Skip to main content

Posts

Showing posts from 2016

[Cerpen]: "Jangan Bawa Taksi di Malam Hari" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Jumat, 30 Desember 2016)     Taksi berputar-putar di kawasan yang belum pernah kulewati. Sudah satu jam lebih, tapi si penumpang terus saja memberi instruksi yang lama-lama membuat perutku terasa mual. Sesekali ia minta lurus. Ketika di pertigaan, taksi berhenti, karena penumpang itu meminta demikian. Ia bilang untuk mengundi dulu arah yang sekiranya aman: kanan atau kiri?     Aku tidak tahu siapa penumpang wanita berwajah bulat tetapi kurus ini. Aku tidak tahu ke mana tujuannya atau dari siapa ia lari, tetapi karena taksi ini aku yang bawa, otomatis aku harus sedikit ikut campur.     Kutanyakan sebenarnya ia berhenti di mana? Barangkali bisa to the point, langsung sebut alamat, dan aku bisa mengantar tanpa membuang waktu. Tentu mesin argo terus berputar, tapi aku tak memikirkan itu. Yang kuupayakan dalam profesiku: penumpang sampai tujuan dengan selamat, dan kami sama-sama tidak dirugikan.     Penumpang ini merugikanku sebagai sopir. Me

[Cerpen]: "Bahkan, Namrud Saja Mati!" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 Desember 2016)     Pada suatu hari, sekelompok nyamuk memutuskan menyerbu dua manusia dewasa yang sedang duduk menunggu kereta. Hari sudah malam dan tentu saja sebagian besar orang sudah tidur. Tetapi, nyamuk-nyamuk di kawasan stasiun tidak perlu pilih mangsa; mereka bisa menyasar siapa saja, asal berdaging dan berdarah, dan asal dapat membikin perut kenyang.     Baiklah, sampai di sini, kita sudah tahu rencana para nyamuk yang tinggal di suatu stasiun malam itu. Tetapi, di kepala dua manusia dewasa ini tergambar rancangan lain, yang jauh lebih bernilai dan penting ketimbang sekadar mengisap darah makhluk hidup lain.     Manusia dewasa pertama, yang mengenakan jaket dan agak cabul, berpikir di suatu tempat terdapat seorang gadis yang mau memberinya kehangatan. Gadis itu bisa berciri- ciri apa pun, misal anggaplah berambut panjang dan berbibir merah tipis.     "Gadis berbibir merah tipis, dan kulit seputih gading," pikir si

[Cerpen]: "Keluarga Frank" karya Ken Hanggara

Gambar: Sacrifice oleh Dedi Blesak (Dimuat di Flores Sastra, 19 Desember 2016) Ada sebuah rumor bahwa keluarga Frank, yang tinggal di depan rumah Mudakir kira-kira sebulan terakhir ini, tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Pada suatu hari penting, yang mana Mudakir dan seluruh keluarga besarnya merayakan ulang tahun Leli, bungsu Mudakir, Frank beserta istri diundang. Tujuan utama Mudakir: menguji apakah benar keluarga Frank tidak mengonsumsi daging sapi? Memang , baik Mudakir maupun istrinya sudah tahu, bahwa orang tidak suka makan daging sapi adalah karena berbagai sebab. Ia bisa membaca banyak referensi dan juga dapat mencari informasi di internet tentang penyakit akibat terlalu banyak menelan daging dan semacamnya, t et api Mudakir dan istrinya juga tahu betapa keluarga Frank sama sekali sehat. “Lagi pula,” kata istri Mudakir di malam hari sebelum esok pesta digelar, “kita tidak benar-benar tahu apakah mereka memang benci daging sapi atau memilih tidak makan da

[Cerpen]: "Menantu Defensif dengan Segala Usaha dan Ketulusannya" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: https://kikisenyo.wordpress.com/2011/01/19/its-my-sketch-jihan-rana/ (Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 10 Desember 2016) Rumah kami berdiri di pinggir jalan raya, berjarak dua puluh meter dari jembatan layang yang baru untuk jalan tol. Anak-anak kami yang kecil pun sering harus kami peringatkan jika ingin bermain di kolong jembatan, karena kendaraan besar macam bus sering berhenti mendadak untuk menurunkan atau mencari penumpang di sana. "Anak-anak bisa mati ketabrak bus. Anak-anak yang tidak berdosa memang masuk surga, tetapi orangtua seperti kalian mungkin masuk rumah sakit jiwa," kata mertuaku. Ia tersenyum nyinyir . Ia benci basa-basi. Ucapannya hampir tak terkontrol. Ia bilang itu setelah melihatku mengunci anak-anak di rumah pada siang hari, agar tidak main di bawah jembatan. Kalau malam, mereka tidak akan keluar. Anak-anak itu takut hantu dan percaya hantu dapat memakan manusia.

[Cerpen]: "Burung Beterbangan di Tempurung Kepalaku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banten News edisi Jumat, 9 Desember 2016) Pagi itu seekor burung beterbangan di tempurung kepalaku. Aku tidak tahu ide ini bermula dari mana, tetapi aku rasa ia, burung itu, entah jenis apa, membuat kekacauan di kepalaku untuk suatu misi. Aku tidak tahu misi burung itu. Tetapi ia terus berkicau dan terbang ke sana kemari, seakan-akan kepalaku kubah raksasa. Mungkin burung itu seukuran jarum, sehingga ia dapat terbang sebebas yang ia mau di tempurung kepalaku. Mungkin lebih besar, tetapi yang jelas ia bukan burung sembarangan. "Seekor burung biasa tidak mungkin masuk ke kepala lelaki biasa!" Aku tidak merasakan sakit, tetapi telingaku terