahi pemikiran tentang ini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Lalu, kau mau apa? Apa yang bisa kau tawarkan pada Tuhan sehingga kau diberi sisa umur yang panjang?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak berharap mendapat umur panjang. Setelah senyum terakhir perempuan itu, justru aku menginginkan untuk segera mati. Aku ingin mati detik ini juga kalau mampu, tetapi tak ada apa pun di sini yang bisa kujadikan sarana. Kalau kau hadir di sini untuk tujuan itu, silakan saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku bukan pembunuh sepertimu, Bangsat.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Baiklah. Sekarang maumu apa? Kita bicara tentang perempuan itu?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Boleh juga.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Perempuan itulah yang menghentikan seluruh aksi biadabku sebagai pembantai di permukaan bumi yang tak perlu memikul alasan apa pun. Aku bisa membantai sesosok bajingan yang merampok bank tanpa harus merebut uangnya. Aku juga bisa membantai seorang pemuda yang duduk merokok di sebuah jembatan tanpa harus mengenalnya atau tanpa harus dia membuat masalah tertentu denganku. Aku hadir untuk semua orang yang bersedia mengambil risiko mati demi berada di dekatku. Kau tahu, kemampuanku dulu juga pernah menjadi profesi tersendiri yang membuat setiap wanita tertawa tanpa henti begitu mereka bertanya apa yang kukerjakan untuk bisa membeli sejumlah mobil dan rumah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Profesi macam apa itu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Eksekutor bagi mereka yang berharap segera mati namun terlalu lemah. Sering kali kujumpai orang-orang yang muak pada hidupnya, sepertiku ini, tapi tidak bisa mati oleh tangan mereka sendiri. Akulah yang mengerjakan sisanya; mereka hanya perlu berharap mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana kalau mereka datang untuk memintamu membantai orang lain?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kubantai mereka saat itu juga. Tidak ada yang boleh menyuruhku membunuh siapa pun, kecuali pesuruh itulah yang kuhabisi. Ya, memang itu juga yang kukerjakan ketika harus melayani para klienku, bukan? Hahaha!<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Profesi yang aneh ... dan biadab, menurutku.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Orang boleh berkata apa, tapi mereka menginginkannya, dan mereka juga kuhitung sebagai korban yang kuhabisi. Tubuh mereka juga kadang-kadang ada yang kubuang ke tempat terpencil. Nah, suatu ketika, seorang perempuan datang padaku dan dia ingin dia mati malam itu juga. Aku tak tahu bagaimana seorang perempuan seindah itu ingin mati dan tak lekas membunuhnya. Aku bertanya dan dia menjawab, “Seorang lelaki hadir di hidup untuk menggangguku sepanjang waktu.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu kenapa kudatangi lelaki pengganggu itu dan kuhabisi dia, dan sejak itu aku tidak lagi berminat membunuh. Aku justru ada menemani perempuan itu, yang ternyata tidak menginginkan mati. Anehnya, aku juga tak ingin dia mati, sehingga kami pun akhirnya berpacaran. Aku tak pernah menikahinya, tapi dia sudah memberiku entah berapa ribu pengalaman luar biasa di atas kasur. Kami tenggelam dalam kenikmatan itu selama, barangkali, lima atau tujuh tahun.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa yang kau kerjakan selama itu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Membangun bisnis baru; sebuah restoran. Aku lumayan berpengalaman dalam soal mengiris daging, tentu saja. Kemampuanku cukup berguna dalam membantu pegawaiku di dapur, dan aku merasa lebih dari cukup.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dialah, perempuan itulah, yang merasa tak cukup untukku. Aku sudah memberinya segalanya. Bahkan kesukaanku membunuh orang-orang tidak berguna di luar sana juga tidak lagi kujalankan setelah kami bersama. Tapi, dia sudah bosan denganku. Suatu hari kuhajar seorang pelayan di tempatku karena bersumpah melihat perempuanku tidur di motel bersama lelaki asing. Dia tak memberiku bukti sehingga wajahnya layak kubikin babak belur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa yang perempuan itu katakan?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dia bersumpah tak pernah selingkuh, dan justru pelayanku yang menggoda dirinya. Sampai kali itu aku masih percaya. Bulan demi bulan segalanya kembali normal. Suatu ketika kami pergi ke pantai untuk berlibur. Tiba-tiba seorang lelaki menyambangiku ke bilik toilet di mana aku sedang sibuk dengan urusan perutku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Di dalam toilet?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ya. Lihatlah bajingan sial itu, yang bahkan tak pernah mengenalku, menyambangi bilik toiletku hanya untuk membunuhku!<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau pun tahu rasanya jadi mangsa, ya?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak juga. Akulah yang akhirnya harus membunuh, setelah mendengar dari mulut bajingan itu sendiri bahwa dialah yang selama ini meniduri istriku dan berharap mereka bisa lepas dari pantauan manusia sinting sepertiku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Oh, jadi setelah itu kamu bunuh pasanganmu sendiri? Tapi, tunggu dulu. Tadi kau sebut tentang mobil. Bukankah kalian sedang di pantai?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami baru akan pulang dan aku singgah sebentar di toilet. Dia menunggu di tempat parkir. Cukup aneh bagi seseorang untuk tersenyum saat pasangannya butuh membuang kotoran dari usus. Tapi, senyum itu membuatku terbakar. Seperti sesuatu yang bertahun lamanya terpendam di sini, lalu tiba-tiba meledak dan terbayarkan hari itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa yang terjadi? Maksudku, aku butuh mendengar detail.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Bayangkan sebutir kepala indah, dengan mata dan rambut yang setara milik boneka malaikat, mendadak hancur berkeping-keping. Bayangkan butiran darah dan daging dan sesekali serpihan tulang bertebaran di kursi depan mobilmu. Aku tidak sempat mencuci itu; lebih tepatnya tak ingin. Biar sisa-sisa perempuan itu tak sepenuhnya terpendam di peti yang membawa tubuhnya (yang tanpa kepala) ke titik yang tak terjangkau olehku. Sekarang, memikirkan itu, rasanya aneh juga. Orang yang membuatku sempat berhenti dari penyakit lamaku justru tak terjangkau setelah dia mati. Sementara, mereka yang tak kukenal sama sekali, yang kuhabisi bahkan tanpa perlu alasan, hingga detik ini selalu dan tak mungkin lepas dari jangkauanku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kenapa kau perlu menyembunyikan kenyataan lama itu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jika tidak, mereka menghukumku lebih lama. Mungkin aku akan mati di sini, tapi itu bukan yang kuinginkan. Aku memang ingin mati, tapi kuharap bukan di tempat ini, dan tidak bersamamu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak ada yang mau mati dengan adanya aku di sisi mereka, memang. Kau tahu kenapa?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kau makhluk pembawa sial.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau pun begitu.” [ ]<br /><br />Gempol, 2019-2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit kumcer terbarunya berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-7448659882710373532020-04-29T16:45:00.004+07:002020-04-29T16:45:46.622+07:00Setelah Kematian Menyakitkan<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQhP3GDc3mf8xMWRC3B0jj-yNRgAXYRG-Ve1GU6oqmLc1Vw7xDFv0dSHRAVBSoq9mjKM8fL-PqkoMTs5ZOx6kPp2We87cFP62HX6IcjBjd7VhESHHAFFM9eWObdUqKz1EOFSxOWw8I-38/s1600/0+0+0+Setelah+kematian+Menyakitkan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="411" data-original-width="419" height="391" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQhP3GDc3mf8xMWRC3B0jj-yNRgAXYRG-Ve1GU6oqmLc1Vw7xDFv0dSHRAVBSoq9mjKM8fL-PqkoMTs5ZOx6kPp2We87cFP62HX6IcjBjd7VhESHHAFFM9eWObdUqKz1EOFSxOWw8I-38/s400/0+0+0+Setelah+kematian+Menyakitkan.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Maret 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah dalam perkelahian terakhirnya, lalu rekannya dengan bengis menggorok lehernya hingga putus. Ia merasa lebih dari cukup, tapi rekan itu sepertinya belum terpuaskan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku harus membalas dendamku dengan sebaik-baik cara. Maka, kamu harus mati dengan sesadis-sesadis cara,” kata rekannya.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Malam itu sungguh menjadi malam yang panjang. Menjadi mati bukan lantas kau diseret pergi malaikat maut ke tempat antah berantah yang hanya pernah ada dalam isi kepalamu sejak kecil belaka. Ali Sumarno barangkali belum tahu itu, sampai malam itu ia sepenuhnya tahu betapa menjadi mati bukanlah perjalanan pendek seperti ketika kau pergi berak ke toilet umum, yang mana perkara yang kau pikul hanya sebatas di dalam bilik kecil tertutup. Mati adalah perjalanan panjang yang menyakitkan dan itulah yang Ali Sumarno rasakan malam itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Seandainya bisa dituliskan menjadi novel, tentu tak akan cukup dua ratus halaman. Aku bahkan yakin bisa menuliskannya dengan detail sepanjang kira-kira lima ratus atau tujuh ratusan halaman,” katanya suatu ketika, begitu bertemu dengan makhluk senasib dalam perjalanan panjangnya mengungkap kematian sendiri.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, sebelum dialog itu berlangsung, Ali Sumarno tak tahu apa yang menanti di depan, selain menyadari ia tak dapat kabur dari rasa sakit akibat aksi lanjutan dari sang rekan. Menjadi mati, ternyata, membuat seseorang memikul sakit berkepanjangan yang setara dengan apa yang tubuh fana seseorang itu dapatkan. Seperti seseorang mengutuk dirimu dengan boneka <i>voodoo</i>. Seperti seseorang mengirim <i>teluh </i>atau santet, tetapi dari jarak yang cukup dekat sebab kau mampu melihat tubuh fanamu terbaring tak berdaya persis di depanmu. Situasi itu membuat Ali Sumarno hanya bisa mengutuk dan menjerit tanpa bisa menghentikan sang rekan yang terus saja mencincang-cincang tubuhnya yang sebenarnya telah kalah. Satu sabetan golok terasa bagai hantaman godam dari neraka di ruh Ali Sumarno dan sayangnya ia harus menelan lebih dari empat puluh sabetan. Tentu tidak termasuk ketika akhirnya sang rekan yang biadab itu menyulap tubuhnya menjadi potongan-potongan kecil. Seandainya pembunuh itu bisa mendengarnya, mungkin saja ia segera menjadi tuli, saking kuatnya jeritan derita Ali Sumarno.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Lalu bagaimana?” tanya makhluk senasib beberapa lama usai malam mengerikan itu berlalu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Ia mengubahku menjadi sup dan menyantapnya malam itu, lalu malam besoknya, dan malam besoknya lagi. Setiap malam, dan kadang-kadang sore hari juga, ia santap sup yang dibuat dariku, dan itu ia perbuat seorang diri.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya perkirakan pasti dia sangat kelaparan.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Seharusnya tidak, dengan uang sebanyak itu yang dia dapatkan dari proyekku.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi, bukankah Anda sebut tak ada lagi sisa-sisamu, kecuali tulang-belulang?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Ia melakukannya bukan demi rasa lapar.” <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ali Sumarno memang sakit hati, tapi dia tak berdaya. Tulang-belulang yang sangat mustahil dimakan serta oleh rekannya itu, dihancurkan sedemikian rupa, lalu ditaburkan di jalan raya menuju kota kecil yang nyaris sekarat di tepi pantai. Tentu dalam setiap proses biadab yang dijalani sang pembunuh itu, Ali Sumarno di sisi yang bersangkutan, meski tak bisa menampakkan diri, dan begitulah seterusnya ia terjebak sampai serpihan tulang belulang terakhirnya ditaburkan ke lubang toilet rusak di rest area terbengkalai di pinggiran kota.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai sejauh itu, istri dan anak-anaknya tidak curiga. Bahkan orang-orang sekitar juga tak curiga. Ali Sumarno sendiri memang terkenal nakal sejak masih muda dulu dan begitulah orang mengenalnya hingga di kemudian hari ia mendapatkan dua orang anak dari istri yang legal. Pernikahan mereka digosipkan orang sedistrik sebagai pernikahan yang bukan berlandaskan cinta, sebab keduanya butuh untuk meneguhkan status belaka. Selain itu, semua orang tahu Ali Sumarno kerap bermain wanita di luar sana, dan begitu pula sebaliknya. Istrinya bahkan pernah mengajak menginap seorang kenalan asing dari sebuah diskotik baru di pusat kota ketika Ali Sumarno tidak pulang sebelas hari dengan alasan urusan pekerjaan, padahal bersenang-senang juga di luar kota bersama seorang wanita pekerja di sebuah karaoke remang di kota dekat pantai bernama Dewi. Tentu itu bukan nama sebenarnya. Dewi adalah nama yang disematkan begitu saja oleh lelaki itu sesukanya, sebab mengingatkannya pada mantan terindahnya di masa lalu, dan seluruh perjalanan bersama Dewi itu, dilakukannya bersama sang rekan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Rekan itu bernama Mudakir. Ali Sumarno sudah lama mengenalnya dan menjalin kerjasama yang baik dengan lelaki paruh baya itu sampai suatu kali Mudakir mengajak dirinya menginap sebab tubuh Ali Sumarno mendadak demam setelah mobil mereka tak bisa dinyalakan dalam perjalanan bisnis di tengah kepungan hujan. Di sinilah sumber malapetaka. Ali Sumarno melihat kecantikan berlipat ganda di diri istri Mudakir, lantas menggodanya, dan tak butuh waktu lama; mereka pun berakhir di sebuah kamar motel busuk tanpa sepengetahuan Mudakir. Sejak itu mereka tidak pernah menemui Dewi, dan Mudakir sempat bertanya-tanya: “Perempuan mana lagi yang memikat hatimu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mendengar itu, Ali Sumarno hanya tertawa terbahak-bahak. Mudakir yang goblok, begitulah pikirnya saat itu, seandainya kamu tahu, kurasa kita tak mungkin lagi menjadi teman.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hubungan gelap mereka akhirnya terbongkar beberapa bulan setelahnya, lalu tidak pernah ada lagi kabar Mudakir; ia dan keluarga bagai menghilang ditelan bumi, dan tak ada yang bisa diperbuat Ali Sumarno selain terus mencoba melacak keberadaan mereka. Ia tak mau menyerah dan merasa sangat bersalah pada rekannya tersebut, tapi suatu hari Mudakir tiba-tiba telepon. Sebuah pertemuan diatur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Sebaiknya tidak perlu ada yang dengar pertemuan kita. Ini persoalan aib, dan aku tak mau mantan kolega-kolegaku tahu.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Baiklah. Aku hanya ingin meluruskan betapa kita seharusnya masih bisa menjadi rekan dan teman yang baik.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu tak ada sesuatu yang perlu diperbaiki, setidaknya bagi Mudakir. Peristiwa itu berlangsung cepat bagi Ali Sumarno yang tidak siap. Ia mati digorok dan habis di perut Mudakir yang telah lama menghilangkan jejaknya dari publik. Sempat ruh Ali Sumarno bertanya-tanya: ke manakah istri Mudakir yang serupa bidadari itu kini berada? Apakah perempuan cantik itu juga turut menyantap sup dirinya tanpa pernah tahu sup tersebut berasal dari perbuatan nakalnya di masa lalu? Ali Sumarno tak tahu dan tak pernah tahu. Ia tidak memusingkan apa pun lagi setelah tahu secara pasti jejak keberadaannya hilang total. Taburan terakhir tulang-belulangnya yang dihancurkan teronggok menyedihkan di lubang toilet busuk di rest area terbengkalai. Bagaimana mungkin ia bisa mengundang orang-orang untuk datang dan menangkap Mudakir atas perlakuan biadabnya ini?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ali Sumarno hanya tahu yang tersisa darinya tinggallah seluruh pakaiannya yang terkubur di suatu tempat di dekat titik kematiannya. Ia pun berjalan gontai ke arah kota di mana dulu seluruh keculasan dan kenakalannya berlangsung. Ia tak bisa bicara pada siapa pun, bahkan apa pun. Ia merasa tidak terlihat siapa pun. Di suatu halte ia bertemu seseorang yang seperti terlihat senang begitu melihat wujudnya yang tak lumrah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Anda sudah mati?” tanya sosok itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kok tahu?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Percayalah, cuma orang gila yang menganggap orang yang menenteng kepalanya sendiri ke sana kemari masih hidup. Saya juga sudah mati. Perkenalkan, saya Markoni.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, bersama Markoni, Ali Sumarno lalu berjalan ke arah pulang. Markoni tidak memiliki tujuan, karena sebenarnya ia gelandangan yang mati karena berebut makanan dengan seekor anjing liar. Ia mati setelah anjing itu menggigit lehernya dan luka akibat gigitan tersebut tak terawat dengan baik hingga membusuk dan membuatnya mati. Tak ada yang menguburkannya secara layak, sebab orang-orang entah siapa mengangkutnya begitu saja dan membawanya ke ruang praktik untuk mengacak-acak tubuhnya, konon demi alasan ilmu pengetahuan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Bung, Anda tidak tahu betapa sakitnya saya saat itu. Namun, tentu saja sulit untuk membayangkan rasanya dimasak dan disantap oleh mantan rekan sendiri,” kata Markoni dengan penuh simpati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan suara yang terdengar datar, Ali Sumarno berkata, “Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Markoni setelah mereka tidak bersuara beberapa saat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Belum tahu. Aku hanya perlu berjalan dulu sambil berpikir bagaimana agar setiap pakaianku yang dikubur itu berhasil ditemukan.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Terdengar mustahil, tapi saya temani Anda sampai akhir. Kebetulan saya juga tak ada kesibukan.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Terserah sajalah kalau itu yang kau mau.” [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Gempol, 2 Februari 2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Museum Anomali 2: Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-19790033220245365752020-04-29T16:36:00.003+07:002020-04-29T16:36:46.999+07:00Mengobati Masa Lalu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZxBbpMF2uD2skDMLRcID4Rayl6AJyRssk__6-Yq_b-AKDLkU820UxmKSC4l2oOVDuGlgvWg8LSgMF99sN9EulSLbmty2dYOpMJbluCk4BoCXVjoa1IhXc3S1rMT2YDILqlS97XePIk-k/s1600/0+0+0+Mengobati+Masa+Lalu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="233" data-original-width="153" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZxBbpMF2uD2skDMLRcID4Rayl6AJyRssk__6-Yq_b-AKDLkU820UxmKSC4l2oOVDuGlgvWg8LSgMF99sN9EulSLbmty2dYOpMJbluCk4BoCXVjoa1IhXc3S1rMT2YDILqlS97XePIk-k/s400/0+0+0+Mengobati+Masa+Lalu.jpg" width="262" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Radar Bromo, edisi Minggu, 22 Maret 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Ibu pergi sejak lama. Terakhir aku melihatnya ketika dia bertengkar dengan ayahku di dapur. Aku baru enam tahun saat itu. Terlalu sering mereka adu mulut, tapi malam itu ibuku berbisik pada Ayah saat bertengkar. Sebuah cara bertengkar yang aneh. Butuh bertahun-tahun sampai aku paham makna pertengkaran berbisik itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Orang-orang di sekitar kami tidak suka pada Ayah, yang hobi mabuk dan tak punya pekerjaan. Mereka juga tidak senang pada Ibu yang bekerja. Namun pekerjaan Ibu cuma bisa dilakukan di pinggiran kota ketika malam hari dan dia harus pulang setelah subuh. Ibu seperti bukan Ibu atau mirip orang kerasukan setan andai aku melihatnya pulang. Jika dulu Ibu bertengkar dengan suara keras, para tetangga gembira melihat kami.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tahu kebencian tersebut dari pamanku. Paman memberitahuku bagaimana para tetangga bahagia begitu saja oleh pertengkaran ayah ibuku. Pamanku orang yang baik. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa hidup lebih lama. Ayah bukan jenis ayah yang ada di buku cerita anak-anak.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Paman bilang, "Para tetangga tidak tahu harus apa. Membenci ibu dan ayahmu saja yang bisa mereka lakukan. Karena aku, kamu tidak ikut jadi sasaran kebencian."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Maksudnya?"<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
"Tidak ada yang serius membencimu. Orang tahu aku tidak seperti ayahmu," jelas Paman.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah senang pergi membawa-bawa senjata. Meski cuma beli rokok ke gang depan, Ayah selalu membawa senjata dan tingkahnya membuat orang takut. Aku tak tahu masa muda Ayah. Kata Paman, dia sering terlibat masalah. Banyak duel yang dimenangkan. Beberapa kali Ayah kalah, tapi karena dikeroyok. Dulu dia terkenal hebat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah bertemu Ibu di panggung dangdut dan itu terjadi bukan tanpa alasan. Ayah mencari penyanyi yang pernah ia lihat, lalu terjadilah percintaan itu. Mereka menikah setelah beberapa lama pacaran, tetapi sejak hari-hari pertama, mereka kerap bertengkar. Aku dengar ini nyaris tanpa sedih, meski saat ini benar-benar yakin ibuku meninggal di luar sana tanpa tahu kabarnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak merasa ayah dan ibuku adalah sosok tercintaku. Aku bahkan tidak ingat ada keyakinan dua sosok ini kelak jadi bagian terbesar dari hidupku. Itu bukan karena pengaruh cerita-cerita Paman. Ayah tinggal denganku bertahun-tahun setelah Ibu pergi dan karena itulah aku mengerti cerita yang kudengar bukan dusta.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah dan Ibu bukan orang baik-baik. Para tetangga membenci mereka, dan tertawa andai musibah menimpa keduanya. Di dadaku ada sakit saat tahu kenyataan ini, tetapi bukan karena peduli ayah dan ibuku yang juga manusia biasa, melainkan karena aku masih kecil saat itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Syukurlah mereka tidak benar-benar membenciku. Setelah Ibu pergi, empat atau lima tetangga datang padaku. Waktu itu Ayah benar-benar tak peduli padaku dan hanya mengurus diri sendiri. Ayah tak peduli anaknya butuh makan. Sesekali memberiku uang yang tidak terlalu berarti. Paman-lah yang benar-benar membesarkanku. Paman kerja dan mengurus warung untuk menghidupiku. Yang bertugas menjagaku para tetanggaku, meski tentu mereka tak bisa sepenuhnya mengawasiku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah aku SMA, tabiat Ayah makin memuakkan. Aku tidak tahan dan pindah ke rumah Paman dan membantu mengurus warung miliknya. Paman tidak menikah entah karena apa. Takdir menggiringku ke posisi demikian: aku menganggap pamanku seperti ayahku sendiri.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saat ini kesadaranku tentang Ayah dan Ibu tergenapi. Paman sudah menceritakan semua. Yang tersisa: sikap yang aku ambil untuk membalas arti keberadaanku di dunia ini. Suatu sore Paman bertutur, "Seburuk apa pun mereka, mereka tetaplah perantara keberadaanmu di sini."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hari itu sering kuhabiskan di sekolah dan perpustakaan, dan sisanya duduk di warung bebek Paman tanpa melakukan apa-apa. Paman sering memberiku nasihat sejak Ayah sakit beberapa bulan lalu dan inilah yang membuat rasa sakit itu muncul. Dahulu Ayah tidak peduli pada darah dagingnya sendiri, dan kini aku terjebak ke fase kesakitan yang harus dia alami.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Mungkin Ibumu sudah meninggal," kata Paman, demi merespons apa yang sejak lama kuyakini dan berulang kali kukatakan. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Bukankah dia, ibuku yang cantik dan pernah bertengkar sambil berbisik itu, tidak mengirimkan kabar? Menganggapnya tiada adalah cara yang tepat agar aku tidak terlalu lama sakit.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Anggap saja begitu."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, ayahmu ada. Orang-orang membencinya dan kamu tahu itu."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bahwa tidak ada seorang pun yang punya alasan untuk tidak membencinya, selain saya? Itu yang Paman maksud?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Orang-orang tahu kondisi Ayah saat ini jauh dari masa-masa jayanya. Ayah sakit setelah suatu malam pulang dengan membawa botol minuman dan pingsan di depan rumah. Aku tinggal secara permanen di rumah Paman. Tak tahu orang membiarkannya tidur di luar rumah semalaman. Saat datang ke sana esoknya untuk mengantar makanan titipan Paman, Ayah tidak lagi bisa bicara.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami tidak punya cukup uang untuk memberinya perawatan terbaik, sehingga dia hanya dirawat di kamarnya dengan bantuan salah satu tetangga untuk mengurus segala keperluan. Paman yang membayar tetangga itu. Si tetangga tidak sepenuhnya mengatasi semua hal, dan karena itu Paman memintaku melupakan keburukan Ayah di masa lalu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Dia membutuhkanmu."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Berkat kegigihan Paman membujuk, kisah masa lalu tentang Ayah dan Ibu yang buruk di mata semua warga, mendadak kubuang dari lubuk terjauh hatiku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak lagi melihat sesosok jagoan pada wajah kurus dan tidak berdaya yang terbaring di tempat tidur saat ini. Aku tidak lagi mengamati sosok yang mengabaikanku, padahal aku darah dagingnya. Sosok yang hanya memberiku sedikit uang sebulan sekali. Aku cuma melihat manusia tidak berdaya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah. Kurawat Ayah dan pelan-pelan kuobati sakit hatiku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Andai perjalanan kami terjadi dengan cinta, semua akan lain. Aku tak tumbuh jadi pendiam yang tak percaya pada cinta jenis apa pun. Aku juga tak akan jadi sosok aneh yang sulit menjalin hubungan pertemanan. Kusingkirkan semua itu. Kurawat dia sebaik mungkin, lalu mengenang Ibu yang pergi di malam pertengkaran itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa Ibu benar-benar sudah tiada?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kini aku merasa bersalah, karena membenci dua sosok yang menjadikanku ada di dunia ini. Mestinya, aku tidak perlu membenci siapa pun. Aku tidak perlu membenci Ayah dan Ibu, sebab ucapan Paman amat tepat: aku tak mungkin ada di dunia ini tanpa mereka. Bagaimanapun, keduanya berhak mendapat baktiku sebagai anak. Tidak peduli seperti apa dulu mereka memperlakukanku. [ ]<br /><br />Gempol, 2018-2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-90522611359035942042020-03-16T09:39:00.001+07:002020-03-16T09:39:17.037+07:00Kota Serigala<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEHdhrYu5SxIu06zyBTUa8pndJkovKzsCTdeKLq9Evgtl2YmDae1mRqk9qY8YGc5CF4NqlgilFYGnBV9eX9lPgSF85Yd874CCrrgtkz_dWo-XtYbRXlksr8OEFMWFm9w_EYZAsQjAB-SI/s1600/0+0+0+Kota+sERIGALa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="251" data-original-width="166" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEHdhrYu5SxIu06zyBTUa8pndJkovKzsCTdeKLq9Evgtl2YmDae1mRqk9qY8YGc5CF4NqlgilFYGnBV9eX9lPgSF85Yd874CCrrgtkz_dWo-XtYbRXlksr8OEFMWFm9w_EYZAsQjAB-SI/s400/0+0+0+Kota+sERIGALa.jpg" width="263" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 13 Maret 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Manusia-manusia serigala berkumpul di pusat kota hari itu. Mangsa terakhir sudah ditumbangkan. Darah membanjir di sudut-sudut gelap yang biasanya selalu penuh oleh tumpukan sampah dan air selokan. Bau amis merajai untuk beberapa jam, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Angin akan menghalau bau itu, dan lagi pula setiap penghuni kota tak lagi risau oleh bau darah dan mayat. Mereka terbiasa sejak bertahun-tahun lalu. Kini, kota dikuasai orang-orang bertaring yang menjelma serigala, bukan hanya ketika bulan purnama.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pemerintahan kota kembali diatur usai matahari bersinar terik esoknya. Di gedung dewan, beberapa manusia serigala berpengaruh, yang terkuat dan tercerdas, mengambil keputusan-keputusan tentang siapa saja yang akan memerintah kota, juga apa saja yang mereka lakukan untuk menjaga agar pembantaian malam itu tak terdengar pihak luar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika malam berdarah itu berlangsung, seluruh akses menuju kota dibuntu. Para penjaga perbatasan yang bertugas dengan santai harus berakhir di perut para manusia serigala yang memulai langkah awal penyerangan. Dengan adanya makhluk-makhluk keji di seluruh gerbang terluar kota dari berbagai penjuru, tak akan ada pihak luar yang tahu.</div>
<a name='more'></a><br />Siang itu, wali kota baru diperkenalkan. Orang-orang bertaring bersorak ria demi menyambut hari baru setelah tahun-tahun panjang penuh derita harus hidup di hutan dan saling berebut tempat dan makanan dengan binatang-binatang yang ditakdirkan untuk liar dan menyantap daging sejak dari langit.<br />
<div style="text-align: justify;">
<br />"Berapa abad kita hidup dengan cara serendah binatang? Berapa abad kita didepak dan ditolak manusia-manusia itu? Sekarang, kita berkuasa atas diri sendiri dan saatnya manusia tahu betapa kita mampu, bahkan jauh lebih mampu, untuk berbuat lebih dari yang mereka tahu!" teriak wali kota di podium, yang diiringi tepuk tangan dan suitan panjang dari warganya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak itu, kota yang dikuasai kaum bertaring mengubah wajahnya. Orang-orang bekerja dari siang hingga matahari terbenam untuk mewarnai tembok-tembok, menara, sumur, tempat-tempat ibadah, jembatan, dan bangunan apa pun di seluruh bagian kota, dengan cat hitam dan kelabu. Toko-toko yang menjual sayur diubah fungsi; mereka tak makan sayur. Benda-benda tak berguna seperti piano, boneka, komidi putar, buku-buku, apa pun yang tak bisa memuaskan hasrat makan yang selalu diidap manusia serigala, dikumpulkan di pusat kota bersama sisa-sisa para mangsa yang tinggal tulang belulang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kita harus mengubur semua itu. Jika tidak, bau busuk akan terbang bukan lagi ke rumah-rumah kita, melainkan juga ke kota-kota sebelah," kata seorang di antara mereka ketika sore pertama akan berakhir.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, hari terlalu larut untuk bekerja lebih lama. Sebentar lagi matahari tak akan tampak dan mereka harus menyiapkan diri untuk penjelmaan. Bagi mereka yang tidak ingin mencari makan, mengunci diri di kamar dirasa lebih dari cukup. Tapi, sebagian di antara mereka belum puas jika belum mengelilingi dan memeriksa setiap sudut kota itu dengan mata kepala sendiri. Maka, malam itu, makhluk-makhluk ganas bertaring, yang bertampang bagai serigala tapi berbadan tegap laiknya manusia, tampak berkeliaran di sudut-sudut kota. Tak ada yang tahu kengerian macam apa yang terjadi jika saja seorang manusia biasa berada di sana.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu tidak ada manusia yang muncul dengan kesadaran jika kota itu kini dikuasai orang-orang bertaring, karena para penjaga bekerja dengan baik. Setiap orang yang memasuki kota, segera dibantai. Di siang hari, mereka dibiarkan terlebih dulu melewati perbatasan sebelum dimangsa atau dibunuh untuk dijual mayatnya kepada orang-orang bertaring yang malas berburu. Jika para pendatang melintas di malam hari, jangan harap dapat melewati batas kota, bahkan untuk sejengkal.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja, para penghuni kota yang seluruhnya membutuhkan daging manusia ini tak bisa begitu saja menggantungkan nasib perut mereka pada para pendatang yang sial. Mereka sering kali harus ke luar untuk berburu. Tak ada yang meminta buruan kepada seseorang lainnya, kecuali punya simpanan uang atau bisa memberi kepercayaan yang cukup baik kepada orang lain. Namun, kebanyakan orang lebih senang berburu dengan usaha sendiri, termasuk wali kota yang terhormat dan paling ditakuti.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Berbulan-bulan kehidupan macam itu berlangsung. Suatu hari, seseorang di sebuah perpustakaan di kota yang sangat jauh, bertanya-tanya tentang pesuruhnya yang tak juga kembali sejak dua hari lalu. Pesuruh itu gemar membaca dan dia mengira sang pesuruh tidak pulang untuk membaca beberapa buku di perpustakaan. Ternyata dia tidak pernah ke perpustakaan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Coba Anda hubungi si penjahit di kota X, di mana pesuruh Anda mengirim barang ke sana. Saya kira itulah cara yang tepat untuk mencari tahu di mana dia berada," saran si penjaga perpustakaan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Andai ada seseorang yang jauh lebih muda untuk mengantarku. Sekarang tubuhku tidak mampu bepergian jauh. Untuk itulah kusuruh pembantuku!" balas seseorang itu. Dia pergi setelah mengucap terima kasih. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada yang dipikirkan selain anak perempuannya yang begitu baik. Setiap tahun dia akan selalu mengirim hadiah untuk putrinya yang bekerja sebagai penjahit sukses di kota yang jauh itu. Kebanyakan kiriman kado diantar oleh kurir atau pembantu dengan dilengkapi surat darinya. Biasanya putrinya juga akan membalas surat itu, tapi tahun ini tidak ada balasan. Dan, pesuruh yang bertugas itu juga tidak pernah kembali.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Selama bermalam-malam, lelaki tua ini terus memikirkan tentang si pesuruh yang bodoh. Apa yang terjadi? Di suatu pagi yang dingin, dia putuskan dia sendiri berangkat ke sana, dengan kereta kuda. Tak ada seorang pun di kota ini yang bisa dipercayainya untuk sekadar mengantarnya. Orang-orang zaman sekarang terlalu banyak meminta dan cerewet, demikian pikirnya. Maka, dia benar-benar pergi seorang diri.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Perjalanan yang harusnya hanya ditempuh setengah hari itu malah molor. Si lelaki tua terlalu banyak berhenti. Dia tiba di gerbang kota saat malam telah merangkak jauh. Di pos perbatasan, tak tampak seorang pun penjaga. Hari benar-benar sepi. Udara terasa tak bergerak dan tak ada bunyi binatang malam apa pun, seakan kota tua ini diselubungi tabung waktu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba kudanya berontak dan menolak maju. Kereta si lelaki tua berputar-putar di belokan terakhir sebelum mencapai gerbang beberapa puluh meter di depan. Di pos, seorang penjaga bersabar mengamati dan bertanya-tanya korban macam apa yang kali ini dia dapat?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kuda itu, karena saking berontaknya, memutuskan tali kekangnya. Kereta terguling dan si lelaki tua tak sadarkan diri setelah terbentur kepalanya. Entah berapa lama lelaki tua itu pingsan. Dia bangun esok paginya dengan kondisi yang sangat tidak nyaman. Di sekelilingnya, aroma tak sedap menguar. Anehnya, dia bisa segera bangkit tanpa merasa sakit-sakit pada persendian dan kepalanya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa yang terjadi?” Si lelaki tua menatap kejauhan. Menara gereja tampak lusuh terselubungi kabut pagi. Orang-orang berjalan tanpa pakaian, gedung-gedung dengan tembok kelabu, dan jalanan yang tampak licin oleh cat merah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ini bukan cat," pikirnya, tapi dia tak juga berkata-kata.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ini bukan bau cat," pikirnya lagi, tapi dia masih juga diam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika melewati sebuah toko baju yang sudah lama ditutup, lelaki tua itu merasa ia tak bisa memandang tubuhnya sendiri. Dia bahkan mulai tidak yakin tubuhnya berada di sini, bersamanya. Lalu, bagaimana cara dia berjalan?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Si lelaki tua menoleh ke balik punggungnya, dan dari sanalah rahasia (setidaknya rahasia tentang kondisi aneh yang menimpa tubuhnya pagi ini) terungkap. Gunung jasad tampak basah oleh darah membumbung tinggi; dirubung lalat dan belatung di sana-sini. Si lelaki tua tidak ingin muntah sama sekali, meski jijik. Dia hanya dapat berlari dan memikirkan nasib anaknya, tapi tentu itu sudah sia-sia belaka. Bukankah dia juga sudah tewas? Kini arwahnya yang berlarian ke sekeliling kota dengan orang-orang bertaring yang terlihat malas mengenakan pakaian, seakan di malam sebelumnya terjadi pesta liar yang melahirkan sejuta dosa. [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Gempol, 2019-2020<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-64254396887096261362020-02-15T18:18:00.003+07:002020-02-15T18:18:51.647+07:00Sang Peracik<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibFKIUGidhDwMDjnuuKrSAlnazE8_l9epTS_wbhccLb4HRgFYxSmjjY0ApmrEVvN6BAzMMikcGnpHbFFJ9H0vB9GJvwoem7L8708IaUdddgXO73Vx8lz_Rv8pb2aoUvJHeZR73ucbxxtM/s1600/0+0+0+sang+peracik.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="305" data-original-width="293" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibFKIUGidhDwMDjnuuKrSAlnazE8_l9epTS_wbhccLb4HRgFYxSmjjY0ApmrEVvN6BAzMMikcGnpHbFFJ9H0vB9GJvwoem7L8708IaUdddgXO73Vx8lz_Rv8pb2aoUvJHeZR73ucbxxtM/s400/0+0+0+sang+peracik.jpg" width="384" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Padang Ekspres pada Minggu, 2 Februari 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Bertahun-tahun setelah kepergian Ali Mugeni, desa itu tidak lagi heboh oleh berita- berita hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang secara misterius tanpa ada yang tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yang membuka toko obat kulit di pertigaan, sebagai pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dengan jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dengan warga. Pada awalnya mereka hanya menganggap penjual obat itu orang kaya yang tidak bisa bergaul, namun rumah mewahnya yang kerap tertutup membuat beberapa orang mulai berpikiran buruk, apalagi setelah satu per satu gadis perawan mendadak hilang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yang biasa unjuk suara dalam tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga jika saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dari semua tokoh yang jauh lebih penting perannya dalam sejarah desa. Mudakir bilang, seseorang tidak akan menjadi sekaya itu hanya dari berjualan obat. Padahal mereka tahu, obat-obat yang dijual Ali Mugeni bukanlah jenis obat pasar yang dijual di tikar dengan <i>sales </i>ahli bual yang sering kita temui dengan janji-janji ala politikus biadab. Obat-obat itu bahkan penggunaannya tidak boleh sembarangan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Bapak ibu, kalau ingin mengonsumsi obat ini, harus puasa dulu seminggu penuh. Niatnya harus tulus. Jika ada yang bolong atau ada keraguan sedikit pun, obat dari saya tidak akan manjur," begitu Ali Mugeni bersabda dalam acara launching toko obat yang baru didirikannya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang haji yang katanya mabrur, seorang yang tak pernah dikabarkan mengalami hal-hal aneh dan memalukan di desa tersebut, yang sayangnya tak mau disebutkan nama atau ciri-ciri fisiknya, mengaku melakoni saran-saran sang penjual obat kulit, dan yang terjadi adalah keajaiban.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
"Saya bersumpah benar-benar mengikuti apa yang Ali Mugeni bilang dan obat itu kini menunjukkan khasiatnya. Tidak ada lagi gatal di sekujur badan saya. Sekarang pun saya juga sudah bisa makan ikan laut apa pun yang saya mau tanpa harus ketakutan jika alergi lama saya kambuh!" tuturnya dalam sebuah obrolan tersembunyi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Konon kabarnya, haji yang katanya mabrur itu mengidap alergi tersebut sejak dia masih bayi. Kesembuhannya adalah sesuatu yang nyaris mustahil di mata banyak warga seandainya wawancara rahasia tersebut dibaca semua orang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Obat kulit penghilang alergi racikan Ali Mugeni pun membuat heboh dan menjadi perbincangan hangat di kalangan warga yang kebanyakan memang menderita penyakit kulit, karena desa tersebut cukup jauh dari perkotaan dan belumlah banyak orang-orang yang memperhatikan kebersihan diri. Alhasil, jika Anda saat itu berkunjung ke sana, di kiri-kanan jalan, hanya akan berpapasan dengan orang-orang yang menderita borok atau kurap atau penyakit-penyakit kulit lainnya yang mustahil ditulis di sini tanpa membuat penulisnya lelah dan merasa jijik.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Segala macam penyakit kulit yang tersedia di desa itu barangkali bisa menang soal jumlah atas seluruh penyakit kulit yang tercatat dalam satu waktu di sebuah rumah sakit besar di ibu kota. Fakta ini membuat desa tersebut tidak terlalu bagus kabar beritanya di luar sana dan sangat tidak populer bagi pendatang, kecuali untuk penjual obat macam Ali Mugeni.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jika seseorang yang biasa menghirup udara bersih ditempatkan mendadak di desa itu, boleh jadi dia pingsan atau bahkan meledak paru-parunya karena saking busuknya udara yang mengitari desa. Begitu banyak warga menderita penyakit kulit yang bahkan para mantri dan dokter desa pun menyerah menanganinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Terlalu parah, Pak."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Yang seperti ini harus dibawa ke rumah sakit ibu kota."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya tidak ada alat-alat buat mengoperasi kulit Ibu."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya Tuhan, belum pernah ada yang begini!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah komentar-komentar orang-orang yang paling dianggap paham terkait kesehatan kulit di seluruh bagian desa. Warga tidak lagi menaruh harapan pada mereka, sehingga klinik-klinik kecil, bahkan puskesmas, di desa itu, lebih sering tampak kosong dan tak berguna, dan karena saking menganggurnya bangunan-bangunan itu, tak heran kalau sampai ada yang melontar candaan soal betapa lebih berfaedah jika saja mereka mengubah bangunan-bangunan itu jadi rata dengan tanah agar setiap orang bisa lebih leluasa bermain bola.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Desa tersebut memang tidak memiliki lapangan khusus untuk acara-acara tertentu seperti perayaan hari kemerdekaan Indonesia atau pengajian akbar dan semacamnya. Ia hanya ada sebagai suatu lokasi yang sepertinya tak akan mudah dicari di peta dan lebih mirip tempat penampungan orang-orang jorok dengan kulit yang kebanyakan dijangkiti bibit penyakit. Kehadiran Ali Mugeni di desa itu membuat orang-orang yang telah lama pesimis, menjadi kembali menanam harapan. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, obat kulit Ali Mugeni tidaklah gratis. Segala sesuatu ada bayarannya. Demikianlah, bagaimana akhirnya tiap individu diam-diam menanam kebencian mereka pada Ali Mugeni, dan bukan sebagian orang kaya yang berhasil sembuh berkat membeli obat kulit ajaibnya. Harusnya orang-orang kaya itu mau berbagi, tapi mereka pikir obat Ali Mugeni terlalu mahal.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Memang obat itu layak untuk kesembuhan yang dokter termahal di ibu kota pun belum tentu sanggup memberikan!" kata seseorang di antara mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ali Mugeni bukan raja! Lihat saja kelakuannya merendahkan derajat orang-orang desa kita, dengan hanya membuka toko lewat pintu berjeruji dengan jaring anti-nyamuk dan tetek bengeknya itu. Dia pikir kita ini anjing-anjing kurap?!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kita memang orang-orang yang berbahaya buat orang yang tidak menderita sakit kulit!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak itulah, sejak kebencian pada Ali Mugeni yang tertutup dan konon pelit mulai mewabah ke pikiran tiap warga, satu per satu gadis-gadis perawan dikabarkan hilang. Di desa ini, para perawan, tentu saja, meski menderita penyakit kulit, masih dapat hidup dengan gaya seperti di tempat-tempat lain tanpa minder. Sebab mereka boleh jadi hanya akan menemui jodoh yang juga menderita penyakit kulit di desa itu. Pikiran soal pergi ke desa lain tak pernah muncul di benak mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Para gadis yang berkeliaran di setiap sudut desa selaiknya di desa-desa normal lain, mungkin membuat Ali Mugeni memikirkan sesuatu. Atau, jangan-jangan, sejak awal dia memang memiliki sesuatu tentang ini? Orang-orang mulai menduga jika obat dan uang yang Ali Mugeni miliki adalah hasil kerjasama dengan setan. Obat-obat kulit itu, boleh jadi dibuat dari bagian tubuh gadis-gadis yang hilang. Obat-obat itu mungkin diracik di suatu tempat tersembunyi di dalam rumahnya yang besar dan tertutup, dengan cara-cara yang terkutuk karena harus mengorbankan nyawa gadis-gadis tak berdosa.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Keberadaan Mudakir sang vokal memperparah situasi. Orang-orang yang tadinya segan hanya untuk sekadar mengetuk pintu toko Ali Mugeni (karena bau penyakit kulit mereka dan karena tidak punya uang), mulai merencanakan sesuatu untuk menerobos ke bagian dalam rumah itu demi membongkar kekejian sang penjual obat. Entah apa saja yang digelontorkan Mudakir ke telinga orang-orang dan entah apa motivasinya, sebab ia sendiri bahkan sudah beristri, jika saja kita anggap tuduhannya yang belum terbukti itu hanya berdasar sakit hati akibat hilangnya salah satu gadis pujaan. Atau boleh jadi dia memiliki gadis simpanan? Siapa tahu?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, tidak ada yang peduli pada isi kepala seorang Mudakir, lelaki tervokal di desa yang juga sekaligus pengidap koreng yang sangat parah selama bertahun-tahun sehingga kepalanya hampir selalu dibalut oleh perban, dan jika musim penghujan tiba, perban itu kerap berubah-ubah warna sehingga membuat orang-orang yang belum pernah ketemu dengan Mudakir, berpikir jika lelaki ini mungkin kehilangan tempurung kepalanya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, beginilah yang berikutnya terjadi setelah malam-malam rapat rahasia digelar: orang-orang berpenyakit kulit berbaris menuju rumah Ali Mugeni dan mendobrak pintu dan menghancurkan tokonya dan mencuri obat-obatannya. Mereka menyasar tiap sudut rumah untuk menemukan sang tuan rumah yang kabarnya hidup seorang diri karena di masa lalu istrinya meninggal dilibas truk pengangkut susu formula. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di suatu ruang, Ali Mugeni ditemukan tidur telentang dan berteman bantal guling. Dalam posisi demikian, orang-orang yang belum menemukan bukti atas tuduhan kejam mereka itu mendapat ide; mereka menyergap si penjual obat yang terbangun oleh kaget dan membiarkannya berteriak sementara beberapa orang dengan sengaja merontokkan cuilan kulit borok mereka ke lubang mulut Ali Mugeni.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak ada yang mencatat dengan pasti siapakah dalang di balik penularan penyakit dengan cara sebrutal ini. Tidak ada juga yang mengingat seberapa lama Ali Mugeni sang penjual obat meronta-ronta karena ditindih sampai bisa melarikan diri. Yang jelas, sejak saat itu dia tidak lagi terlihat. Malam itu juga orang-orang berpenyakit kulit tidak pernah menemukan gadis-gadis yang mereka cari. Tidak ada juga jejak ritual-ritual sesat atau apa pun yang mereka sempat yakini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Meski demikian, orang-orang itu tidaklah terlalu berduka. Stok obat kulit racikan Ali Mugeni yang ajaib dianggap cukup memenuhi kebutuhan seluruh warga desa. Setiap orang mendapatkan sepaket dan, mengikuti anjuran Ali Mugeni saat itu perihal berpuasa dulu sebelum mengonsumsi obatnya, orang-orang jorok itu sembuh. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, desa tersebut bebas dari pandangan sinis orang luar. Namun, hingga kini juga belum ada seorang pun yang menganggap hilangnya para gadis bukan salah Ali Mugeni. Jikalau ada yang menulis buku sejarah tentang desa tersebut suatu hari nanti, si penjual obat hanya akan dikenang sebagai lelaki jahat yang tak pernah mendapat hukuman atas kebejatannya membunuh gadis-gadis tak berdosa. [ ]<br /><br /><i>Gempol, 2018-2019</i><br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-87220285899667332182020-02-15T18:09:00.000+07:002020-02-15T18:09:10.850+07:00Binatang di Kepala Kami<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUWGIK9xwX6ulJcPcdhuJLmskwXRX7uSvQ_RWayPKg3dsZFVMO19j1cAQkqh64VYi5FGJELuQVwG_62vhstOaWlKnSOiSfGNd37fyEySxGttswoC8dGNfSjyJRpfPDI7UhV8PXnD3fZMY/s1600/0+0+0+BInatang+di+Kepala+kami.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="233" data-original-width="281" height="331" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUWGIK9xwX6ulJcPcdhuJLmskwXRX7uSvQ_RWayPKg3dsZFVMO19j1cAQkqh64VYi5FGJELuQVwG_62vhstOaWlKnSOiSfGNd37fyEySxGttswoC8dGNfSjyJRpfPDI7UhV8PXnD3fZMY/s400/0+0+0+BInatang+di+Kepala+kami.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://ideide.id/binatang-di-kepala-kami.html?fbclid=IwAR1WexDIA92lYzbZOBuOLGw63QgsoUwe-Zdb0i5TlCGDNp0026D6cjsIZss" target="_blank">ideide.id</a> pada 29 Januari 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Kelaparan membuatnya berkelakuan seperti binatang. Ia tidak malu mencari makan di selokan. Saya kasihan dan saya bawa pulang dia. Saya mandikan dan saya beri baju. Dia diam seribu bahasa saat ditanya soal nama. Saya panggil saja Kinanti.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti menemani malam-malam yang sepi. Bersama Kinanti, saya kembali paham apa kehangatan.<i> </i>Bersama Kinanti, saya merasa surga ada sejengkal di depan. Dia tidak tahu cara menyembah Tuhan, tetapi tidak bisa diajari mengenal-Nya. Jadi, saya ajari dia tentang surga. Dia suka dengan apa yang saya sebut surga, karena surga di rumah saya ada setiap malam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Surga saya bukan surga Tuhan. Kinanti tidak paham, tapi tidak ada yang dia dapat pahami lebih dari segala yang fisiknya butuhkan sebagai makhluk hidup. Di sini dia bisa makan apa pun dan tidak perlu bayar atau kerja. Dia cukup ada saja di dekat saya setiap malam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Teman-teman mencela apa yang saya kerjakan. Masa bodoh. Kinanti toh rela. Dia bahagia mendengar bisikan saya tiap kali kami selesai menyusuri surga di kasur. Kinanti bahagia dan merasa hidup sebagai makhluk paling beruntung.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Kinanti senang melolong-lolong, lalu saya katakan kepadanya bahwa kamu bukan serigala, tetapi manusia. Kinanti tak dapat saya cegah. Ia terus melolong-lolong dan ada juga saatnya mengeong jika butuh sesuatu yang sudah mulai kami sebut surga. Kinanti memang tidak bisa bicara, namun ia mengikik geli setiap kali saya bukakan tirai surga dan di sana tertabur bunga-bunga yang membuat kami tenggelam dalam mimpi paling memabukkan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti hanya akan marah jika ia lapar dan mulai mengaduk-aduk isi kulkas dan kadang melempari gelas atau piring hingga dapur pun berantakan. Semua pembantu di sini paham Kinanti butuh semua yang membuat fisiknya bahagia, tetapi mereka tidak perlu tahu terlalu banyak binatang yang mendekam dalam kepala gadis itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saya yakin, di kepala Kinanti ada binatang. Ia, binatang aneh itu, yang mengendali tindak tanduknya, berwujud gaib. Memang begitulah kenyataannya. Di kepala manusia paling waras saja kita bisa menemukan binatang tertentu yang bisa berjumlah lebih dari satu. Binatang-binatang pengendali yang membuat pemilik kepala tidak sanggup hidup tanpa perbuatan jujur. Jujur tidak harus selalu bagus. Jujur itu cara agar tidak menderita karena tuntutan-tuntutan hidup bermasyarakat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kejujuran Kinanti, sebagai orang sinting, adalah segalanya bagi saya. Dia serahkan sepenuh jiwa kepada saya segala yang dia miliki. Setiap inci tubuhnya dia relakan untuk saya, bahkan andai mampu, nyawa pun barangkali bakalan dia beri. Semua itu karena saya memberinya makan dan surga.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Teman-teman tahu saya kesepian sejak istri saya meninggal empat tahun lalu, dan sejak itu saya tidak pernah menyentuh wanita. Melihat Kinanti di tepi jalan, berbaju apa adanya, menggoda, membuat sisa-sisa kelelakian di tubuh ini kembali menyala dan lalu menuntut balas. Dan saya membalas dengan indah dalam surga yang saya bangun untuk Kinanti.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Padahal kamu bisa membayar kupu-kupu untuk menghiburmu. Beberapa kupu- kupu untuk semalam, kukira kamu bisa. Tapi kamu tidak melakukan dan aku bersyukur karena ternyata kamu masih sehat," kata seorang teman.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saya katakan kepadanya semua itu terjadi karena saya sendiri tidak tahu. Mungkin binatang di kepala saya ketika itu menganggap bahwa ada saatnya surga saya peroleh lewat tangan perempuan tertentu, jadi binatang itu bunuh diri dan jasadnya hilang jadi debu. Ketika Kinanti datang, saya sambut dan saya jadikan dia ratu surga. Di saat yang sama, binatang lain lahir kembali dalam kepala saya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti saya dandani seakan ia perempuan normal. Sekali waktu saya ajak ke pesta, tetapi ia tidak bisa menjadi normal. Ia mempermalukan saya. Sejak kejadian itu, sangkar khusus saya bangun untuknya dan Kinanti menikmati hidupnya yang mengenyangkan dalam sangkar, tanpa mengorek-ngorek selokan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti tidak melawan dan binatang di kepalanya mulai jinak. Sesekali dia marah dan melolong-lolong seperti biasa, tetapi karena dia tahu saya orang yang memberinya segala yang dia butuhkan, maka mengeong adalah lebih baik.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kamu lebih bagus kalau mengeong, dan mengeonglah setiap hari kepadaku," kata saya. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti mengeong setiap hari dan membuat saya bahagia. Sebab, jika ia melolong, itu membuat saya tidak terlalu berhasrat. Saya hanya akan ingat pada kematian istri saya yang dirampok oleh lelaki dengan serigala di kepalanya. Saya memang tidak mengenal lelaki biadab itu, namun saya tahu begitu saja bahwa di kepalanya yang bersemayam adalah seekor serigala.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Istri saya memiliki kucing di kepalanya, sedangkan saya adalah ayam jantan. Tidak ada waktu bermesraan bagi saya, tetapi istri saya cukup romantis dan menganggap suatu tanggal bersejarah teramat sayang untuk dilupakan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Karena di kepala saya si ayam jantan tidak peduli tanggal, dan hanya peduli pada kepuasan surga, istri menganggap saya tidak menyenangkan dan ia pergi. Di jalan, ia mati dirampok lelaki asing. Sejak itu saya percaya, kadang-kadang kita harus mencari tahu dulu binatang macam apa yang mendekam di dalam kepala pacar kita. Itu supaya tidak terjadi penyesalan seperti yang saya alami.<br />Saya menggiring agar binatang di kepala Kinanti berubah wujud jadi kucing bukan karena ia bisa menjadi istri saya dan melahirkan banyak anak dan mencatat semua hal yang paling sepele; sama sekali tidak. Saya hanya ingin membuat dia sedikit lebih waras agar tidak melukai saya sewaktu kami bermain-main di surga ini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kinanti senang menggigit, seperti serigala, sehingga saya pikir ia bisa saja berbuat hal yang dapat menghilangkan nyawa saya jika dibiarkan begini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saya bilang, "Jangan gigit. Nanti aku mati!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Selalu itu yang saya katakan. Syukurlah, Kinanti paham. Meski gila, ia bisa diajari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, beginilah kisah ini berlangsung terus menerus selama ribuan tahun dan bukan hanya terkait saya dan Kinanti: bahwa para binatang berpesta pora di kepala para manusia. Semua manusia. Semua manusia yang hidup dan pernah hidup di permukaan bumi yang biru ini. Semua manusia, tak terkecuali.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dan para manusia tidak tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan dan seberapa besar dosa telah mereka kumpulkan? Mereka tidak dapat membedakan perbuatan mana yang mereka lakukan oleh pengaruh binatang di kepala mereka dengan perbuatan mana yang benar-benar datang karena keinginan diri mereka sendiri. Kadang-kadang saya pun juga begitu, tapi saya tidak peduli. Surga ada di tangan saya dan kami bermain-main di sana setiap hari. [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Gempol, 2019</i><br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, esai, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa, 2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru- Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-65404319080317894412020-02-15T18:01:00.001+07:002020-02-15T18:02:37.133+07:00Hans Jon Andersen Memakan Buku-Buku Tua<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5BR4d6ve7lF4nAuibhWg44A6RUgGwE81nnCn0jCBTNG4AKpX3qi4uuEcgZROsbq3reUFrr8cq5KuTp3SG2UvSP2n3GXijzyH7hmeedo9xvpC7VWWD9a70vAg1PbSJ4eunTSBpNZ1KSuo/s1600/0+0+0+Hans+Jon+Andersen+memakan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="409" data-original-width="353" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5BR4d6ve7lF4nAuibhWg44A6RUgGwE81nnCn0jCBTNG4AKpX3qi4uuEcgZROsbq3reUFrr8cq5KuTp3SG2UvSP2n3GXijzyH7hmeedo9xvpC7VWWD9a70vAg1PbSJ4eunTSBpNZ1KSuo/s400/0+0+0+Hans+Jon+Andersen+memakan.jpg" width="345" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://hot.detik.com/art/d-4873622/hans-jon-andersen-memakan-buku-buku-tua?fbclid=IwAR2D4WvFy0_O_qDuD0Z2KjvErLGt-Zuga2xwYp10kCrdj91_Np_UPNw82QY" target="_blank">detik.com</a> pada 26 Januari 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengarang frustrasi, sebut saja Jon (bukan nama yang sebenarnya), berbaring malas di kamar kost. Perutnya kembung karena memakan habis enam buah buku tua karangan penulis kenamaan yang tidak bisa disebutkan di sini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Buku siapa yang kau lahap?" tanya temannya, yang bukan pegiat literasi, sebab di lingkungan tersebut hanya Jon yang mendeklarasikan diri sebagai pengarang. Pengarang gagal atau pengarang tidak gagal, masih buram. Tidak penting dibahas apakah ia gagal atau tidak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apa pun itu, Jon yang mengaku pengarang merasa lebih baik ketimbang siapa pun di sini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan enteng ia menjawab, "Rahasia! Kalau kusebut dan ada orang yang dengar, lalu dikabarkan ke semua orang, bisa celaka aku."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Oh?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau terima junjunganmu kutelan?!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon tidak ingin diganggu, jadi ia usir temannya, setelah mengucap seribu kata maaf. Bukan seribu. Anda percaya seseorang mengucap seribu kata maaf di satu waktu tanpa membuat bibir jontor? Hanya karena ia pengarang, kita sebut seribu bukanlah sebuah persoalan besar, sekalipun itu cuma diucap sebanyak dua kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Maaf, ya. Saya harus tidur. Sekali lagi, maaf."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teman Jon pergi dan melupakan soal sang pengarang yang memakan habis enam buah buku tua karya entah siapa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya bukan enam buku yang Jon telan sejauh ini, tetapi lebih dari itu, kalau ia mau jujur. Sepuluh hari berturut-turut, setelah menulis cerita luar biasa (cerita yang menurutnya bisa membuat namanya naik daun), tapi gagal, Jon pikir ia kurang nutrisi. Jadi, sejak itulah ia mulai menelan buku-buku tua.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai pekerja serabutan (ini profesi aslinya), Jon butuh tenaga dan waktu banyak untuk menyambung hidup. Waktu menulis berkurang banyak. Kuliah putus, tidak punya ijazah, memaksanya kerja apa saja, yang berat-berat. Asal bisa makan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meraih cita-cita sebagai pengarang memang tidak segampang yang Jon perkirakan di awal. Waktu kecil, ia membaca buku karangan Hans Christian Andersen dan berpikir, "Suatu hari nanti akan ada Hans Jon Andersen."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Iseng ia mengatakan itu kepada setiap orang di rumah, di gang-gang, di sekolah, di tepi jalan raya, bahkan di masjid sewaktu ia mengaji; semua orang harus tahu betapa ia ingin jadi pengarang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jadi pengacara atau dokter saja enak. Duitnya banyak," kata sang bapak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon menggeleng tegas. Tidak! Dokter atau pengacara tidak terlalu keren dibanding pengarang. Ia punya pendapat kenapa pengarang buku bisa disebut lebih keren dari dokter atau pengacara, adalah karena pengarang bisa berkeliling dunia melalui tulisan. Itu sungguh pendapat agung dari tempurung kepala botak seorang bocah delapan tahun. Namun, si bapak tidak suka Jon mengganti nama. Nama bagus, yang dulu susah dicari, kok seenaknya diganti dengan nama seperti nama orang bule?!</div>
<div style="text-align: justify;">
Jon tidak peduli.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Itu rintangan pertama. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rintangan kedua: di sekolah dicap tukang tipu. Waktu disuruh membuat karangan bebas oleh guru Bahasa Indonesia, Jon menulis cerita yang persis sama dengan dongeng terkenal raja tak berbaju karangan penulis luar negeri terkenal. Teman-teman tak banyak tahu, tetapi ada satu, namanya Lili, anak pemilik rumah makan mie ayam di pasar, yang sudah baca buku-buku dongeng dari seluruh penjuru dunia, mengetahui itu. Ia lapor ke Bu Guru dan Jon batal dapat nilai seratus.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak itu, Jon pikir menjadi pengarang sangat sulit, kecuali di dunia ini tidak ada orang menyebalkan macam Lili. Ia tadinya jatuh cinta pada Lili, tapi jadi benci setengah mati. Foto gadis itu ditempel di lemari di kamar tanpa ada yang tahu, lalu setiap pagi Jon menangkap kadal untuk disodorkan ke bibir Lili dalam foto.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon begitu jengkel pada Lili. Sampai kelak duduk di bangku SMA, Lili tidak henti mengamati tingkah laku Jon, juga segala apa yang dikarangnya dan dipajang di mading sekolah. Semua tulisan Jon tidak ada yang istimewa, begitu kata Lili, juga kata seorang guru bahasa yang karyanya sering muncul di koran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jon tidak berbakat," kata guru itu dengan prihatin, “tapi semangatnya boleh ditiru oleh yang lain.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengenang itu, hari ini, Jon merasa dadanya ditusuk seribu jarum. Memang seperti itu. Seribu jarum menusuk dari dalam dan mungkin suatu hari nanti jikalau jantungnya tidak kuat, bisa menerobos keluar seluruh jarum itu. Tentu saja ia tidak mati dan masih bernapas dan merasakan lapar dan kadang-kadang kentut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di hari-hari menjelang usia tiga puluhan, Jon merasa kegagalan memeluknya erat dan menyetubuhinya tiap menjelang subuh. Saat itu, kepalanya pusing bagai digodam berkali-kali oleh iblis dari neraka. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"He, Jon! Kapan bangun? He, pengarang kacangan!" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dasar laknat. Ia seakan melihat iblis itu memanggul palu besar dan menghantam kepalanya berulang kali, yang anehnya tidak pecah. Kepala itu terus membengkak dan membengkak sehingga ketika Jon berdiri, ia memandang dunia dengan kepala orang lain. Seakan-akan iblis itu ahli anestesi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di hari entah yang ke berapa ribu, Jon putus asa, padahal di lingkungan sini tidak ada satu pun pengarang seperti Lili. Ya, gadis busuk itu sudah jadi penulis besar hari ini. Semua bukunya <i>best seller</i> dan laku keras bagai kacang goreng. Jon cemburu berat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kalau bukan karena Lili, hidupku sudah makmur." Ia terus berpikir begitu dan tak henti percaya pikiran itu. Kalau bukan karena diprotes Lili semasa SD dulu, ia pasti di puncaknya pada hari ini, jadi penulis kenamaan setara Hans Christian Andersen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Mari kita sambut, penulis zaman baru yang luar biasa, Hans Jon Andersen!" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia bayangkan orang-orang di tepi panggung kadang tak memanggilnya Hans Jon Andersen, melainkan Haji Jon Andersen; mungkin karena terlalu goblok atau kurangnya pengetahuan soal sastra modern. Apa pun itu, tidak salah juga panggilan tersebut. Jon yang sukses dari segi materi sudah pergi melihat Ka'bah berkali-kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon di realita memang sering melihat Ka'bah via kalender. Amat banyak kalender bergambar Ka'bah. Bahkan, jam dinding dan poster banyak yang bergambar Ka'bah. Hatinya sakit. Setiap jam, jumlah jarum di tubuhnya seakan bertambah sepuluh biji.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bertambah sakit kalau ingat bapaknya di kampung yang mengutuk habis-habisan sebab Jon gagal melanjutkan kuliah. Dasar anak tak berguna. Kalimat Bapak terngiang, sehingga terkadang, di suatu subuh, ia tahu bapaknyalah yang memegang godam, bukan iblis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di kamar kost ini, selepas bekerja sepanjang hari, Jon sering menjajal menulis satu atau lebih cerita pendek yang diharapkannya hebat. Tapi, tidak satu pun berhasil sejak sepuluh hari terakhir. Sebelum itu hampir selalu berhasil, hanya saja tak pernah dapat kabar, kecuali penolakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu malam ia putus asa, tepatnya sepuluh hari yang lalu. Jon mulai menyobek satu per satu lembar buku entah karya siapa, yang sangat tua dan lapuk dan sebagiannya digerogoti rayap. Buku tersebut sampulnya ternoda tahi cicak. Jon membeli dari toko buku bekas di kota, dan mengira ia butuh nutrisi. Sobekan itu ia kunyah perlahan dan perlahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dengan menelan karya-karya besar ini, aku juga bisa sebesar mereka."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mula-mula Jon mual, karena kertas yang sudah tua dan lama dipendam di rak yang juga usang, baunya memuakkan. Dengan seteguk air, satu kunyahan masuk juga. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikian seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon menghabiskan buku pertama semalam. Besoknya, ia sebetulnya masih kenyang, jadi melahap setengah buku cukup. Lalu besoknya lagi Jon tidak perlu hitungan; intinya, ia harus tetap melahap habis semua buku, entah karangan siapa, ia tidak peduli. Dalam sepuluh hari, enam buku tebal tandas. Jon kekenyangan, tetapi perutnya kembung dan ia lemas. Temannya tahu Jon tidak nongol dan tidak kerja seperti biasa, jadi ia datang menjenguk. Ketika menemui Jon berbaring lemas, sang teman merasa, "Orang ini sudah waktunya." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jon belum mau mati. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku percaya kebenaran berpihak padaku setelah lebih banyak buku kutelan!" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena tak punya tenaga lagi, ia titip kepada sang teman ini untuk membelikannya buku-buku lain sebagai bekal menulis. Jon yakin, setelah krisis ini, ia pasti bisa menulis dengan lancar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap malam temannya kembali membawa setumpuk buku. Jon masih melahapnya dengan tenang, dan tanpa punya kesadaran betapa tubuhnya mulai lemah dari waktu ke waktu. Suatu malam, ia tidak kuat menggerakkan tangan untuk merobek halaman buku "Senja dan Cinta yang Berdarah" karangan Seno Gumira Ajidarma. Ia minta temannya menaruh buku tersebut di kepalanya sebagai bantal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Biarkan aku tidur dengan caraku," katanya. "Siapa tahu, waktu tidur begini, nanti ada malaikat lewat dan menjatuhkan serbuk ajaibnya padaku, dan berkata, 'Wahai, Jon, jadilah pengarang besar seperti orang yang bukunya kamu jadikan bantal!' Dan, wush... saya pun jadi pengarang besar!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana Jon mati. Yang pasti, pengarang gagal ini di akhir hidupnya sempat meminta dikuburkan jauh dari kampung halamannya. Jika saja tidak merepotkan, ia meminta seseorang membuatkan obituari dan mengurus proses pemakaman ala pahlawan seperti yang sering ia lihat di film-film.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu tidak ada perlakuan begitu, karena Jon bukan pengarang sejati dan ia tidak bisa menulis cerita dengan jujur, kecuali meniru cerita orang, atau lebih tepat: menjiplak karya orang. Ia tidak bisa menerbitkan cerita jiplakan, sekalipun pintar mengubah nama tokoh, sebagaimana kelakuannya semasa kecil saat mengubah nama sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Demikianlah, Jon, pengarang yang tak tercatat dalam sejarah, mengakhiri hidupnya dengan menelan empat puluh lima buku karangan penulis-penulis dunia. Cerita ini tidak dimuat di media massa, karena—sekali lagi—ia bukan pengarang sejati. Ia terkisahkan hanya karena sayalah yang melihatnya menelan buku-buku itu dengan mata kepala saya, dan sayalah yang menaruh buku tebal tersebut di bawah kepalanya yang seperti telur bebek. [ ]</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Gempol, 2016-2020</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-34623240700633646412020-01-23T00:46:00.001+07:002020-01-23T00:46:21.231+07:00Meja Nomor 17<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrlsKawlFQcRtniHGN-HErEPeC81IIIk3KWXqIjmIX9hM-RukQw2QMJMXsHtfVNqHi3QcsJVGy66M_XRuVFtq3iskSW9GzVDfacp1TsBWywO8YYLVs-_eabam0LBZRRYRMOcvgiIrkNXU/s1600/0+0+0+Meja+Makan+no+17.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="157" data-original-width="219" height="286" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrlsKawlFQcRtniHGN-HErEPeC81IIIk3KWXqIjmIX9hM-RukQw2QMJMXsHtfVNqHi3QcsJVGy66M_XRuVFtq3iskSW9GzVDfacp1TsBWywO8YYLVs-_eabam0LBZRRYRMOcvgiIrkNXU/s400/0+0+0+Meja+Makan+no+17.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Majalah Rubana edisi 02/Januari 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Pada akhirnya semua selesai. Cinta lahir hanya untuk selesai. Joe, pacarku yang malang itu, hari ini selesai. Daun-daun berguguran, dua cangkir teh sore hari, surat cinta, kartu pos dari negeri antah berantah. Semua selesai tanpa sisa. Tidak ada lagi yang bisa kutunggu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Sejak aku sendiri," kataku pada Joe tempo hari, "hingga memadu kasih denganmu, dia sudah ada. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa kekasihnya atau apakah dia masih sendiri?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Jangan-jangan sudah menikah?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bisa jadi!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Senyum pencegah bunuh diri. Begitulah kunamai senyum si pelayan. Hafal jadwal kunjunganku, pelayan itu menyambutku dari balik pintu dan mempersilakanku duduk pada meja nomor 17 di pojok. Seminggu dua kali aku ke sana. Meja nomor 17 kupesan secara tak langsung dari tingkah gugupku. Barangkali terdapat alat pendeteksi di kepala pemuda itu sehingga paham ada sesuatu yang harus diperbaiki di diriku, salah satunya dengan pemandangan bagus dari meja istimewa ini.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Dari sini kau dapat melihat pemandangan jalanan kota yang indah. Lampu segala warna, toko-toko, penjaja segala jenis makanan. Dari simpang siur keramaian manusia aku bertemankan sepi. Ini terjadi sebelum Joe ada. Aku berpikir apakah Tuhan sengaja mengirim pelayan ini untukku? Apakah sebuah rencana telah Dia rancang untukku dan dirinya?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam senyumnya, pelayan ini menarikku dari lingkaran putus asa untuk bangkit dan memulai cerita baru; mengakhiri masa lalu yang selesai tapi kupungkiri. Tunangan yang kurindukan pergi dan tak pulang-pulang. Apa kami harus berakhir bahkan sebelum hari pernikahan dilangsungkan?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kukira kau masih ada di titik terbawah ketika itu," kata Joe, sewaktu aku berkisah tentang tunanganku yang hilang, "tapi, peran pelayan itu di masa penangguhan jiwamu patut dipuji."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kami tersenyum pedih. Penangguhan yang memalukan. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku ingat dahulu kulingkari setiap tanggal di kalender, menghitung mundur waktu terjauh kenapa aku harus menunggu tunangan yang hanya pergi membawa janji? Lalu Joe datang ketika itu, di musim saat cangkir demi cangkir teh yang kupesan selalu terasa dingin dan tak sempat kuminum sebelum akhirnya aku pergi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Si pelayan tentu saja senang. Barangkali ia mengira bahwa selama ini aku murung menunggu Joe. Tapi toh baik dia maupun karyawan lainnya, yang sudah pula hafal pada diriku, tidak terlalu berminat ikut campur urusan orang. Sejauh ini, kedekatanku dengan si pelayan sebatas lewat bagaimana dia menyambutku dengan tersenyum saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe, sebagaimana pemuda umumnya, punya daya pikat. Ia kaya, namun tak pernah menuhankan uang. Ia gagah, namun pendiam. Hanya karena tak ada bangku kosong lain saja ia lalu terpaksa duduk semeja denganku, yang kelak sama sekali tidak kami sesali. Mula-mula kami berteman. Senyum si pelayan, ditambah gairah hidup Joe yang begitu menggeliat (meski dia mengidap penyakit rahasia, yang konon membuatnya mati 3-4 tahun mendatang), jiwaku seakan terjun ke sebuah kepastian.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku belum menyadari kepastian selesainya segala sesuatu. Kukira tidak ada yang selesai sampai Joe benar-benar membangun istana istimewa di hatiku, lalu sesudah itu ia menungguku di suatu tempat bernama surga. Janji dibentuk—atau dimulai—tanpa kami sadar bahwa Tuhan diam-diam punya rencana lain.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe jatuh dalam kecelakaan. Kepalanya terbentur dan ia koma. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hari berikutnya aku terus murung. Bahkan senyum pelayan itu tidak sanggup mendamaikanku. Senyum itu seakan-akan terlempar ke alam lain yang tak bisa kucapai untuk sementara waktu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Adakalanya suatu hal selesai secara tiba-tiba, lalu kau merasa aneh akan perubahan itu. <br />Kekecewaan, misalnya, boleh jadi serupa penyakit menular yang dapat merayap di udara. Kubayangkan hawa buruk kesedihanku menguap dari air mata yang menetes satu demi satu ke permukaan salah satu cangkir teh yang sudah dingin. Ia serupa asap hitam, hanya terlihat pemuja cinta. Melayang-layang, sebelum menyergap si pelayan dan sejak itulah senyum teduhnya selesai.<br />Tak ada warna lagi di hidupku. Satu demi satu selesai, atau mungkin memutuskan selesai sebelum akhir yang ditentukan tiba. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jalanan kota menjadi abu-abu seiring tetes air mataku. Nyala traffic light seragam di tiga titik; kelabu, kelabu, kelabu! Lampu-lampu di suatu pesta perayaan kemerdekaan seakan padam dan yang terlihat hanyalah: kelabu, kelabu, kelabu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Segala-galanya sungguh menjadi kelabu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku belajar kepastian selesainya segala hal di alam semesta selama menunggu Joe bangun. Ia tidur dengan tenang. Napas lembut mengalir masuk ke hidungnya, keluar melalui mulut. Terkadang apabila rinduku tidak tertahan, diam-diam kubelai wajahnya dan kurasakan napasnya menggerayangi wajahku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di rumah sakit itu kematian demi kematian terjadi. Operasi-operasi besar dengan risiko bertaruh nyawa telah membuatku sadar bahwa segala yang dimulai wajib selesai. Termasuk kecelakaan demi kecelakaan yang merenggut korban nyawa dengan berbagai cara.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kubayangkan wajah-wajah murung lain yang kehilangan orang terdekat. Sempat berharap Joe jangan selesai dulu. Biarlah kematian untuknya tertunda sampai entah tak tahu berapa lama lagi. Biarlah ia bangun dulu dan kami menikah lebih dulu, lantas aku mengandung dan melahirkan bayi-bayi mungil nan lucu darinya terlebih dahulu. Biarlah dia melihat para bayi itu tumbuh terlebih dahulu sampai beberapa tahun. Barulah setelah itu, penyakit ganas yang diidapnya, boleh saja mengambilnya dariku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi takdir berkata lain.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe selesai hari ini. Tubuhnya tidak lagi terasa hangat. Wajah dan telapak tangan bagai es batu. Aku tidak bisa diam-diam merayap di sana dan membenamkan anganku jauh; bahwa kami bersama oleh cinta dan berpisah oleh cinta suatu saat nanti. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, cinta bisa selesai tanpa diminta. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku hanya berdiri pasrah di kejauhan, sebagai bukan siapa-siapa. Seluruh anggota keluarga Joe menangis tersedu-sedu di tempat yang lebih dekat. Aku di tempat yang agak jauh.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setampan apa dia di saat terakhirnya?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
***<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe ingin aku tidak usah menunggu dalam sia-sia.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kamu harus bangkit dan menatap jalan di depan. Jangan sekali-kali menoleh ke belakang, karena itu tidak akan menjamin kebahagiaanmu di masa berikutnya."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Nasihat Joe benar-benar menusukku. Aku malu mengakui. Selama kunjungan dua kali seminggu ke kafe itu, ada kabar dari sepupu bahwa tunanganku telah memiliki istri dari kampung asalnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kamu perempuan baik-baik. Tinggalkan buaya darat itu! Cari yang lain, biar tidak menyesal," kata Joe.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu kukira sepupuku sedang cemburu dan tak mau hidupku bahagia. Keegoisan dan kecintabutaanku membuatku rela menunggu meski bukti-bukti perselingkuhan itu ia tunjukkan.<br />Sepupuku bahagia mendengar kedekatanku dengan Joe dan itu jelas membuatku batal bersama dengan si buaya darat. Ternyata yang dia bilang memang nyata. Bersama Joe, aku mampu bangkit. Aku duduk di pojok dan Joe di depanku. Kami bertatapan di meja nomor 17, di suatu sore yang syahdu, berlatar pemandangan jalanan kota di luar jendela persis di sebelah kami.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe dan aku mencintai dalam rasa sepi. Tak ada ucapan, tak ada rayuan gombal. Hanya sepucuk surat cinta, itu pun berisi tidak lebih dari dua kalimat: "Aku cinta kamu. Mungkinkah suatu hari nanti kita menikah?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Joe memang kaku, tapi aku mencintainya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Rencana pun kami rancang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Seharusnya aku menunggu dengan debar di kamar bahwa sebentar lagi Joe ada di sisiku sebagai suami. Seharusnya aku tidak menunggu sampai senja dilibas malam di pekuburan, dekat gundukan merah berisi jasadnya yang kaku dan pucat. Tapi, sekali lagi, aku sadar segala yang di bumi memang semestinya akan selesai jika waktunya tiba. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Apa kini aku pun juga harus selesai?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
***<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dua cangkir teh kembali kupesan, tanpa iringan senyum dari sang pelayan. Ia tetap mempersilakanku, tetapi kurasa kemurungannya belum akan selesai dalam waktu dekat, andai tak kusapa ia lebih dulu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa kabarmu?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Baik, Kak."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dua cangkir teh hangat siap di mejaku. Ia bertanya basa-basi untuk siapa cangkir kedua. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kujawab, "Untuk jalan baru, cerita baru yang harus dimulai." Tanpa sungkan aku meminta izin <i>manager</i>-nya untuk mengajak pemuda itu duduk bersamaku, menemaniku minum teh.<br />Kutatap mata buramnya, yang kini bercahaya. Joe benar. Segala sesuatu pasti akan mati. Namun, bukan berarti mereka yang belum selesai harus mati. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku pun mengenang ucapan terakhirnya, "Tuhan memberimu kehidupan baru saat kamu kesepian, dari hal sederhana. Barangkali agar manusia tidak gampang menyerah." [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Gempol, 2015-2019</i><br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-277146820066699592020-01-23T00:40:00.001+07:002020-01-23T00:40:47.923+07:00Janji Temu Tino<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgazrnA7hSvjLzEKrP1qA1VR5uPyTg5bTpgVngmzOZcdrQOOkyUlJ2dURD7IQdv1joeI5wPabMwO5S4felyAA92rzEODaH1Wm1mMoP5q0W6rO8tGFIuhErwV_gyi8Uuzm067aOR54SAbgU/s1600/0+0+0+Janji+Temu+Tino.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="111" data-original-width="171" height="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgazrnA7hSvjLzEKrP1qA1VR5uPyTg5bTpgVngmzOZcdrQOOkyUlJ2dURD7IQdv1joeI5wPabMwO5S4felyAA92rzEODaH1Wm1mMoP5q0W6rO8tGFIuhErwV_gyi8Uuzm067aOR54SAbgU/s400/0+0+0+Janji+Temu+Tino.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 6-12 Januari 2020 (No. 1663/XXXII))</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Banyak yang Maria persiapkan untuk menghadapi pertemuan dengan mantan pacar di masa lalunya. Dia benar-benar harus tampil sempurna. Dengan sengaja dia ke suatu butik dan memesan busana. Dia juga pergi ke salon, sebuah tempat yang entah berapa lama tidak ia sambangi. Seluruh persiapan ini terasa mentah saat Maria sekali lagi menatap cermin dan. Dia yang sekarang tidak sama dengan dirinya yang dulu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Untuk apa Tino secara tiba-tiba meneleponnya dan meminta bertemu? <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria tidak tahu itu. Dia bahkan tidak mendengar kabar Tino selama sepuluh tahun terakhir ini. Dia tidak lagi ingin melihatnya saat mendapati lelaki itu selingkuh dengan sahabat dekatnya sendiri. Dulu mereka terlalu muda. Barangkali Tino kini sadar tidak ada perempuan lain yang ditakdirkan untuknya selain Maria.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Benarkah demikian?<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Maria tak ambil pusing. Tepatnya, tak ingin ambil pusing, meski tentu saja tiada henti dia bertanya-tanya dalam batin tentang motif Tino kembali ke kehidupannya saat ini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dapat dikatakan, hidup Maria tidak pernah benar-benar lurus selama sepuluh tahun terakhir. Ada begitu banyak kejadian yang membuatnya berulang kali percaya betapa hidupnya tak lagi ada artinya. Hanya karena segelintir orang di sekitarnya sajalah yang tidak membuatnya segera hengkang dari dunia ini. Beberapa kali Maria menjajal bunuh diri, tetapi selalu gagal. Ketika akhirnya dia sadar betapa usaha-usaha itu sia-sia belaka, Maria menjalani hidupnya dengan nyaris tanpa gairah sekaligus tanpa keinginan untuk segera mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pada titik ini, hidupnya benar-benar sama seperti seekor kupu-kupu atau burung atau kelinci atau binatang liar jenis apa pun yang hidup sebagaimana mestinya dan mati dengan cara-cara yang Tuhan tetapkan. Tak ada ambisi mengejar apa pun, dan inilah yang membuatnya tak pernah merawat diri.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bagaimana reaksi Tino melihat tubuhku yang melar ini? Apa yang dia bilang soal bopeng-bopeng bekas jerawat di seluruh wajahku?" tanyanya di depan cermin.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria ingat masa-masa sulitnya beberapa tahun silam setelah pada suatu malam sekelompok laki-laki membuatnya mengira akan mati pada usia yang sangat muda. Saat itu, detak jam terasa begitu aneh; seakan-akan segala yang ada di dunia ini membeku dan detak jarum arloji yang dia kenakan bergema-gema di udara selagi tubuh-tubuh itu menindihnya. Pulang dari insiden itu, Maria tidak berbicara pada siapa pun selama satu tahun penuh dan selama itu pula dia sempat dirawat di sebuah rumah sakit yang khusus menangani orang-orang dengan problem kejiwaan. Ibunya sangat terpukul dengan apa yang menimpa sang putri hingga sakit dan meninggal dunia.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria yang dikenal sangat dekat dengan sang ibu, bahkan tak berminat menghadiri upacara pemakamannya. Fakta itu, di mata sebagian besar orang yang mengenal mereka, menyatakan betapa hancurnya kewarasan Maria. Barangkali itu tak akan sembuh.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun demi tahun berlalu begitu saja. Bayi demi bayi lahir satu per satu di keluarga besar Maria, tetapi tak satu pun memunculkan niat di hati perempuan ini untuk segera membuka hatinya bagi beberapa lelaki yang bersedia memperistrinya. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria tidak lagi dapat merasakan cinta. Dia percaya sampai tua dan mati hidupnya akan terus begini. Pada masa inilah dia kerap mencoba menghabisi diri sendiri. Orang- orang lalu sadar dan memutuskan untuk tidak lagi mendesak atau menjodohkan Maria dengan lelaki mana pun. Mereka mengalah dan membiarkan Maria memilih cara hidup yang dia senangi. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, begitulah. Usaha-usaha bunuh diri berakhir, dan Maria hidup seperti segala yang mungkin dapat para satwa perbuat, tetapi tentu saja dia jauh lebih pasrah dan tak berambisi ketimbang siapa pun. Dia tak pernah mementingkan dirinya sendiri dan mulai bekerja di sebuah rumah makan milik sepupunya demi mengisi waktu. Uangnya hanya ditabung entah untuk apa, dan sebagian malah diberikan begitu saja untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu Tino meneleponnya, secara mendadak ada lonceng besar berdentang persis di kepala Maria. Pertanda apakah ini? Tidak tahu kenapa hatinya malah berdebar-debar tak keruan. Dia lalu sering bercermin. Dia ingin tampil sebaik mungkin di depan lelaki yang dulu pernah membuat hatinya hancur. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun demi tahun lewat, Tino perlahan tak ubahnya sekumpulan debu yang dapat hilang diembus angin dan tak lagi tersisa sebutir pun. Begitu lelaki itu kembali, butiran debu tadi bersatu padu menjadi sebongkah patung bernyawa yang akhirnya membuat hati Maria kembali bimbang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pada akhirnya, setelah berusaha sebaik mungkin agar saat mereka bertemu nanti ia tak mempermalukan dirinya sendiri, Maria menyerah. Ia tak akan kembali seperti dulu lagi. Ia tak akan secantik dan semenarik dulu. Sudah pasti Tino akan kecewa melihatnya dan membatalkan seluruh niatnya untuk memperistrinya. Benarkah laki-laki itu tiba-tiba saja datang untuk hal itu?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria tentu ingat dirinya pernah begitu bermasalah. Sampai detik ini, dia kerap merasa belum ada yang beres di kepalanya. Dia pun menangis semalaman dan berpikir untuk membatalkan janji temu dengan Tino. Dan dia benar-benar melakukan itu besok paginya. Tak ada yang diucapkan Tino di seberang telepon. Lelaki itu cuma diam, dan yang dapat terdengar oleh Maria hanya embusan angin samar-samar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hari yang berlalu setelah itu menjadi buruk bagi Maria. Dia tak lagi berangkat kerja. Dia mengurung diri di kamar selama dua hari sampai membuat beberapa orang curiga penyakit jiwanya kambuh lagi. Setelah diperiksa, ternyata wanita itu masih hidup dan baik-baik saja. Maria hanya berbaring di tempat tidurnya sambil membaca sesuatu. Ketika ditanya apa yang terjadi, dia hanya bilang sedang malas keluar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Demi tidak membuat orang-orang cemas, Maria terpaksa kembali bekerja, tetapi justru pikirannya yang terus teralihkan ke sosok Tino membuat pekerjaannya jadi tidak beres. Para pelanggan rumah makan dibuatnya kesal dan akhirnya Maria minta izin libur sebulan penuh. Tidak ada yang dapat dikatakan oleh sepupunya selain memberinya apa yang Maria minta.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Selama libur inilah, beberapa kali Tino meneleponnya, tetapi tidak pernah Maria angkat. Setelah usaha ke sekian, mereka pun tersambung kembali dan Tino, dengan cara yang sulit dibayangkan, memohon-mohon agar Maria sudi menemuinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ini penting," katanya. "Pokoknya kita harus ketemu."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Baiklah."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka pun kembali merancang tempat dan waktu, lalu pada hari yang ditentukan, tanpa persiapan apa pun, Maria datang begitu saja. Tino yang terlihat masih awet muda dan tampan, bukan heran, malah menyambut Maria dengan hangat dan penuh perhatian. Tentu saja perempuan itu tidak mengerti maksud Tino, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menanyakan soal itu. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka hanya duduk saja. Taman kota yang lama tak dipugar itu, pada jam delapan malam sudah cukup sepi. Hanya terlihat beberapa pasangan di kejauhan sana yang jalan dan bergandengan tangan. Mereka tak bicara apa pun selama beberapa menit.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tino, setelah tersenyum sembari mengamati wajah Maria dengan teliti, akhirnya bersuara juga. Dia bilang betapa rindunya dia pada Maria dan betapa dia mendadak saja teringat dosanya pada perempuan itu di masa lalu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tino tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia lalu meraih tangan Maria, lalu mengajaknya pergi dari situ. Mereka berjalan entah sejauh apa hingga tidak terasa Maria melupakan kekesalannya pada Tino. Mendadak saja dia yakin Tino memang ada di sini untuknya. Dan barangkali saja sebentar lagi mereka akan membangun sebuah keluarga.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Benarkah?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu mereka tiba di tepi rel kereta api, Tino mendadak menghentikan langkah. Ia bilang, kereta sebentar lagi akan datang dan dia harus pergi untuk beberapa saat. Maria bertanya, untuk apa dia pergi? Bukankah kedatangannya kemari agar mereka kembali ke masa lalu? Kembali menjalin hubungan yang dulu sempat rusak?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Tentu saja begitu. Tentu saja," sahut Tino dengan tenang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tino tidak menjelaskan apa pun ketika kereta akhirnya tiba, dan pergi dengan cara yang amat aneh: melompat ke celah antara dua gerbong sehingga membuat Maria kaget dan mengira lelaki itu mungkin sudah sinting karena mengumpankan tubuhnya kepada sebuah kereta yang melaju sangat kencang. Tetapi, Tino tampaknya baik-baik saja. Dia bisa melambai dari celah di antara dua gerbong tadi dan secara perlahan lambaian itu pun hilang ditelan jarak dan pekatnya malam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah pertemuan itu, Maria pun kembali bergairah. Hidupnya seakan kembali ke masa jauh sebelum Tino meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Ia berasa dirinya masih seorang gadis SMA yang penuh semangat hidup dan harapan untuk masa depan. Tentu ini membuat orang-orang di sekitar Maria ikut senang. Mereka bertanya-tanya apa yang membuatnya berubah begini. Maria tak bisa menjelaskan selain hanya tersenyum.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu ketika, Tino menelepon lagi dan meminta izin untuk berkunjung langsung ke rumah Maria. Wanita itu memberinya kebebasan datang kapan pun. Tetapi, Tino masih merasa bersalah atas masa lalu mereka, sehingga rasa malunya pada keluarga Maria tak juga kelar. Dia bilang, "Bolehkah kita bertemu berdua saja tanpa keluargamu ketahui?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Boleh kalau memang itu yang kamu inginkan."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
***<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Malam itu Tino memang datang. Dan, malam itu Maria berdandan dengan sangat cantik. Ia kembali ke salon dan mengenakan baju yang beberapa bulan lalu dibelinya di butik. Mereka bertemu di rumah milik orang tua Maria, yang kini ditempatinya seorang diri karena sang ayah tiada dua tahun yang lalu. Saat itu, secara tidak sengaja seorang sepupu datang untuk mengantar sesuatu pada Maria. Ia melihatnya duduk seorang diri dan berbicara seorang diri dengan wajah yang begitu cerah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak itu, tak ada lagi yang menganggap Maria benar-benar sembuh. Namun, tak juga ada yang tega untuk membawanya kembali ke rumah sakit khusus yang justru membuat hidup Maria semakin jauh dari realita. [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Gempol, 2014-2018</i><br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-56214837238393499962020-01-23T00:29:00.002+07:002020-01-23T00:29:53.482+07:00Sepeninggal Penulis Cerita yang Menjadi Gila<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaoK0TlDgotPKcazQBzxSfBotgyma8ZNz_GDGy_L5gXmsKIL55ViKrNOqq2czJhTE85z-DdngY-bb-ao7ZloDOcHfY7Sts-C8wfX6YGQY3jzaLDaAiG2-d0XPm_MfD68ryxUoEj04WSRw/s1600/0+0+0+Sepeninggal+Penulis+Cerita+yang+-+-+-.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="238" data-original-width="178" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaoK0TlDgotPKcazQBzxSfBotgyma8ZNz_GDGy_L5gXmsKIL55ViKrNOqq2czJhTE85z-DdngY-bb-ao7ZloDOcHfY7Sts-C8wfX6YGQY3jzaLDaAiG2-d0XPm_MfD68ryxUoEj04WSRw/s400/0+0+0+Sepeninggal+Penulis+Cerita+yang+-+-+-.jpg" width="299" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://kompas.id/baca/sastra/cerpen-hiburan/2020/01/02/sepeninggal-penulis-cerita-yang-menjadi-gila/?_t=e45kxwL2nQfpk5zbBnlEC0u2WQAjPZXRQsrUsjph6z4k9LkcUPB9VKajOOqfIkj#_=_" target="_blank">kompas.id</a> pada 2 Januari 2020)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Barang-barang bekas di gudang yang pernah ditiduri Sapono sudah aku singkirkan. Aroma gudang ini sungguh terasa menyesakkan, bukan hanya karena seseorang pernah tinggal di sini dengan segala kekhasannya, tapi juga peristiwa hadirnya sosok itu.<i> </i>Kini, tak ada lagi jejak lelaki sinting itu di sini. Sebenarnya dia tak pernah membuat masalah dengan atau tanpa keberadaanku di sini. Sapono selalu menyenangkan bagi anak-anak dan tentu bagi istriku, yang tak lain kakak kandungnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Istriku tidak tega membiarkan Sapono hidup sendiri sejak orang tua mereka tiada. Setelah proses pemakaman orang tuanya, ia mengajakku bicara di kamar. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Sapono harus di sini, karena kalau dia hidup sendirian, bisa-bisa dia buat masalah besar," kata istriku dengan hati-hati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mulanya aku tidak setuju. Ada seorang lelaki bujang, umur tiga puluhan, tak terlalu waras, tiba-tiba ditampung di rumah kami, yang dihuni dua anak kami. Bagiku, merawat dan menjaga anak-anak tidak bisa sembarangan. Termasuk juga tidak bisa menyatukan mereka dalam satu atap dengan seorang paman yang tidak lagi waras.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Perdebatan panjang terjadi beberapa hari antara aku dan istri, tetapi kami berdua tak sampai bertengkar. Kami hanya adu argumen tentang apa manfaat dan kerugian dari keputusan yang bakal kami ambil nantinya. Setelah empat malam berdebat, diputuskan Sapono bisa tinggal di rumah kami.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak pernah mempersoalkan kehadiran Sapono, kecuali cemas bahwa saudara iparku itu memberi pengaruh buruk ke anak-anak. Tapi, semua ini sekadar ketakutanku dan kuharap saja tidak ada sesuatu yang terjadi nantinya. Tak ada tindakan Sapono yang membuat anak-anak berubah, sebab iparku itu tidak pernah berbuat aneh-aneh di depan mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sapono malah sering membacakan dongeng untuk anak-anak, yang kadang-kadang dia karang sendiri, entah bagaimana caranya, sehingga di beberapa poin terdengar lucu oleh anak-anakku dan mereka sangat senang dengan kehadirannya. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kata istriku, "Dia dulu sempat bercita-cita jadi penulis. Sayangnya, apa yang sudah diusahakan tidak berhasil. Ditambah ditinggal kawin pacar, akhirnya jadi gila."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sapono memang sudah gila sejak sebelum aku menikahi kakaknya, sehingga tidak ada sesuatu pun yang kutahu tentang penyebab lelaki itu menjadi gila. Cerita-cerita dari istriku ini terkumpul dalam kepala dan semakin lama melahirkan rasa iba padaku. Aku tidak lagi cemas pada Sapono, sekalipun sesekali ia tidur di ruang tengah yang mana juga terkadang jadi tempat bagi anak-anakku menonton TV sampai ketiduran.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Seorang yang dulunya waras, yang mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis, sehingga bakal mampu menikahi sang pacar demi kehidupan yang sempurna, tentu saja, jika suatu hari menjadi gila, tidak terlalu berbahaya kalau dibanding dengan orang yang gila karena melihat kejadian-kejadian terkait kematian dan darah. Aku tidak paham teori macam ini, tapi aku yakin saja bahwa Sapono memang tidak membahayakan keluargaku. Kegilaan karena ditinggal cinta, buktinya membuat ia begitu lembut dalam menanggapi permintaan anak-anakku akan dongeng.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ayo, Paman, cerita lagi yang lucu-lucu!" desak mereka. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sapono menjawabnya dengan meminta mereka belajar lebih rajin supaya mendapat ranking satu, sehingga kemudian akan dia bacakan cerita karangannya yang paling lucu sejagat raya. Bagaimana itu tidak bisa kusebut lembut?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, keberadaan Sapono di rumah, yang sudah mulai tidak kucemaskan ini, menjadi berbalik ke kondisi semula setelah suatu pagi laki-laki itu bertemu perempuan cantik di tepi sungai dusun.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak kenal perempuan cantik itu, karena dia memang warga baru, tetapi orang dusun bilang, "Saya pikir dia bidadari. Tapi, bidadari kok setiap hari belanja tahu tempe dan sayur asem! Begitu dikonfirmasi ... wah, wah, ternyata dia manusia yang wajahnya bagaikan bidadari!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Semua orang tahu sebenarnya perempuan cantik itu sudah bukan perawan. Ia tidak hidup bersama seorang lelaki lagi, karena suaminya meninggal dua atau tiga tahun silam, saat berdinas sebagai pilot. Jadi, kepindahannya ke sini adalah demi menjalani hidup damai dan melupakan kesedihan akibat ditinggal suami mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Perempuan cantik itu juga belum punya anak dan tinggal di rumah berdua dengan pembantu yang tugasnya mengurusi rumah, tidak termasuk pergi berbelanja kebutuhan dapur. Kata warga yang mulai mengenalnya dengan baik, si cantik itu memang senang memasak, sehingga tugas apa pun selain memasak, barulah digarap pembantunya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya tidak bisa masak kalau bukan hasil masakan saya sendiri," begitulah katanya suatu ketika.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Nah, perubahan Sapono terjadi setelah dia bertemu secara tak sengaja di tepi kali, saat perempuan cantik tersebut pergi belanja. Setiap pagi, Sapono sering pergi ke tepi sungai untuk melamun dan mencari ikan untuk dilepas kembali ke alam bebas. Pagi itu dia tidak mendapat seekor ikan pun, melainkan pulang dengan wajah berbunga-bunga karena baru saja ketemu bidadari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu pertama mendengar kesaksian Sapono tentang perempuan cantik itu, tentu saja aku belum tahu kalau dia adalah tetangga baru di dusun ini. Tentu saja aku juga tak begitu saja berpikir bahwa ucapan Sapono memang berdasarkan fakta.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Itu memang benar-benar bidadari, Mas!" katanya dengan penuh semangat. "Orang tidak perlu mikir lama buat menentukan kalau dia memang bidadari. Hanya saja, saya lihat-lihat, kok tidak ada sayapnya?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Cuma mimpi mungkin. Saya kira kamu mimpi semalam, dan karena pagi belum benar-benar hilang kantukmu, maka seolah-olah kamu sedang ketemu dengan bidadari," sahutku dengan santai.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sapono marah mendengar bantahanku dan akhirnya aku minta maaf, karena setelah mendengar kabar tetangga baru dari seorang tetangga yang lain, dan setelah melihat dengan mata kepala sendiri betapa cantik janda itu, kurasa yang Sapono bilang memang masuk akal. Orang itu secantik bidadari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku dan istri pun tahu semakin hari Sapono semakin tergila-gila pada janda muda itu. Ia mulai jatuh cinta setelah kami temukan sebuah surat di laci kamarnya, yang selalu terbuka. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Istriku bilang, "Bagaimanapun, pada akhirnya adikku selalu menderita."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak menyahuti kata-kata itu, karena semua juga tahu betapa orang gila yang memendam cinta, tidak akan bisa berakhir baik, terlebih yang dia cintai orang waras.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai beberapa minggu berlalu, perempuan itu belum tahu perasaan Sapono yang sebenarnya, tentu saja. Aku dan istri juga tidak mungkin bicara soal itu kepadanya. Itu memang tidak akan mungkin. Anak-anak menjadi sedih dan malas belajar, setelah tahu paman mereka malas membacakan dongeng lucu seperti dulu. Aku coba menulis cerita dan membacakannya buat mereka, tetapi tanggapannya sangat berbeda.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Lebih baik Ayah cari duit dan yang tugas baca-baca cerita cukup Paman Sapono!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tahu aku tidak berbakat mengarang. Aku juga tidak bisa membujuk Sapono kembali ke rutinitasnya sebagai penghibur anak-anak lewat dongeng. Ia juga tidak lagi peduli dengan rutinitas melamun dan mencari ikan di pagi hari sehabis subuh. Ia bahkan tidak lagi menggubris ketika anak-anak memanggil dari ruang tengah untuk menemani mereka menonton.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jatuh cinta membuat Sapono berubah. Sehari-hari dia berjalan ke seputar dusun, dan lebih sering duduk di pos ronda dekat rumah yang belum lama ini dibeli oleh sang janda. Di sekitar rumah itu Sapono sering terlihat, tapi tidak ada seorang pun yang tahu tentang maksud si lelaki gila ini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku dan istriku tahu perasaan Sapono, tidak seperti orang-orang waras lain, sebab kami sering mendengarnya mengigau di malam hari. Ia terus menerus memanggil nama janda tersebut, "Maria, oh, Maria!" Lalu memeluk guling dengan erat seakan ada suatu momen yang mana dia berhasil merebut hati si janda dan memeluknya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setahun berlalu tidak membuat Sapono pindah haluan. Ia terus begitu sampai suatu kali, karena keasyikan melamun, saudara iparku tertabrak bus hingga tewas. Anak-anak dan istriku tidak sanggup melihat gudang bekas tempat Sapono. Walau disebut gudang, tempat itu sangat layak, sebab sesekali kupakai untuk berlatih tinju atau sekadar duduk dan mengobrol seru dengan teman-teman kantorku ketika kami liburan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya barang-barang di ruang yang pernah ditiduri dan dipakai Sapono, sudah aku singkirkan. Anggota keluargaku tidak lagi pergi ke sana, sekalipun tempat itu sudah kubersihkan dan kucat untuk menghilangkan suasana lama di saat Sapono masih berada di sini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mereka terus dan terus mengenang Sapono lewat buku-buku tulis yang disimpan iparku tersebut secara rahasia di tumpukan pakaiannya. Di dalam buku-buku tersebut, terdapat banyak cerita lucu dan sedih, hasil karangan Sapono sendiri, yang tidak pernah dilirik penerbit.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Suatu hari nanti," bisik istriku pada salah satu anak kami. "Suatu hari nanti karya- karya luar biasa ini akan dibaca banyak orang. Kita hanya menunggu waktu saja. Paman kalian tentu tidak akan keberatan kalau tulisannya diterbitkan."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan cara ini, anak-anak dan istriku, juga termasuk aku (tanpa bisa kumungkiri), akan lebih damai mengenang kehadiran sosok Sapono yang gila dan gagal meraih cita- citanya, ketimbang cuma mengenangnya sebagai bujang tak waras yang hidupnya tidak pernah dianggap ada. Buku-buku tersebut meneguhkan sosok Sapono yang jauh lebih berarti di hati kami. [ ]<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Gempol, 2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-42449281533060427692020-01-23T00:20:00.000+07:002020-01-23T00:20:10.635+07:00Berburu Obat Kematian<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXsgM4gYcClmmD8lWmkJxuqr3UwG7fF-WuN9Tz4Jla0VzfOr62uhQglJrM84HdmOtuCA5Yp_v0bNsuxbyO8WYEOP36vS-SXFxiNWNFXUj7HjyJJU_XI_UPvs4mlKnPGmmqD6OVnLsLICE/s1600/0+0+0+Berburu+Obat+Kematian.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="421" data-original-width="623" height="270" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXsgM4gYcClmmD8lWmkJxuqr3UwG7fF-WuN9Tz4Jla0VzfOr62uhQglJrM84HdmOtuCA5Yp_v0bNsuxbyO8WYEOP36vS-SXFxiNWNFXUj7HjyJJU_XI_UPvs4mlKnPGmmqD6OVnLsLICE/s400/0+0+0+Berburu+Obat+Kematian.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://pojokpim.com/berburu-obat-kematian/?fbclid=IwAR2WO2Cg722OYxaqc3dqllJxbUv29tRsODkwbyz4yhnuOXheJgMAq-gPm0Y" target="_blank">Pojok PIM</a> pada 28 Desember 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Padang ilalang menyeretku ke malam yang dingin. Aku hanya bisa menemukan air hangat dalam termos. Tak ada apa-apa lagi dalam ransel yang entah milik siapa itu, yang tergeletak di dekat tempatku berbaring. Bahkan selimut pun tak kutemukan. Bagaimana aku bertahan dalam udara dingin?<br />Aku bukan orang yang berpengalaman melawan alam. Bakatku hanya bersemayam di sini, di relung-relung tersembunyi dalam tempurung kepalaku. Maka, aku berharap menjumpai sesuatu yang ajaib untuk menolongku, meski seumur-umur aku tak percaya kisah-kisah yang tertuturkan di kitab agama yang dilekatkan padaku saat dilahirkan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memang tak pernah benar-benar serius dalam menjalani agama itu. Aku tidak percaya segala sesuatu terjadi oleh kekuatan tak terlihat di luar sana; aku hanya percaya segala sesuatu terwujud atas usaha manusia sendiri. Kini, aku telah berusaha. Aku pergi ke tempat yang jauh, mengejar rahasia tergelap tentang pengobatan yang belum pernah ada di permukaan bumi. Sebuah metode pengobatan yang melibatkan tanaman-tanaman langka dan sedikit usaha di laboratorium, sehingga kelak orang tak perlu merasa takut pada kematian. Dan, sayangnya, tak ada yang kudapat selain tersesat dan mungkin saja mati sia-sia di tempat antah berantah.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Aku sungguh tak tahu berada di mana diriku saat ini. Padang ilalang ini tak pernah tersimpan dalam laci ingatanku. Kini aku terjebak di sini, bersama ransel yang hanya berisi termos dengan sedikit air hangat, dalam gempuran udara dingin membekukan. Di kejauhan tidak terdengar apa-apa selain gemuruh angin yang kukira bakal membunuhku beberapa jam ke depan. Atau, tak sampai hitungan jam, boleh jadi aku sudah mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku hanya bisa mencoba mengubur diri di antara rimbunnya ilalang, tapi ternyata udara dingin itu begitu kuat. Bahkan tanah yang menyentuh kulit lenganku terasa bagai lembah es batu yang terlingkupi jutaan helai ilalang. Maka, aku nekat berdiri, kemudian lari ke sembarang arah untuk menghangatkan tubuhku sekaligus berharap menemukan sesuatu yang bisa menolongku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa saat kemudian kujumpai sebuah rumah. Mungkin saja itu rumah atau tak lebih dari sekadar gudang; aku tak peduli. Di tempat macam ini memang bisa saja orang membangun rumah untuk urusan yang entah apa. Tak ada tetangga satu pun juga bukan menjadi persoalan bagi beberapa jenis manusia. Aku yang nyaris kehabisan tenaga kini hanya bisa melanjutkan laju dengan melangkah.<i> </i>Ketika tiba persis di depan pintu rumah itu, kudengar suara seseorang bicara di dalam sana. Suara itu mengingatkanku pada satu masa yang jauh, yang entah terkait apa dan kapan. Aku hanya berdiri kaku di teras tanpa bergerak seinci pun ketika akhirnya seseorang membuka pintu bangunan aneh itu, dan menatapku dengan ekspresi penuh kebahagiaan: “Nah, kamu datang juga!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak mengenal orang itu, tapi dia menyambutku seakan-akan kami sudah saling kenal saja. Malah dia juga menyebut-nyebut namaku, lantas memberiku nasihat panjang lebar agar tak menentang orang tua dan menjalankan perintah agama dengan benar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sama sekali tak merespons omongan orang aneh ini, tapi akhirnya tidak dapat kutahan juga lidahku untuk bicara, “Siapa Anda? Apa kita sudah saling kenal?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Respons orang ini sungguh di luar dugaan. Dia menamparku sambil mengucapkan sebuah nama, lalu mengelus dadanya. Nama itu? Sepetik nama yang sejak kecil kukenal sebagai nama yang disandang oleh sesuatu atau dzat yang selaiknya semesta takuti. Oh, memang saat ini aku terkadang masih menganggap nama tersebut adalah nama Tuhan yang seharusnya rajin kusembah. Hanya saja, sebagian dari diriku menolak itu, dan tak ada yang dapat mendesakku untuk berpindah prinsip.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah tamparan itu, suara lain kudengar dari bagian dalam rumah. Seseorang lain keluar dengan penampilan yang sangat keibu-ibuan. Melihat sosok berwajah cerah itu, aku terkenang akan ibu kandungku yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Aku tak pernah membuatnya bahagia, tapi dia tak pernah menuntut apa-apa, kecuali hanya kerap memintaku untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sayangnya, permintaan itu lebih sering kuabaikan sampai ibuku tiada.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kenangan soal ibuku itu tentu saja membuatku kembali menatap sang penampar di depanku, yang kini ditenangkan oleh sosok wanita berwajah cerah. Penamparku itu pria berusia paruh baya yang tinggi tegap dan memiliki rambut berwarna cokelat kemerahan. Ada bagian tertentu dari wajahnya yang membuatku teringat pada ayahku sendiri yang kini kutinggalkan hidup sendiri di tengah kota tanpa seorang pun yang sudi membantu. Ayahku memang orang yang sangat keras; aku kerap mendapat hukuman fisik, terutama tamparan. Saking seringnya ditampar saat membantah atau berargumen, terlebih tentang Tuhan dan semesta, aku sampai tak lagi merasa sakit ketika mendapatkan tamparan lagi dan lagi untuk ke sekian kalinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Barangkali saja sosok penamparku ini, yang membukakan pintu dan seolah sudah mengenalku ini adalah orang yang sama persis wataknya dengan ayahku, yang bersikap terlalu tegas dan jujur atas segala hal, sehingga banyak orang membencinya. Perbuatan Ayah di kehidupan bermasyarakat memang tak keliru menurut hukum agamanya, tetapi tak semua orang senang atas hal itu. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk beberapa saat, setelah wanita itu selesai menenangkan si pria, kami bertiga hanya berdiri canggung tanpa seorang pun bertindak atau membicarakan sesuatu sampai entah berapa lama. Detik demi detik terasa panjang saja dan, anehnya, aku kini tak lagi tersiksa oleh udara dingin, meski pintu di belakangku belum ditutup dan gemuruh udara di luar sana masih sampai ke gendang telingaku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Wanita itu tiba-tiba terlihat menyadari sesuatu, lalu buru-buru menutup pintu, dan dia memberiku tempat duduk di ruang tamu mereka. Ruang tamu yang terlihat lumayan aneh, karena terdapat meja makan dan di pojok ruangan terdapat lemari berisi piring dan gelas. Tanpa menanyakan sesuatu padaku, wanita itu bilang, “Kamu harus habiskan ini. Masih hangat dan jangan diambil hati tamparan tadi.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak bisa berkata apa-apa saat wanita itu membuka tudung saji dan membuatku melihat beberapa sajian menggoda di sana. Aku tak bisa menyebutkan satu per satu apa saja yang dihidangkan untukku, tapi semua itu adalah makanan kesukaanku. Tentu saja aku tidak segera menyantapnya, meski perutku lapar; aku tidak ingat kapan terakhir kali makan. Aku malah bertanya, “Siapa kalian? Apa kita sudah saling kenal?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pria penamparku pun spontan berdiri dan nyaris saja melakukan tamparan yang tak kalah hebat seandainya tak dicegah si wanita, yang kini terlihat shock dan seperti akan menangis. Aku tidak tahu siapa mereka dan bagaimana mungkin ucapan sesederhana itu bisa memicu emosi macam ini? Aku sungguh tak tahu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, mereka tak memberi penjelasan apa-apa. Si pria penampar diminta masuk ke ruang dalam, sementara si wanita menyuruhku untuk segera makan, karena hari telah larut. Katanya, besok pagi ada sebuah janji yang harus kubayar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memang akhirnya menikmati juga sajian di meja makan, yang sayangnya tak sesuai harapan. Meski begitu, demi menghargai sikap baik si wanita, aku tetap berfokus pada piring dan sendokku seolah-olah aku memang menikmati masakannya. Setelah aku pikir segala sesuatunya sudah kembali tenang, kucoba bicara, “Saya benar-benar tidak tahu siapa kalian. Saya hanya orang tersesat yang kebetulan menemukan tempat ini. Di luar sana, saya hampir mati kedinginan.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Wanita itu cuma menyahut, “Sudahlah, yang terpenting kamu sudah pulang. Besok janji itu harus kamu bayar.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Janji apa?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Oh, tentu. Kamu lupa. Tentu saja.”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya tak tahu maksudnya. Janji apa? Kalian siapa? Tolong, jawab atau saya pergi dan biar saja mati di luar sana!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Mendengar kata-kata tajamku, si wanita malah menangis. Dia tetap tak memberiku jawaban, sehingga aku pun beranjak bahkan saat perutku masih terasa lapar. Aku pergi menuju pintu dan sempat mendengar wanita itu menjerit-jerit memohon agar diriku tak pergi dan agar aku tetap tinggal bersama mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya tidak kenal kalian! Saya juga tidak berbuat salah, tetapi ditampar sedemikian rupa seperti maling saja!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Tolong. Jangan pergi! Saya mohon!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak peduli dan tetap pergi. Pintu rumah itu masih terkuak lebar, lantas si pria penampar mencoba menyusulku ke luar. Aku tahu ia terlihat sangat marah. Kali ini, aku tak mungkin tinggal diam; dia membawa sebuah pedang. Aku berlari sekuat tenaga dan menyumpah-nyumpah agar dia berhenti mengejar seseorang yang tak punya urusan apa pun dengannya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu belum bayar janjimu, Biadab!” pekik pria penampar itu yang kini semakin memendekkan jarak denganku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku benar-benar lelah. Tak kuat lagi berlari, tapi aku pantang menyerah. Aku tetap melaju, meski kecepatanku berkurang bertahap. Si pria agaknya juga tidak cukup bugar; ia mulai mengurangi kecepatan, meski tetap mengacung-acungkan pedang seakan ingin menyembelihku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di suatu titik, barangkali karena sama-sama lelah, kami berhenti untuk mengambil napas. Di sinilah kesempatanku untuk bicara padanya tanpa harus mendapat tamparan tak beradab sebagaimana di ruang tamunya tadi: “Saya tak tahu siapa Anda. Jikapun ada seseorang yang Anda cari, itu jelas bukan saya! Saya hanya ilmuwan yang berburu obat untuk masa depan umat manusia!”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Obat kematian, bukan?! Kami tahu kamu berburu obat yang menentang takdir. Itu tak akan ditemukan. Setan-setan paling kuat pun tak mampu menghentikan maut!” kata si pria tak kalah lantang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak tahu dari mana dia tahu misiku. Aku memburu obat kematian untuk suatu masa yang telah lama berlalu, yang kujalani dengan begitu sia-sia; aku harus membuat Ibu kembali hidup agar dapat kubayar kasih sayangnya dengan menjalankan apa yang ia inginkan dariku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Melihatku kebingungan, pria itu berdiri dan melangkah dengan pasti ke arahku. Angin berembus kencang, membuatny yang membawa pedang sedikit goyah, tapi lelaki itu tetap maju. Aku tak kuat lagi berdiri. Aku merangkak dan merangkak dan menuntut jawaban atas segala peristiwa aneh beberapa jam terakhir; bagaimana aku bisa terjebak di sini? Siapa mereka?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Itu tak penting lagi, Nak. Sekarang saatnya membayar janjimu,” ucap si pria yang kini terlihat sebagai siluet tinggi besar saja, dengan pedang terangkat tinggi di udara.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pandangan mataku buram. Makin buram. Menuju gelap, lalu tak ada sesuatu pun di sekitarku yang dapat kulihat. Aku berharap terbangun di tempat tidurku, tertawa karena mimpi buruk, dan melanjutkan hidup dengan tenang. Atau, aku berharap terbangun di suatu tempat, di mana pun itu, yang dapat membuatku bertemu ibuku, dengan atau tanpa obat kematian, meski masih percaya segala sesuatu terwujud atas usahaku sendiri. [ ]<br /><br /><i>Gempol, 15 November 2019</i><br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-35783087539891736772020-01-15T17:12:00.001+07:002020-01-15T17:12:48.265+07:00Dolittle (2020): Film Keluarga yang Menghibur, tapi Cepat Terlupakan<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiYEG2EsJObMYrY10xfnc2VxVw3fHHyog4ptqhRbrGklqfxR6-vRsSwr0U11CECycmk6gCK_Ia_immjmUYEJhtyf99y5xfZHLBt2MtvwBrSWgwajTFLNm64nB-szMpgsY-VFJMV7OS2wY/s1600/0+0+0+Dolit.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="483" data-original-width="321" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiYEG2EsJObMYrY10xfnc2VxVw3fHHyog4ptqhRbrGklqfxR6-vRsSwr0U11CECycmk6gCK_Ia_immjmUYEJhtyf99y5xfZHLBt2MtvwBrSWgwajTFLNm64nB-szMpgsY-VFJMV7OS2wY/s400/0+0+0+Dolit.jpg" width="265" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Judul: Dolittle<br />Genre: Adventure, fantasy<br />Sutradara: Stephen Gaghan<br />Pemain: Robert Downey Jr., Antonio Banderas, Michael Sheen, Jim Broadbent, Jessie Buckley, Harry Collet, Emma Thompson, Rami Malek, John Cena, Kumail Nanjiani, Octavia Spencer, Tom Holland, Craig Robinson, Ralph Fiennes, Selena Gomez, Marion Cotillard, Kasia Smutniak, Camel Laniado, dan Frances de la Tour<br />Negara: Amerika Serikat, Inggris<br />Tahun rilis: 2020</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dolittle" (2020) rupanya sukses membuatku tertipu. Film ini tidak terlalu bagus, tapi juga bukan film buruk. Sedang-sedang saja. Mungkin ekspektasiku terlalu tinggi, hingga begitu keluar dari teater aku merasa tak mendapatkan apa-apa selain waktuku yang tersita selama kurang lebih seratus menit untuk sebuah film yang tak menyuguhkan sesuatu yang <i>memorable</i>.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
"Dolittle" (2020) jelas sebuah film yang sangat menghibur, tapi akan segera kita lupakan. <i>Ia </i>termasuk film yang dibuat bukan untuk dikenang atau didiskusikan atau bahkan menjadi tontonan wajib dalam momen-momen tertentu bagi penggila film. Memang tak ada yang buruk dari soal teknis. Kelemahan ada di segi cerita yang kurang dalam dan terkesan buru-buru.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmL77pJRERncDOKr-o7FsZWjwFjf8Lzt7Ps6KXhLENnLqzIVEJ_vcIPvlIkTWmBdwXoKYTiMh9vN7ihq4O5DXmyu4B-mX-g_yjYBgtRKJ7nszkBdmlDBp4QpmeIgvx15x-3isXolAuK7w/s1600/0+0+0+dolit+1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="371" data-original-width="855" height="275" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmL77pJRERncDOKr-o7FsZWjwFjf8Lzt7Ps6KXhLENnLqzIVEJ_vcIPvlIkTWmBdwXoKYTiMh9vN7ihq4O5DXmyu4B-mX-g_yjYBgtRKJ7nszkBdmlDBp4QpmeIgvx15x-3isXolAuK7w/s640/0+0+0+dolit+1.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dolittle" mengisahkan Dr. John Dolittle yang mengurung diri selama beberapa tahun setelah kematian sang istri di tengah laut. Mereka berdua tadinya adalah pasangan dokter hewan yang sangat disegani. Ratu Victoria bahkan memberikan mereka tanah yang sangat luas untuk tempat keduanya merawat dan hidup bersama berbagai jenis binatang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwpEpxtRjMZb2T8Q4o4LtrPPH7ySlkt5PF2z8iCp_6znEPBO9c_-9HBVXJDBBgtLVLTM5P68WKlmrmObhQGR6rd75YIGJAAEeMEvL4ZDlEpstUCF1cY2ux9ODDYik7bra5UksdP4-y-1k/s1600/0+0+0+Dolit+2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="371" data-original-width="847" height="280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwpEpxtRjMZb2T8Q4o4LtrPPH7ySlkt5PF2z8iCp_6znEPBO9c_-9HBVXJDBBgtLVLTM5P68WKlmrmObhQGR6rd75YIGJAAEeMEvL4ZDlEpstUCF1cY2ux9ODDYik7bra5UksdP4-y-1k/s640/0+0+0+Dolit+2.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak dijelaskan bagaimana John bisa berbicara dengan segala hewan. Ia dan istri hanya senang bertualang dan menolong para satwa, serta menjadi sahabat mereka. Kematian sang istri, Lily, sangat memukul John hingga akhirnya rumahnya yang luas serupa kerajaan kecil bagi para binatang itu, tutup. Tak ada seorang pun manusia yang berinteraksi dengannya sampai sejauh itu.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp6Xhxgt-9Ij8v1H-WuFqRkyitXx8PCoMvLVcMT0114pySpFRvtbqHsrkGI_V2y-1vpsSRL-hhXL0Usw833aHi8gsy24-zCkYwPLMM33Uhf1GxEBGvIZmB19vx4Z82RQ5X3k36UhlZ-hY/s1600/0+0+0+Dolit+3.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="371" data-original-width="847" height="280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgp6Xhxgt-9Ij8v1H-WuFqRkyitXx8PCoMvLVcMT0114pySpFRvtbqHsrkGI_V2y-1vpsSRL-hhXL0Usw833aHi8gsy24-zCkYwPLMM33Uhf1GxEBGvIZmB19vx4Z82RQ5X3k36UhlZ-hY/s640/0+0+0+Dolit+3.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu ketika seorang bocah dari keluarga pemburu, Tommy Stubbins, tak sengaja menembak seekor tupai. Poly, burung nuri sahabat Dolittle, melihat itu sebagai peluang untuk membuat sang dokter kembali bertemu dengan manusia. Maka ia menggiring agar sang bocah membawa serta tupai tersebut ke rumah "istana" Dolittle untuk diselamatkan. Tommy Stubbins sendiri tak pernah serius menekuni pelajaran berburu. Ia sebenarnya pencinta binatang.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG8PYtXaSTU6wE5ooSd5eQmhBfZQNSEUzABk4OryjEfbEPg1qq-BI0i_rekUj8FR_rdAfymtKlW1CKMAqNZQ4YONHfmM02dJRq4sDW1G2EiBE-2XJ9Qa2SFYiY8b_XTQ9_3PodxUMV09M/s1600/0+0+0+Dolit+4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="371" data-original-width="849" height="278" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG8PYtXaSTU6wE5ooSd5eQmhBfZQNSEUzABk4OryjEfbEPg1qq-BI0i_rekUj8FR_rdAfymtKlW1CKMAqNZQ4YONHfmM02dJRq4sDW1G2EiBE-2XJ9Qa2SFYiY8b_XTQ9_3PodxUMV09M/s640/0+0+0+Dolit+4.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di saat bersamaan, putri kerajaan, Lady Rose, mencoba mendatangi kediaman John Dolittle untuk membawakan pesan dari Sang Ratu yang sedang sakit. Ratu ingin John-lah yang merawatnya, sebab dokter kerajaan tampaknya tak becus melakukan apa-apa. Maka, kedatangan Stubbins dan Lady Rose yang membuat gaduh rumahnya di suatu pagi yang damai, membuat Dolittle tak berkutik. Ia akhirnya memenuhi saja permintaan Lady Rose setelah mengobati Kevin (si tupai yang tertembak tadi), agar rumah suakanya tak disita oleh Dewan Keuangan, sebab kematian sang ratu membuat akta tanah itu akan jatuh menjadi milik negara dan Dolilttle beserta para sahabat binatangnya tak mendapat tempat tinggal yang aman.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoc7rFbhdNSEhzdnz68ShJVSAQmw1fLRvMjgAUTU13X40kJebKScFCr-hFywoitXprBaP4nzWI5mE6WV-G4-rp13NTwhRpER0H-8-MNZlPcN8ZyXRzNFwuDdfBd5JXyZrQ8FyOFQj1v9A/s1600/0+0+0+Dolit+5.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="369" data-original-width="845" height="278" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhoc7rFbhdNSEhzdnz68ShJVSAQmw1fLRvMjgAUTU13X40kJebKScFCr-hFywoitXprBaP4nzWI5mE6WV-G4-rp13NTwhRpER0H-8-MNZlPcN8ZyXRzNFwuDdfBd5JXyZrQ8FyOFQj1v9A/s640/0+0+0+Dolit+5.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya di istana ada persekongkolan antara seorang bangsawan dan dokter istana yang menjadi pesaing serta terobsesi mengalahkan karir Dolittle sejak lama, agar Ratu Victoria mati. Dolittle mulai curiga orang-orang itu memberi ratu racun, dan ia memang mendapatkan gelagat tak bagus dari obrolan singkatnya bersama seekor gurita di akuarium yang berada di kamar sang ratu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mau tak mau, Dolittle terpaksa harus berlayar ke Sumatra. Di sana ada sebuah pulau di mana sebatang Pohon Eden tumbuh dan berbuah obat langka, yang bisa menyembuhkan sakit apa pun. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah jurnal mendiang sang istri yang ternyata tersimpan dengan baik di negeri asal Lily.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGD54ucTxWZsSe0glGkd9nihBHUXe2IO_-dwbw4iYdZsPM84Frm9PwcAwLF204bVNxNVK3759vZlRAQUiLkUV0hJPf4yuDRphHdbUR6zkYSUe8P8HfvhmGs4RSung9q7Svvo2yD0ti1xg/s1600/0+0+0+Dolit+6.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="355" data-original-width="817" height="278" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGD54ucTxWZsSe0glGkd9nihBHUXe2IO_-dwbw4iYdZsPM84Frm9PwcAwLF204bVNxNVK3759vZlRAQUiLkUV0hJPf4yuDRphHdbUR6zkYSUe8P8HfvhmGs4RSung9q7Svvo2yD0ti1xg/s640/0+0+0+Dolit+6.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
John Dolittle beserta para sahabat binatangnya pun berangkat, dan mereka ditemani oleh Tommy Stubbins yang bersumpah akan setia mengikuti sang dokter sebagai muridnya. Lord Thomas Badgley yang mengharapkan kematian ratu pun mengutus dokter pesaing Dolittle, Dr. Blair Müdfly, untuk menumpang kapal perang <i>Britania </i>dan mengupayakan cara apa pun agar Dolittle tak pernah kembali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjomK7rF_GmEncFfqQMNy4QcPJZJjPU-BS5KarqwPsfzi2kbYno_Px5kn23-S96_PFwk4MfYxoLyIJZbTLi23hXG0ATBUv-FdGafCwMhnnPYBrxkYll7MmUP5GpbxyVhXY9P74PPnESY30/s1600/0+0+0+Dolit+7.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="365" data-original-width="845" height="276" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjomK7rF_GmEncFfqQMNy4QcPJZJjPU-BS5KarqwPsfzi2kbYno_Px5kn23-S96_PFwk4MfYxoLyIJZbTLi23hXG0ATBUv-FdGafCwMhnnPYBrxkYll7MmUP5GpbxyVhXY9P74PPnESY30/s640/0+0+0+Dolit+7.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara keseluruhan, "Dolittle" (2020) memang menghibur, tapi tak perlu terlalu berharap sesuatu yang segar di sini. Sangat cocok untuk mereka yang senang menonton film-film fantasi. Bagian-bagian terbaik yang ditawarkan film ini ada pada dialog dan kelakuan para binatang sahabat sang dokter yang lucu. Skor dariku 6/10.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-50652460527902747842020-01-02T17:48:00.000+07:002020-01-02T17:48:10.450+07:00Benih Setan<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMY3XlN7qFy6EyUMMFfMivQLXSz8JCXsbqWYTvFOMgEwHD19nsFSLp6mSPNHa7g6tS8ogkFop4rB1pHwdAJrhK64Ori4TiLrjjljDICP7eo8pSmpMvhYvQwvFpr00wCBGoLEa5OJeUX_0/s1600/0+0+0+BEnih+Setan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="311" data-original-width="603" height="206" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMY3XlN7qFy6EyUMMFfMivQLXSz8JCXsbqWYTvFOMgEwHD19nsFSLp6mSPNHa7g6tS8ogkFop4rB1pHwdAJrhK64Ori4TiLrjjljDICP7eo8pSmpMvhYvQwvFpr00wCBGoLEa5OJeUX_0/s400/0+0+0+BEnih+Setan.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://nyimpang.com/sastra/cerpen/ken-hanggara/benih-setan-cerpen/?fbclid=IwAR1BTyxbjO8NCqoRvNwf3zavwKqQME6fP-G6HDaC1jEUKVixuYVnXV5SWXY" target="_blank">nyimpang.com</a> pada 21 Desember 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Hari-hariku mungkin akan terus berjalan dengan cara membosankan: bangun tidur, pergi bekerja, bergelut dengan tabel dan data-data, lalu pulang dengan tubuh lelah dan tanpa hasrat berbuat apa-apa selain duduk di depan televisi hingga tertidur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak memimpikan hidupku bakal begini. Tidak ada impian jenis ini di kepala anak mana pun. Aku berani bertaruh, kecuali mungkin bagi Jun, anakku satu-satunya, yang kini mendekam di penjara setelah membunuh teman-teman sekolahnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak paham isi kepala Jun. Seandainya saja bisa, mungkin sudah dari dahulu kubelah kepalanya untuk dapat meneliti apa saja yang ada di dalamnya. Tentu saja aku membayangkan tindakan ini tak membunuh Jun. Tetapi, karena membelah kepala orang kemungkinan membuatnya mati terbunuh, itu tidak akan kulakukan.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Aku melahirkan Jun tanpa sengaja. Aku membawanya dalam perutku selama tujuh bulan yang membingungkan, karena aku sendiri bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Aku ada di pesta malam itu dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Begitu sudah di rumah dan kesadaranku utuh, aku membayangkan orang-orang menindih tubuh kurusku. Kami semua sama-sama mabuk. Kubayangkan di waktu bersamaan, seekor setan meletakkan benihnya dalam tubuhku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Jika Jun anak setan, kurasa itu jauh lebih baik, karena aku tidak perlu susah-susah merawat dan kuhabisi dia saat itu. Hanya saja, apa mungkin setan menitipkan benihnya di rahimku? Apa bisa setan yang dapat menghilang, melayang, menembus benda-benda itu mempunyai anak yang berdaging dan berkulit sebagaimana anak manusia?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terus bertanya-tanya tentang asal muasal Jun, tetapi tidak ada titik terang. Lalu aku putuskan untuk merawatnya saja, karena aku bahkan tidak tega mengabaikannya, meski tidak menginginkannya. Aku merawatnya meski membuatku repot dan banyak orang yang menganggapku perempuan kotor karena melahirkan bayi di luar nikah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak awal, aku tahu ada yang tidak beres pada Jun. Aku juga sudah tahu ia tidak menginginkanku sejak sebelum dia mengerti cara berjalan dan berbicara. Anak itu selalu menangis dan membuatku repot, tapi tidak jika seorang pengasuh kutugasi menjaganya. Pengasuh itu, sebut saja Maria, tak mendapat masalah bersama Jun. Menurutnya, Jun bayi yang lucu dan penurut.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria hanya berkata, "Mungkin karena Anda belum pengalaman."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak tahu apakah ucapan itu bermakna tuduhan atau sekadar tebak-tebakan saja, tapi aku memang tidak berpengalaman. Hanya saja, apa seseorang harus berpengalaman dulu untuk membuat bayi yang belum mengerti apa-apa dapat menyukai dirinya?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jun tetap bersikap seakan-akan aku musuh dalam selimut yang harus dia habisi di saat yang tepat. Dia tetap tersenyum dan berbicara halus padaku saat anak itu sudah bisa berbicara. Dia memanggilku "mama", tapi ada sesuatu yang membuatku percaya dia tak serius mengatakannya dan secara diam-diam menyebutku bukan mama di belakangku. Entah sebutan apa yang menurut Jun benar-benar layak kusandang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Meski demikian, aku tetap bekerja untuknya. Aku tetap berada di situasi yang sama seperti sebelum adanya pesta yang berakhir kehamilanku tersebut. Waktu itu aku belum bekerja di agen travel, melainkan di perusahaan terkenal di pusat kota, di mana hampir setiap orang menaruh impian lamanya di sana.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak banyak orang yang sanggup bekerja di kantor hebat tersebut, tetapi aku bisa, dan semua orang tahu modalku benar-benar otak dan bukan tubuh yang seksi. Saat aku diketahui hamil, orang-orang kantor tidak ada yang sinis dan beberapa bahkan jadi lebih perhatian. Sangat jauh sikap orang-orang di tempat kerja dengan siapa pun yang tinggal di lingkungan rumahku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku pindah pekerjaan tidak lama setelah kasus anakku mencuat dan diberitakan di hampir seluruh media. Jun kedapatan membunuh teman-temannya dalam sebuah pesta di rumah salah satu dari mereka. Aku tak tahu sejak kapan ia merencanakan semuanya. Yang jelas aku benar-benar tertipu olehnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dapat kubayangkan penglihatan itu tidak akan bisa pergi dari kepalaku sampai aku tua dan mati nanti. Dapat kubayangkan tiap malam aku tersentak dari tidurku gara-gara tubuh-tubuh berlumuran darah itu mengelebat dalam mimpiku, bercampur kepala anak semata wayangku yang mendadak bertanduk dan bertaring, dan dengan tegas dia bilang, "Siapa suruh melahirkanku?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku ingat jumlah pasti korban yang Jun akibatkan, tetapi tidak berharap mengingat itu selamanya. Dalam mimpiku kadang kulihat belasan jasad tergeletak dalam kondisi mengenaskan. Kadang, di malam lain, di mimpi serupa, tubuh-tubuh itu berubah jadi puluhan atau ratusan atau ribuan. Ada suatu mimpi yang menampilkan tubuh seorang manusia, tapi tubuhnya terlihat besar dan karena posisinya berbaring, ia bagai sebuah bukit. Jun ada di puncak bukit itu dengan senjata andalannya: sebilah kapak, dan dia berlari-lari ke sana kemari sambil menyanyikan lagu "Pelangi" dan menyabet-nyabetkan kapak ke udara. Begitu kusadari tubuh raksasa itu adalah tubuhku, aku langsung terjaga dan menangis sampai subuh.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa yang mendasari anak Anda berbuat segila itu?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bagaimana Anda mendidiknya?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa Anda tidak tahu yang dia kerjakan?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Anda tidak tahu isi lemarinya?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Segala pertanyaan terlontar dan membuatku jatuh. Aku jatuh dan terperosok, dan sejak hari itu tak ada yang menolongku keluar dari lubang kegelapan. Aku diserbu awak media. Kamera-kamera jadi mimpi buruk berikutnya. Wajahku di mana-mana dan aku dikait-kaitkan dengan tindakan anakku yang tidak waras. Tidak ada yang menyeretku ke hakim atau penjara, tapi orang-orang menganggap semua yang terjadi adalah tanggung jawabku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hari sebelum pembunuhan mengerikan itu terjadi, Jun terlihat agak santai dan tampak terlalu baik ke ibunya yang selama ini lebih sering tidak dia anggap. Waktu itu aku bilang pada anakku, "Semoga hubungan kita jauh lebih baik setelah ini."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Jun tersenyum mendengar ucapanku tersebut. Waktu itu, dia berumur 18, dan aku 40 tahun. Usia yang belum terlalu tua membuatku mudah memahami betapa boleh jadi anak ini butuh perhatianku saja. Bukankah sejak dia bayi aku terlalu sibuk oleh urusan pekerjaan? Bukankah kami jarang berdekatan? Kurasa semua akan baik-baik saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu pada hari itulah semuanya berubah. Setelah kami berpisah di jalan, karena aku harus ke kantorku, sementara dia ke sekolah, aku tidak berpikir soal apa pun selain tentang hubungan kami yang mungkin bisa diperbaiki. Sejak Jun kecil, Maria selalu mendampingi. Bahkan hingga detik ketika dia dibawa ke penjara, Maria masih ada di rumah kami.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maria temanku sekaligus pengasuh anakku. Dia tidak berkata apa pun selain bahwa Jun anak yang baik dan penurut. Hari itu Jun pamit padaku bahwa dia akan langsung ke pesta ulang tahun temannya di sore hari, jadi tak perlu dijemput.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Pantas kamu bawa banyak barang," kataku, mencoba menebak-nebak isi tasnya yang menggelembung, yang kurasa berisi semacam kostum atau hadiah yang nanti dia pakai untuk mengejutkan temannya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu tas itu ternyata berisi kapak dan rantai. Aku juga tidak tahu betapa teman-temannya tidak bisa kabur ke mana-mana setelah tiap pintu dan jendela diblokir olehnya dengan rantai. Salah satu korbannya menelepon polisi sebelum tewas terbantai. Berkat telepon itu polisi dan warga merubung lokasi. Sebelum rumah tersebut berhasil dibobol, aku berdiri di sana, berdiri dengan dada bergerumuh dan kaki yang kurasa nyaris patah karena tidak kuat menopang beban tubuh sendiri. Di situlah aku tahu Jun tidak berubah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku percaya Jun bukan benar-benar anak kandungku. Dia sesuatu yang salah di dunia aneh ini. Maksudku, bukankah setan-setan dan malaikat eksis? Mereka tak terlihat oleh mataku dan mata banyak manusia, namun mereka ada di mana pun. Mereka ada dan barangkali Jun datang dari kejadian-kejadian aneh yang tidak bisa dinalar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah Jun ditangkap, Maria menangis padaku dan memohon untuk tidak berbuat apa pun karena dia sudah terkekang sejak lama. Dia terus bersujud depan kakiku dan mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi dari pengetahuanku tentang Jun.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak tahu Jun telah berbuat banyak pada wanita yang usianya nyaris sepantaran diriku itu. Aku tidak tahu dan sebenarnya tidak ingin tahu. Maria pergi entah ke mana. Aku keluar dari pekerjaanku karena orang-orang berubah. Aku minggat ke luar kota dan menemukan pekerjaan baru di agen <i>travel</i>. Di sini orang-orang tak peduli padaku. Aku mengubah penampilanku. Aku membawa nama yang sama tetapi mereka tidak ada yang mengenaliku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hariku mungkin terus berjalan dengan cara yang membosankan: bangun tidur, pergi bekerja, bergelut dengan tabel dan data-data, lalu pulang dengan tubuh lelah dan tanpa hasrat berbuat apa-apa selain duduk di depan televisi hingga tertidur. Aku tidak memimpikan hidupku bakal jadi begini. Tidak pernah. [ ]<br /><br />Gempol, 2018-2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-24499597213395569312020-01-02T17:42:00.000+07:002020-01-02T17:42:16.080+07:00Detik-detik Keberuntungan<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOa6xkzAz6sg7FNoyqpnzkc_HbHLeNJm5B8HqkmSp84mh8xDd2l2bNDvi5OWqb9AO3cpF8AKCysx0Fr_m6BH9jT2Juv-AhFzYKRMZAjMalZPrJ7jmgJc21Fa2LH1siUsQaAy_vRRemmdc/s1600/0+0+0+Detik2+keberuntungan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="449" data-original-width="901" height="198" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOa6xkzAz6sg7FNoyqpnzkc_HbHLeNJm5B8HqkmSp84mh8xDd2l2bNDvi5OWqb9AO3cpF8AKCysx0Fr_m6BH9jT2Juv-AhFzYKRMZAjMalZPrJ7jmgJc21Fa2LH1siUsQaAy_vRRemmdc/s400/0+0+0+Detik2+keberuntungan.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://www.kurungbuka.com/detik-detik-keberuntungan/?fbclid=IwAR1hNV3PAJDbnbtgTO69upFUZJk2iYQUv3k26WoyFqO-f3t3fqte2QWbYlI" target="_blank">Kurung Buka</a> pada 15 Desember 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Sepulang kerja aku melihat kejadian itu: sepasang kekasih melompat dari puncak gedung 15 lantai. Keduanya mati seketika dan terjadi tepat di depanku. Jarakku dengan trotoar di mana kepala sang pria terbentur hanya lima atau enam meter. Akibatnya darah menciprati pakaianku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Aku memang tidak sampai ketakutan setengah mati dan lari ke apartemenku, lantas mengunci diri. Aku <i>shock</i> dan kehilangan kesadaran selama sepersekian detik, dengan mengira yang kulihat hanya imajinasi. Aku tetap berdiri dan memperhatikan darah segar melebar dan membentuk genangan di sekitar dua tubuh yang tak lagi utuh. Di sekitarku, orang-orang datang membawa kamera. Di kanan-kiri, depan-belakangku, nyala blitz liar tak terkendali. Aku seakan salah satu bagian penting dari peristiwa yang tak kutahu latar belakangnya ini; tiap orang mengambil gambarku tanpa izin bersama kedua jasad yang tergeletak tak jauh dariku.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Tak berapa lama, seseorang menarikku. Aku tetap tidak tergerak untuk pulang atau mencari tempat longgar, melainkan masih menuruti apa yang semesta perbuat untukku. Orang-orang ini, kamera-kamera yang mereka bawa, para petugas kepolisian dan rumah sakit, dan apa pun yang di sana, yang hadir setelah sepasang kekasih bunuh diri pada suatu sore yang syahdu, adalah semesta yang mengendalikanku. Aku diam saja dan baru bergerak kalau ada dorongan atau tarikan yang melibatkanku ke dalamnya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, beginilah yang kutahu berikutnya: setelah aku mengira pikiranku betul-betul sadar, aku mendapati diri duduk di kedai kopi seberang TKP. Warga kota bergerumbul di depan pintu dan menyesaki trotoar depan kedai sehingga tidak dapat kulihat apa yang terjadi di sana. Aku menoleh saat seseorang mencolek dan bertanya, “Apakah air putih sudah cukup?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kubilang, "Ya."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Tenangkan diri Anda dulu, Bung," kata pelayan tersebut. Ia menoleh sebentar ke kerumunan di luar kedai, lalu menatapku lagi seakan-akan aku bocah kecil yang tidak seharusnya melihat peristiwa mengerikan tadi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengangguk pendek. Pada detik inilah, ketika kutatap kembali arah bumi dan kutemukan baju dan celanaku basah oleh darah kedua pelaku bunuh diri sore ini, aku mulai merasa getaran yang aneh. Aku mendadak cemas dan terbayang jika dua manusia yang baru saja mati tadi akan terus menghantui pikiranku. Barangkali baju dan celanaku dapat kusingkirkan, tapi mereka tetap adalah benda yang terkait denganku dan kejadian tadi juga secara gamblang melibatkanku. Tidak bisa tidak, aku akan terus terbayang oleh kejadian ini. Yang terkotori darah mereka bukan hanya pakaianku, tapi juga ingatanku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk beberapa saat, tubuhku dikuasai rasa takut. Menit berikutnya, ketika sirene ambulans, yang sejak kusadari tubuhku berada di kedai kopi sudah berbunyi nyaring memenuhi udara di luar sana, terdengar menjauh, di dadaku terasa ada sesuatu yang menggelembung dan memenuhi setiap inci ruang kosongnya. Jadi, tubuhku mendadak terasa penuh oleh sesuatu. Udara yang dari awal bersemayam di ruang kosong di dada dan perutku, mendadak naik dan naik dan aku pun muntah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku meminta maaf pada pelayan yang terlihat sabar tadi dan dia hanya tersenyum melihatku. Aku tidak tahu bagaimana dapat berdiri dan berjalan pulang seperti biasa. Ketika pelayan itu membersihkan muntahan di lantai, aku rasa tubuhku lemas dan ingin menginap saja di sini. Kepalaku juga pusing sehingga keinginan tinggal di sini semakin membesar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Anda kenapa?" tanya si pelayan ketika kucengkram kedua kepalaku dan melihat dua petugas kepolisian masuk bersama seseorang yang terlihat penting tapi berpakaian <i>casual</i>.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya pusing."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum pelayan tadi bertindak, dua polisi yang kumaksud menghampiriku, lantas menanyakan apa yang kulakukan ketika kejadian bunuh diri tadi terjadi dan apa diriku mengenal dua korban.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kujawab sesingkat yang kubisa karena tubuhku kini benar-benar tidak fit. Orang- orang itu mengerti dan membiarkanku istirahat saja karena menurut mereka situasi yang menimpaku meninggalkan bekas yang sulit hilang di ingatan. Salah satu dari mereka menawariku tumpangan pulang. Aku jelas bersedia. Kami keluar dari kedai. Aku tidak sempat mengucapkan terima kasih ke si pelayan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di sepanjang perjalanan, aku duduk diam di bangku belakang sembari para polisi membicarakan hal-hal lain, yang tidak menyangkut kasus bunuh diri tadi. Seakan-akan yang baru saja terjadi dan membuatku tidak enak badan ini adalah suatu hal yang wajar. Seakan-akan bunuh diri sepasang kekasih tadi adalah rutinitas yang tidak perlu diambil pusing.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, mereka tidak membuatku diam bagai patung begitu saja selama beberapa menit. Keduanya bertanya tentang di mana aku kerja dan segala macam soal hidupku. Kujawab seperti tadi; singkat. Mereka tak lagi bertanya setelah kusampaikan bahwa aku tak tahu caranya terhindar dari kesialan macam ini.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya bahkan tidak tahu apakah bau amis darah ini benar-benar dapat pergi begitu saja setelah beberapa bulan," kataku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Suatu hari Anda akan melupakannya," kata si petugas di bangku kemudi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
***<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai berhari-hari kemudian, bahkan beberapa minggu setelah kejadian bunuh diri itu berlalu, aku masih belum dapat lepas dari ingatan tentang pria yang kepalanya membentur trotoar dan pecah seakan tengkoraknya tak lebih sebutir buah, dan serpihan daging buahnya meluncur padaku, tepat mengenai baju, celana, sebagian wajahku. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ingatan itu bertambah lagi dengan si wanita yang menghancurkan bagian kaki dan pinggulnya persis di depanku sehingga baru sekian hari kusadari bahwa bukan hanya darah mereka saja yang menodai pakaianku, tapi juga serpihan otak si pria yang, entah bagaimana, turut terbang dan meluncur begitu saja ke udara, menuju kepadaku, menuju wajahku, berkat tumbukan sepasang kaki jenjang si wanita ke bumi!<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sadar itu setelah sekian hari memikirkan tentang pakaianku yang kubuang ke tong sampah dan sesuatu yang ganjil dan lunak yang tak sengaja kutemukan menempel persis di kulit antara bibir atas dan lubang hidungku. Mengenang itu membuat bau amis semakin menguat dan membuatku hanya sanggup memakan sedikit sekali sayur-sayuran dalam roti lapis yang biasa menjadi pilihan terbaikku saat sarapan. Selain itu, sebagian besar jatah sarapanku di kedai depan apartemenku kubuang begitu saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di tempat kerja, beberapa hari setelah peristiwa itu, entah berapa orang datang ke mejaku cuma untuk bertanya-tanya kesan yang kurasakan. Aku tidak bercerita banyak karena mereka bahkan tak benar-benar berani mendengar. Aku tidak tahu motif orang- orang ini, tapi akhirnya mereka berhenti juga.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam beberapa pekan itu, demi menghindar dari rasa tidak nyaman dan mual, aku tidak berjalan melewati rute biasanya; aku memilih jalan lain sehingga harus memutar. Bisa saja kuputari satu blok, tetapi gedung yang dipilih pasangan itu untuk bunuh diri dapat terlihat jelas jika rute ini kupilih. Mau tidak mau, agar ingatan bunuh diri itu tidak kutemui, yang artinya tak terlalu membuatku tersiksa, jalan pulangku jadi lebih panjang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Itulah yang terjadi selama tujuh bulan berikut. Aku mulai tenang saat mengambil rute lebih pendek. Aku mulai tenang melihat puncak gedung itu dan tak lagi terbebani oleh roti lapis yang kumakan, meski sebenarnya ingatan soal serpihan otak si pria belum benar-benar lenyap. Aku bisa memblokir apa pun terkait itu dengan cukup baik, dengan sesegera mungkin memikirkan hal lain yang jauh dari peristiwa itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah dua tahun menghindari TKP bunuh diri yang melibatkanku sebagai saksi tersial dalam sejarah orang-orang bunuh diri di kota ini, aku mulai berani melewati rute lama: jalanan depan gedung 15 lantai itu. Aku sengaja mampir ke kedai seberang, yang dulu-dulu tidak sekali pun terpikir buatku singgah ke sana, meskipun sekian tahun aku melewati jalanan yang sama sebelum peristiwa bunuh diri itu terjadi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pelayan penyabar kabarnya tak lagi bekerja di sini, tetapi aku tetap senang karena ada gadis cukup manis yang melayaniku. Di samping itu, aku juga disambut hangat oleh orang-orang. Tak ada yang lupa padaku. Orang-orang di kedai itu, yang di hari kejadian berada di sini, sempat melihatku dan mereka bilang akan selalu mengingatku sebagai lelaki yang ketiban sial dan bahkan nyaris ketiban maut juga.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Anda tak membayangkan saat itu mungkin Anda ikut mati?" tanya salah satu dari mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bayangkan Anda pulang kerja beberapa detik lebih awal. Boleh jadi sekarang ini Anda sudah berada di surga."<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak tahu harus menjawab apa, tetapi aku tertawa pendek mendengar lelucon salah seorang pelanggan kedai itu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pada akhirnya aku cuma bisa mengatakan, “Barangkali saya sudah di surga, atau jangan-jangan justru ke neraka?”<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Orang-orang tertawa. <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kupandangi jalanan di depan dan memikirkan ucapan orang itu. Bagaimana andai sore itu aku pulang beberapa detik lebih awal? Apakah tubuhku hancur karena tertimpa pasangan itu? Apakah darahku menciprati baju dan wajah seseorang dan membuatnya takut selama bertahun-tahun? [ ]<br /><br />Gempol, 2 April 2018 - 4 November 2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-54093604962991481812019-12-16T21:15:00.002+07:002019-12-16T21:15:41.450+07:00Mencari Lusi<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-v_yrU0XMBIs8TMvjDUKciDHBee2KXEqkW8IUEOxNAUQ9BSA_T1ck2_5QuheB1jkoH59Tam_KAV9I3FouegzetQBH9gDEULMiHz3lJimaXQz1CfTJouDjpXvxpqeX05I9TfPu_q_hNv8/s1600/0+0+0+Mencari+Lusi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="395" data-original-width="203" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-v_yrU0XMBIs8TMvjDUKciDHBee2KXEqkW8IUEOxNAUQ9BSA_T1ck2_5QuheB1jkoH59Tam_KAV9I3FouegzetQBH9gDEULMiHz3lJimaXQz1CfTJouDjpXvxpqeX05I9TfPu_q_hNv8/s400/0+0+0+Mencari+Lusi.jpg" width="205" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 15 Desember 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Malam itu aku berkeliling ke setiap sudut kota demi mencari Lusi. Perempuan itu mendadak hilang tanpa petunjuk, kecuali adanya pengakuan dia mulai bosan kepadaku. Aku tidak tahu di mana letak kesalahan hubungan kami, karena sejauh yang kutahu, dia tidak pernah protes.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />Dalam pernikahan yang kami jalani selama empat tahun ini, tidak pernah kudengar keluhan, karena aku selalu menuruti apa yang Lusi inginkan. Aku yang menginginkan kehadiran anak sejak awal, dengan senang hati menerima keinginannya untuk menunda itu, dan itu kulakukan demi Lusi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak pernah mencintai wanita sedalam ketika mencintai Lusi. Bertahun-tahun aku tidak bertemu wanita seajaib dia, yang datang dan berbicara kepadaku dengan cara yang simpel dan menawan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Lusi tidak tertarik pada harta warisanku, dan itu semakin terbukti dengan keinginan yang hanya berupa penundaan kelahiran anak pertama kami, serta permintaan yang jauh dari kesan material. Yang sering Lusi minta hanyalah hal-hal yang dapat seseorang beri tanpa mengeluarkan uang, seperti memberinya waktu luang untuk pergi seorang diri ke perpustakaan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a>Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mencintai perempuan seperti Lusi, tetapi orang bilang aku sudah menderita cinta buta. Perempuan aneh begitu, seharusnya tidak cocok untukku, demikian kata sebagian besar orang. Dan aku hanya akan mengatakan, "Kalian tahu apa soal perasaanku?!"<br /><br />
<div style="text-align: justify;">
Memang benar, inilah yang kurasakan pada Lusi. Aku tidak bisa lepas darinya, dan dia sendiri tampaknya tidak sanggup lepas dariku. Kami ditakdirkan bersama sampai tua, dan keyakinan inilah yang membuatku menikahinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja, setahun terakhir, Lusi jarang berbicara. Dia meminta waktu yang lebih banyak untuk menyendiri, dan tetap saja kuturuti itu. Ketika akhirnya sebuah <i>statement </i>meluncur lancar dari bibirnya, tentang betapa dia bosan dengan hubungan ini, aku tidak bisa berkata apa-apa. Demi Tuhan, kupikir ini terjadi karena kami belum mempunyai anak. Bayangkan ada seorang bayi di sini, di antara kami, kurasa dia tidak bakal merasa bosan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Malam harinya, setelah meminta waktu tidur tanpa kuganggu, perempuan itu pergi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Kepergian Lusi memukul hatiku, apalagi setelah kuperiksa isi lemari; tak ada yang tersisa di sana selain pakaian dan barang-barangku. Lusi benar-benar pergi tanpa sebuah petunjuk yang kiranya memberiku sedikit rasa tenang. Tentu saja, siapa pun yang pergi tanpa meninggalkan apa-apa, sudah pasti tidak memiliki niat untuk kembali, bukan?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku keluar dengan kalap dan menyetir mobilku ke berbagai arah secara acak selagi berharap dapat menemukan Lusi di suatu sudut gelap di kota ini. Sudut demi sudut tiada lepas dari pengamatanku, tetapi hingga esoknya dia tidak juga kutemukan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah dua hari dua malam pencarian, tubuhku lelah dan tidak ada daya lagi. Aku ambruk dan diopname di rumah sakit sambil menelan hujatan-hujatan dari keluargaku, yang memaksaku melupakan saja Lusi yang tidak pernah mereka anggap ada.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Wanita seperti itu biar saja pergi. Cari yang lain, yang dapat memberimu anak!" kata ibuku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Lusi bukan mandul. Kami memang menunda adanya anak, Bu!"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu tidak sudi mendengarku. Esoknya dia membawa perempuan asing ke kamarku, dan memaksa kami berkenalan. Aku tidak peduli pada perempuan itu. Aku hanya ingin Lusi kembali ke pelukanku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Karena mengira prinsip yang kuat saja tidak bakal cukup menghentikan keluargaku, aku lalu kabur dari kamar rumah sakit dan mencuri sebuah mobil untuk menuju ke luar kota. Aku ingat salah satu permintaan Lusi yang belum kukabulkan sampai saat ini. Dia pernah berharap dapat pergi sejauh mungkin dari orang-orang di sekelilingku, sebab tak ada yang tampak menyetujui hubungan kami. Waktu itu aku tidak setuju, karena bagiku keluargaku sendiri juga penting. Kini aku sadar, mungkin itulah yang membuat Lusi-ku akhirnya memilih kabur.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Maka, dengan penuh keyakinan, aku berangkat ke kota itu, dan sampai berhari-hari kemudian, dengan mengubah penampilan serta mencuri di berbagai kesempatan hanya demi dapat membiayai diriku, aku belum juga berhasil menemukannya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pada akhirnya seorang petugas menangkapku dan menelepon seseorang di rumah. Ia bilang, "Anak ini kami temukan." <br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Orang-orang berseragam membawaku pulang dan mengurungku ke sebuah kamar berpintu tebal. Mereka meyakinkanku bahwa sebetulnya tidak pernah ada perempuan bernama Lusi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kalian gila, ya?!" semburku.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Kamulah yang gila. Tidak perlu jauh-jauh mencari Lusi-mu yang tersayang itu!" kata seseorang di antara mereka.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Bagaimana Anda tahu?"<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Yah, karena dia hanya ada di pikiranmu, Bung!" [ ]<br /><br />Gempol, 2017-2019</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-88554347003889972272019-12-03T09:12:00.000+07:002019-12-03T09:12:02.169+07:00Ali Sabidin Menengok Bayinya<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTwppV5LFMaHbeHU9nJNFmt-t58y7SGTLl30WuzM1E_t0m_sVfIAtDuh-AocZFhZz_ysv-3dJUAI1NRZBbHGD27OdQk02gaed5kf5a6DaaPXyFp_1p6BLeh0Q6UkZPlzF8Ff1Frz36GMs/s1600/0+0+0+Ali+sabidin+menengok.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="349" data-original-width="273" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTwppV5LFMaHbeHU9nJNFmt-t58y7SGTLl30WuzM1E_t0m_sVfIAtDuh-AocZFhZz_ysv-3dJUAI1NRZBbHGD27OdQk02gaed5kf5a6DaaPXyFp_1p6BLeh0Q6UkZPlzF8Ff1Frz36GMs/s320/0+0+0+Ali+sabidin+menengok.jpg" width="249" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di <a href="https://magrib.id/2019/11/24/ali-sabidin-menengok-bayinya/" target="_blank">magrib.id</a> pada 24 November 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Ali Sabidin menerima kabar gembira tentang kelahiran anaknya. Dia pulang malam itu dengan menumpang bus terakhir jurusan ibu kota. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang dipikirkan lelaki itu selain bahwa bayi yang baru saja dilahirkan istrinya adalah bayi laki-laki.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ali Sabidin sangat bahagia atas kabar kelahiran ini, karena pernikahannya dengan Marlena berlangsung hampir empat belas tahun. Tak ada seorang pun bayi yang mereka dapatkan sampai sejauh itu. Entah berapa banyak mulut membicarakan tentang ini, tapi lama-lama sepasang suami istri tersebut tak lagi peduli. Bahkan, suatu saat, Ali Sabidin pernah begitu meyakini betapa dia tidak ditakdirkan memiliki keturunan sampai tua dan mati.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sekarang, kabar ini tiba-tiba bagai setetes air di tengah gurun yang mengepungnya selama empat belas tahun terakhir. Biasanya Marlena akan selalu kehilangan bayi pada detik-detik terakhir ketika seorang bayi seharusnya muncul dari rahim ibunya ke dunia dengan harapan serta nama baru. Malam itu lain. Ada telepon datang dan membuat Ali Sabidin nyaris kehilangan kesadaran saking senangnya.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Ali Sabidin melompat dari pos tempat di mana dia biasa berjaga di perbatasan dan menghambur keluar hingga nyaris menabrak temannya yang baru saja kelar membuang hajat di tepi hutan. Ali Sabidin berteriak lepas dan tampak seperti orang gila andai saja dia tak mengenakan seragam penjaga perbatasan. Sang teman hanya bisa mengucapkan selamat dan memberikannya waktu luang semalam untuk menengok anaknya yang baru lahir.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam bus, tak henti-henti Ali Sabidin berbicara pada setiap penumpang yang ada di sisinya atau tak sengaja duduk bersebelahan dengannya. Setiap yang mendengar soal hadirnya bayi itu hanya manggut-manggut dan memberi selamat singkat. Mereka tidak ada yang mengenalnya. Kebanyakan penumpang pendatang yang sering tidak mengerti bahasa daerah yang kerap digunakan Ali Sabidin sehari-hari, meski harusnya dia pakai bahasa asing yang umum diketahui di kawasan dekat perbatasan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Para pendatang itu memang sudah lama berlalu lalang melintasi perbatasan dan itu sudah jadi hal biasa setelah para pemberontak dikalahkan oleh pihak pemerintah. Dulu, kaum pemberontak kerap membuat situasi di kawasan ibu kota di mana Ali Sabidin dan istri tinggal menjadi begitu mencekam tiap malam. Tidak ada yang bisa tenang, bahkan meski bagi orang-orang asli daerah ini seperti Ali Sabidin. Sekarang, keadaan jauh lebih aman dan pekerjaan menjaga pos perbatasan sudah bukan pekerjaan yang berisiko. Jadi, bagi tiap penumpang yang mendengar kabar kelahiran bayi Ali Sabidin, kabar semacam itu tidak ubahnya sebuah kabar yang begitu biasa; bagai rutinitas sarapan di pagi hari di mana setiap orang bisa dan boleh melakukannya sesering yang diinginkan. Meski begitu, Ali Sabidin tetap terlihat bahagia dan lagi-lagi mengungkapkan hal itu pada penumpang mana pun yang belum turun di tujuan masing-masing.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja, malam itu hujan turun begitu deras. Hujan itu bermula dengan gerimis rintik-rintik yang disusul angin kencang dan langit yang menggerung. Pepohonan di sisi kiri-kanan jalan yang dilalui bus bergoyang mengikuti tiupan angin hingga membuat beberapa penumpang berdoa agar perjalanan mereka tidak terganggu.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saat hujan deras turun dan cipratan airnya membasahi sebagian wajah Ali Sabidin yang duduk di dekat jendela, lelaki itu mulai menyadari ponselnya tertinggal di pos jaga dan dia teringat betapa belum sempat dia bertanya-tanya tentang kabar sang istri. Apa yang Marlena lakukan setelah melahirkan bayi itu? Apa dia selamat sebagaimana bayi yang baru saja dilahirkannya?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak hujan turun, selain mengungkap kesenangan-kesenangan tentang si bayi pada beberapa penumpang, Ali Sabidin diam-diam berdoa untuk Marlena.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dia tidak akan mengalami sesuatu yang buruk, demikian pikirnya, terus menerus, tiada henti. Dia tersenyum dan memeluk bayi kami dengan hangat dan mesra. Dia pasti pula bertanya-tanya bagaimana diriku saat menemuinya nanti? Apa saja yang akan aku ucap? Bagaimana merayakan kebahagiaan yang tertunda empat belas tahun terakhir ini?<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pikiran-pikiran itu kian menguat setelah satu demi satu penumpang turun dan tidak ada lagi yang tersisa selain Ali Sabidin dan sang sopir. Tak ada kenek di sini, sedangkan dia tidak mengenal sopir itu. Demi meredam kecemasan hatinya akan keadaan Marlena, Ali Sabidin berpindah duduk di samping sang sopir dan mencoba membangun obrolan ringan, sementara hujan angin di luar semakin deras saja.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sang sopir yang terlalu fokus pada tugasnya tidak terlalu memperhatikan omongan Ali Sabidin tentang ponsel bututnya yang tertinggal di pos jaga beberapa kilometer nun di belakang. Hanya karena dia lebih muda dan mengira seharusnya menghormati orang yang lebih tua, apalagi orang itu mengaku baru saja punya anak setelah menikah selama empat belas tahun, sesekali sopir tersebut menoleh demi sekadar membuat Ali Sabidin merasa sedikit dihargai oleh orang asing yang diajaknya bicara.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, sang sopir tak menyadari ada pohon melintang di jalan. Bus terguling setelah roda depan menabrak batangan kayu besar itu hingga membuat si sopir beserta Ali Sabidin terlempar-lempar untuk beberapa detik di dalam kendaraan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Hujan deras belum kelar. Petir masih berkelebatan di langit.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam kubangan lumpur, bus tersebut kini tampak ringsek dengan kondisi roda berada di puncak dan menghadap langit. Sebagian besar kaca jendela pecah dan melukai Ali Sabidin, tapi tak terlalu parah. Hanya sang sopir yang tidak selamat karena tubuhnya tergencet pohon yang masih tegak berdiri, yang menyambut tubuh bus yang meluncur deras di jalan usai terguling beberapa waktu lalu. Ali Sabidin coba membangunkan sopir bernasib sial itu, tetapi tak ada sambutan. Tak ada gerak atau respons apa pun. Maka, dia merangkak keluar dengan payah, seorang diri.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam pikirannya, Ali Sabidin menduga ketika itu sudah menginjak tengah malam. Tak ada bus lagi yang melintas hingga nanti jam 4 pagi saat azan subuh berkumandang. Tak akan ada pertolongan sampai saat itu, kecuali ada seseorang kurang kerjaan sedang berkeliaran di jalan yang dikepung hutan ini, demi entah apa. Namun, Ali Sabidin tahu, kemungkinan macam itu sangat kecil.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan luka sayat di lengan kiri, serta kaki kanan yang terkilir, Ali Sabidin enggan berhenti di sini. Dia ingin melanjutkan langkah menuju ibu kota yang berupa kota kecil yang tua dan menyedihkan, di mana rumah dan istri dan bayi barunya kini berada. Jarak yang harus ditempuh mungkin 4 atau 5 kilometer. Itu bukan persoalan. Harusnya bukan persoalan. Maka, Ali Sabidin menahan-nahan luka dengan bebatan kain seadanya dan berjalan sebisa mungkin menuju arah pulang.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Entah berapa lama Ali Sabidin berjuang. Pada akhirnya dia bisa mencapai rumah. Pada akhirnya dia bisa menatap tubuh bayinya yang tampak mekar dan kuat. Hanya saja, bayi itu terlihat membiru. Entah apa sebabnya. Bidan yang membantu kelahirannya tak bisa berbuat karena hujan deras menutup akses menuju puskesmas di arah lain dari bus yang tadi ditumpangi Ali Sabidin.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Pohon-pohon tumbang di berbagai tempat. Bahkan gerobak kuda pun tidak dapat membawa bayimu ini ke sana," kata sang mertua yang matanya begitu basah dan merah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Ali Sabidin yang kepayahan oleh luka kecelakaan, lalu teringat Marlena. Dia pergi ke kamar, ke ruang tengah, ke kamar mandi. Tak ada siapa pun di sana selain beberapa saudara yang melamun dan merokok di berbagai sudut rumah.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Mana Marlena?" tanya Ali Sabidin.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada yang menjawab dan setiap mata memandangnya diam.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
"Mana Marlena?" tanya Ali Sabidin lagi.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada yang menjawab. Setiap mata memandangnya diam dan Ali Sabidin mengerti apa yang telah terjadi. [ ]<br /><br />Gempol, 19 Juli 2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, puisi, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-61413008277558960222019-12-03T09:03:00.000+07:002019-12-03T09:04:58.023+07:00Ford v Ferrari (2019): Film Balap Terbaik Sejauh Ini<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgECA4wcuAyyEaeELqx_ainqWzI-WuMQKHCr2cpum13J-lZa8Jd0QxNlgQNxH3aBUGBiMm8g4pqhhDJsG8Bi3hHLF3fpap7-UXUWSfofX4kfuaLqXzM_B4x7mFrBpJjz-7iGGHlY9-I3_4/s1600/0+0+0+Ford+Pster.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="479" data-original-width="319" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgECA4wcuAyyEaeELqx_ainqWzI-WuMQKHCr2cpum13J-lZa8Jd0QxNlgQNxH3aBUGBiMm8g4pqhhDJsG8Bi3hHLF3fpap7-UXUWSfofX4kfuaLqXzM_B4x7mFrBpJjz-7iGGHlY9-I3_4/s400/0+0+0+Ford+Pster.jpg" width="266" /></a></div>
<br />
Judul: Ford v Ferrari<br />
Genre: Sport, drama, biopic<br />
Sutradara: James Mangold<br />
Skenario: Jez Butterworth, John-Henry Butterworth, Jason Keller<br />
Pemain: Matt Damon, Christian Bale, Jon Bernthal, Caitriona Balfe, Josh Lucas, Noah Jupe, Tracy Letts, Remo Girone<br />
Negara: Amerika Serikat<br />
Tahun rilis: 2019</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ford v Ferrari" (2019) memuaskan dari banyak segi; mulai dari skenario yang baik, pemilihan pemeran yang tepat, sinematografi yang baik, dan tata suara yang dahsyat. Ini termasuk film balap terbaik yang pernah kutonton. Sangat direkomendasikan bagi kalian penggemar film-film balap. Kalian akan dimanjakan oleh <i>scenes</i> ketika Ken Miles menguji coba mobil balap sekaligus mengadunya di arena.<br />
<a name='more'></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSvbU6mzeqRiH8OTcWqtsdbvBT48QndOnwwXYKOBmMBJSwCwMmq0ZKlynwx4I1jUyD2NpIwxnQf3G8fsWMK7RLRL4QLy9rVS-CeeUJkxZ-DPSZumMCfUrTTRJScBpG-P9Y7GHCtMIxnpU/s1600/0+0+0+Ford.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="351" data-original-width="849" height="264" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSvbU6mzeqRiH8OTcWqtsdbvBT48QndOnwwXYKOBmMBJSwCwMmq0ZKlynwx4I1jUyD2NpIwxnQf3G8fsWMK7RLRL4QLy9rVS-CeeUJkxZ-DPSZumMCfUrTTRJScBpG-P9Y7GHCtMIxnpU/s640/0+0+0+Ford.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ford v Ferrari" (2019) dimulai dari perusahaan mobil Ford yang berada di ujung tanduk kebangkrutan. Henry Ford II memberhentikan semua pekerjanya, kecuali mereka yang berhasil membawa ide atau dobrakan baru yang dapat menyelamatkan perusahaan yang dia warisi dari kakek dan ayahnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglJNq7BphQPUIPmNjigPOyn_kjBOZzt_L1KxMQu2Mhn8JuAdwN1tMduFu4ffbBpM_69zHFZxqCmURhBvzltc0k-IiFZqys4IKJg9DC7L-_6hk5QqTgCLo5Wi_s0w8AMqwFtEyKNNxdXAU/s1600/0+0+0+Ford+8.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="341" data-original-width="835" height="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglJNq7BphQPUIPmNjigPOyn_kjBOZzt_L1KxMQu2Mhn8JuAdwN1tMduFu4ffbBpM_69zHFZxqCmURhBvzltc0k-IiFZqys4IKJg9DC7L-_6hk5QqTgCLo5Wi_s0w8AMqwFtEyKNNxdXAU/s640/0+0+0+Ford+8.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lee Iacocca, salah satu orang Ford, mencoba menghubungi mantan pembalap Carroll Shelby yang akhir-akhir itu kerap bekerjasama dengan pembalap Ken Miles di ajang-ajang balap nasional. Tujuannya untuk kerjasama membuat mobil balap Ford. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivDo5X6XDZ9GIDK3L6DbEZpwBurCTiXRf8siCkg2KDT12g7osdYbABeDYvxr9YsnZ_a-YLdEfoN68Yu_UyuWc_aLqMBE_yVYoFyzIVYv7EdsH9icydetvChH4GW9_Rex3UrjYjmq1nE_Y/s1600/0+0+0+Ford+4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="361" data-original-width="841" height="274" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivDo5X6XDZ9GIDK3L6DbEZpwBurCTiXRf8siCkg2KDT12g7osdYbABeDYvxr9YsnZ_a-YLdEfoN68Yu_UyuWc_aLqMBE_yVYoFyzIVYv7EdsH9icydetvChH4GW9_Rex3UrjYjmq1nE_Y/s640/0+0+0+Ford+4.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Lee Iacocca beranggapan Ford bisa bangkit dengan meniru cara Ferrari, yakni memenangi ajang balap bergengsi Le Mans yang digelar tiap tahun dengan waktu balap 24 jam non-stop. Henry Ford II berhasil diyakinkan setelah Ford mengalami penolakan kerjasama dari Ferrari yang cukup memalukan. Maka, proyek pembuatan mobil balap pun dimulai, dengan Carroll Shelby yang didapuk sebagai perancang mobil tersebut.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivGTOy2kKO4H4uvONcMwkls_u4snYdWe4D4623QyJpS0nLKCj9197OdKmKVPriHII1bJGyB5KjSolXI9SEQNEtuh2w4-Xx9IT33Z0IBCMHHZQ7M-PgHBS6I5HNjXC6zyszycHVaiVxLl4/s1600/0+0+0+Ford+5.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="355" data-original-width="845" height="268" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivGTOy2kKO4H4uvONcMwkls_u4snYdWe4D4623QyJpS0nLKCj9197OdKmKVPriHII1bJGyB5KjSolXI9SEQNEtuh2w4-Xx9IT33Z0IBCMHHZQ7M-PgHBS6I5HNjXC6zyszycHVaiVxLl4/s640/0+0+0+Ford+5.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bersama Ken Miles, Shelby memulai pekerjaan itu, dan mereka menemui titik terang. Orang-orang yang tak yakin Ford bisa membuat mobil balap dalam waktu 90 hari pun, kini mulai bisa menarik ucapan mereka. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA0Bsng6euAKMmtqpny5ckqEHpNgWB0Vu-DFyuSpNjJ2-uD3AYK-lw9Z7XeRzwFunQEexr0f9L1NpNJ794JOWwfBUAd_mdRgU80vXn9vcMFPZUcLv4612Xa5fEpa8nUnF34pWBSZtcPww/s1600/0+0+0+Ford+2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="349" data-original-width="841" height="264" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgA0Bsng6euAKMmtqpny5ckqEHpNgWB0Vu-DFyuSpNjJ2-uD3AYK-lw9Z7XeRzwFunQEexr0f9L1NpNJ794JOWwfBUAd_mdRgU80vXn9vcMFPZUcLv4612Xa5fEpa8nUnF34pWBSZtcPww/s640/0+0+0+Ford+2.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja, Ken Miles yang juga seorang pembalap andal, yang memahami mobil balap rancangan mereka, tidak diperkenankan oleh Leo Beebe, seorang petinggi Ford, menjadi pembalap utamanya. Perangai yang urakan dan kata-kata yang kasar dari Ken Miles bisa membunuh trik pemasaran yang mungkin saja akan berhasil jika mobil balap itu sukses di Le Mans mendatang.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjddayV5mPwFSeFYCXuWT2OBBfoPNDVO5Cq04ikJXgzcTs8xvff33c75Gs_VEPqluve82l0aGZ3ymJq_4gJEauC6-lavqkGh7ymstiegPnEBQMTDJEOZtMMPOsgxCgKM0Tj5ncXamr4ON0/s1600/0+0+0+Ford+11.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="351" data-original-width="843" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjddayV5mPwFSeFYCXuWT2OBBfoPNDVO5Cq04ikJXgzcTs8xvff33c75Gs_VEPqluve82l0aGZ3ymJq_4gJEauC6-lavqkGh7ymstiegPnEBQMTDJEOZtMMPOsgxCgKM0Tj5ncXamr4ON0/s640/0+0+0+Ford+11.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2t9RoKfgJjHkM9UpxiO3HzSRBhEEZmuX-_ufTCzkMwbQDlMoCbCMETyLfLnC9USPUfnpAeNc0r8NcdIzYQrHB4ap4b2TlSz8DXNACf-7SqunEpsTetFTI8SdtShp_4VNZxmZjgbxcszA/s1600/0+0+0+Ford+12.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="357" data-original-width="837" height="272" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2t9RoKfgJjHkM9UpxiO3HzSRBhEEZmuX-_ufTCzkMwbQDlMoCbCMETyLfLnC9USPUfnpAeNc0r8NcdIzYQrHB4ap4b2TlSz8DXNACf-7SqunEpsTetFTI8SdtShp_4VNZxmZjgbxcszA/s640/0+0+0+Ford+12.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ken Miles pun mengalah. Para pembalap yang terjun di Le Mans di tahun pertama partisipasi Ford di ajang tersebut gagal meraih gelar. Mereka mencoba merancang mobil balap yang lebih sempurna, tapi kali ini Shelby enggan mengalah pada Leo Beebe; ia melakukan segala upaya agar Ken Miles-lah yang nanti terjun ke Le Mans, sebab hanya dia pembalap terbaik yang dikenalnya saat itu, yang juga memahami mobil balap rancangan mereka.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjovoyVAmTd1ZXGGa1pAsRbgTNowXYcLMzq3RVAvMqMcesl6yDRpKjHgIpQ4y6jBHsSXS4hSMxVm_I8p4qm0rLBOkQ7otbquA8LdKl3d9YiQH3LTFTBMpddqgXjY9bvmaNy1jowrn8IRRA/s1600/0+0+0+Ford+9.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="349" data-original-width="843" height="264" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjovoyVAmTd1ZXGGa1pAsRbgTNowXYcLMzq3RVAvMqMcesl6yDRpKjHgIpQ4y6jBHsSXS4hSMxVm_I8p4qm0rLBOkQ7otbquA8LdKl3d9YiQH3LTFTBMpddqgXjY9bvmaNy1jowrn8IRRA/s640/0+0+0+Ford+9.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ford v Ferrari" (2019) berhasil menjadi film balap terbaik yang pernah ada sampai sejauh ini; tentu pendapat ini bisa disanggah dan tak lepas dari perkara selera belaka. Aku berani bilang ini terbaik karena <i>scenes</i> uji coba mobil pun dapat memacu adrenalinku. Belum lagi ketika Ken Miles akhirnya terjun ke Le Mans, dan mendapat berbagai tipuan dari pihak Ford sendiri, sebab semua ini semata hanyalah soal "berjualan mobil", dan bukan "kemuliaan pembalap".</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMOHujWnCWp2FKhqjLeHPVKJ-8a8K4NoNhAbd04n7JF-FNmJY7pz-b__x4fro5q6e9IQtFNXk2Iw_U0GEGDGBxiSRQ3N6SzZl29IGd1HEHaNwOArF2In1M6fHfUFsg19wmFrP5STfAhpk/s1600/0+0+0+Ford+7.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="353" data-original-width="845" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMOHujWnCWp2FKhqjLeHPVKJ-8a8K4NoNhAbd04n7JF-FNmJY7pz-b__x4fro5q6e9IQtFNXk2Iw_U0GEGDGBxiSRQ3N6SzZl29IGd1HEHaNwOArF2In1M6fHfUFsg19wmFrP5STfAhpk/s640/0+0+0+Ford+7.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwLT4JO3KN74rvyY6xUDoZ_eSAouxz20eaVxDAe_j7LuHy9LiIeDBmIzlWWcnoWGK8eZS4AMtUVQPkLY5GidwXt6821-jUmDIM_bYvXuneTkmH49KQ2ItQcgTeWzhoMO2VvDdeulRgbiE/s1600/0+0+0+Ford+10.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="353" data-original-width="841" height="268" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwLT4JO3KN74rvyY6xUDoZ_eSAouxz20eaVxDAe_j7LuHy9LiIeDBmIzlWWcnoWGK8eZS4AMtUVQPkLY5GidwXt6821-jUmDIM_bYvXuneTkmH49KQ2ItQcgTeWzhoMO2VvDdeulRgbiE/s640/0+0+0+Ford+10.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq-P5kQnABxqbNSvSszEx1hSSHnMrcEqHQjceseIVyySmf9p5Ckl2GcAR1WNRZHo4m40w-Q9c5JuEVx1UFS-2EWeIoACFG7WdppxIBk484ZPjZ4BKSfQoj4q6HboZRh5cqGi_RCWYO_SY/s1600/0+0+0+Ford+14.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="347" data-original-width="833" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq-P5kQnABxqbNSvSszEx1hSSHnMrcEqHQjceseIVyySmf9p5Ckl2GcAR1WNRZHo4m40w-Q9c5JuEVx1UFS-2EWeIoACFG7WdppxIBk484ZPjZ4BKSfQoj4q6HboZRh5cqGi_RCWYO_SY/s640/0+0+0+Ford+14.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ford v Ferrari" (2019) layak mendapat skor 9/10. Aku berharap ke depannya ada film balap yang lebih baik dari ini, tapi sepertinya itu akan sulit dicapai. Kita lihat saja nanti.</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3158233829007339318.post-43089060817811861372019-11-25T14:56:00.002+07:002019-11-25T14:56:25.462+07:00Kota-kota yang Telanjur Rusak<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhadAwOtdAqvsw_FZO-H_cMh7_guIe1CdjiGYvhS7WWR6-pyAXhbX83bDrtsC4hA5oxONXlK1eq_CGnRMAbSVvHkYfKBz3cHYyNa6N6FEyjelqjH5MoHHw0Cfd4bKo5syeJspdrx5VXrBg/s1600/0+0+0+Kota-kota+yang+telanjur+rusak.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="191" data-original-width="305" height="250" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhadAwOtdAqvsw_FZO-H_cMh7_guIe1CdjiGYvhS7WWR6-pyAXhbX83bDrtsC4hA5oxONXlK1eq_CGnRMAbSVvHkYfKBz3cHYyNa6N6FEyjelqjH5MoHHw0Cfd4bKo5syeJspdrx5VXrBg/s400/0+0+0+Kota-kota+yang+telanjur+rusak.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 November 2019)</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i> </i><br />Seorang pengarang merasa telah selesai dengan seluruh misinya. Suatu malam dia pergi ke kota tanpa nama, yang cukup jauh dan tak terjangkau oleh orang-orang terdekat, dan memulai hidup baru dengan identitas lain. Sepanjang perjalanan tak ada yang lelaki itu pikirkan selain apa yang akan dia temui nanti. Dia sama sekali melupakan segala hal yang telah dia capai selama hidup menjadi seorang pengarang. Dia bahkan tidak peduli andai orang-orang terdekatnya akan kacau hidupnya karena dia mendadak hilang. Lagi pula, bukankah sejak dulu dia memang seharusnya hilang? Dan pula, orang-orang dekat itu juga tak ada hubungan apa-apa selain sebagai sekumpulan manusia dengan perasaan serupa demi memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap benar.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Urusan ini, kini, menjadi terlalu sederhana baginya, dan biarlah begitu kalau saja takdir mengizinkan. Semoga orang-orang di seluruh permukaan bumi tak mengenang ia sebagaimana seharusnya. Semoga akan ada peristiwa-peristiwa luar biasa yang menutup kasus hilangnya dirinya agar hidupnya tak lagi serumit dulu.<br /> </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Sebagai pengarang besar yang selalu diburu karya-karyanya (bukan cuma untuk dibaca, melainkan juga untuk dibakar), lelaki itu tak merasa hidup dalam raga sendiri; ia selalu menjadi sosok lain untuk lolos dari kejaran wartawan dan sejumlah orang sinting dengan segala aksi di luar ekspektasi. Kadang-kadang pengarang tersebut terlalu lelah dan membiarkan dunia menghimpitnya beberapa detik, sehingga tak jarang asisten dan sopir pribadinya membawanya ke rumah sakit untuk dirawat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pengarang itu memang bukan pengarang biasa. Andai dia menulis jutaan dongeng atau sajak yang menyenangkan, tidak ada insiden-insiden yang memaksanya merawat kesendirian. Andai buku-bukunya tidak mengancam kepentingan pihak-pihak tertentu, ia dengan mudah menggaet wanita dan menjadikannya istri sejak lama. Sayangnya, ia tidak mendapat peluang untuk itu atau menolak peluang hidup tenang di balik cangkang. Itu semua demi keseimbangan yang sejak lama orang-orang kota ini impikan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Demi keselamatan dirinya, sang pengarang tidak menetap di satu tempat dan tidak terpikir membangun rumah idamannya. Seminggu atau sebulan sekali dia harus pindah tempat tinggal. Rumahnya adalah jalanan dan gang-gang tersembunyi di mana mobilnya yang bobrok mengangkutnya ke sana kemari selagi dia terus mengetik dan mendaras kata demi kata di bangku penumpang untuk buku-buku berikutnya yang berisi rahasia berbahaya dari para mafia pemegang kekuasaan.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu tak bakal ada penerbit yang sudi mempertaruhkan nyawa mereka; pengarang itu menerbitkan buku-bukunya melalui jaringan komunitas bawah tanah, yang seluruh anggotanya merahasiakan identitas mereka masing-masing. Mereka hanya datang begitu saja ke ruang-ruang jauh di bawah kota dan berdiskusi untuk mencoba menggulingkan kekuatan para mafia yang menduduki jabatan penting di kota mereka, dan sesekali sang pengarang turut bergabung ke sana demi membicarakan strategi apa yang mesti mereka lakukan agar buku-buku yang akan terbit bisa mencapai lebih banyak pembaca.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Cara ini jelas berbahaya bagi para anggota komunitas bawah tanah yang tidak bisa diam melihat kesewenang-wenangan. Maka, sang pengarang sendirilah yang turun ke lapangan untuk membagikan buku-bukunya, yang tentu kemudian membuatnya dicap sebagai anggota terberani karena tak terlalu kerap menyembunyikan diri, terutama jika para wartawan yang tak bisa dibeli mencoba untuk meminta beberapa pendapatnya soal berbagai kasus di dewan kota yang kotor.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Meski begitu, sang pengarang harus waspada. Sopir pribadinya yang sangat andal dalam mengemudikan mobil bobrok harus berkali-kali mengingatkan seandainya saja di suatu lokasi jumpa pers dadakan, seseorang datang dan berpotensi mengancam nyawa pengarang itu. Orang awam bakal mendapati gelagat sang sopir tidak ubahnya seorang pengawal kepala negara.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Saking pentingnya si pengarang itu, setiap anggota komunitas bawah tanah, yang juga saling merahasiakan identitas di depan sesama mereka, mencoba menjadikan sosok pengarang tersebut sebagai contoh bagi para pemuda, mengingat semakin keroposnya pondasi kelompok mereka kini, yang kekurangan dana dan sumber daya, padahal di luar sana masih banyak kebobrokan yang harus diperbaiki.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kalian yang tak bisa bekerja membantu kami dengan fisik dan uang, bisa lakukan itu dengan tulisan! Menulislah apa yang harus kalian tulis tentang situasi di kota busuk ini! Tulislah agar orang-orang bodoh itu mau membuka mata!” lantang salah satu orang yang paling disegani di komunitas.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Pengarang itu terlihat girang begitu beberapa pemuda datang padanya untuk belajar menulis. Dengan senang hati dia ajarkan trik-trik dasar menulis di tengah kekacauan. Ia juga memberikan sejumlah buku lawas, warisan dari mendiang ayahnya dulu, agar para pemuda bisa membaca secara langsung sumber-sumber terpercaya yang merekam jejak berdarah para mafia yang menyaru pembela rakyat.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Selang beberapa tahun kemudian, bermunculanlah penulis-penulis lain dan kondisi ini jelas menguntungkan komunitas, meski agaknya sistem bobrok yang telanjur rusak di atas sana nyaris mustahil untuk diobati, apalagi oleh sekadar tulisan. Belakangan para warga kota jarang menyukai bacaan karena mereka terlalu sibuk dengan kerusuhan atau kematian atau bentrokan-bentrokan dengan para petugas keamanan, yang justru tak sudi mengamankan situasi dan malah menghancurkan banyak hal dan menumpas tak sedikit nyawa.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Sang pengarang yang tersohor mulai melihat itu sebagai sebuah keadaan yang tak lagi jadi tanggung jawabnya. Baginya, dari awal semua kerusakan juga bukan tanggung jawabnya. Maka, ia pergi untuk memulai hidup baru. Pergi ke kota yang jauh boleh jadi membawanya pada hidup yang tenang. Ia akan ubah identitas untuk terakhir kalinya. Ia akan menikah dengan seseorang dan memiliki anak yang banyak, meski umurnya terlalu tua untuk memulai asmara dengan wanita. Adakah seseorang yang menyambutnya nanti? Ia sama sekali tak tahu dan tak ambil pusing.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Setiba di kota yang dituju, sang pengarang menyewa sebuah rumah sederhana. Tak berapa lama ia menyadari betapa sebenarnya kerusakan telah merambat hingga kemari.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
“Kota mana dari permukaan bumi yang tak rusak oleh kelakuan orang-orang itu?” tanya sang pengarang dalam hatinya.<br /> </div>
<div style="text-align: justify;">
Agaknya, harapan memulai hidup baru belum akan terwujud dalam waktu dekat. [ ]<br /><br />Gempol, 2019<br /><br />KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).</div>
Ken Hanggarahttp://www.blogger.com/profile/07903026608991627461noreply@blogger.com0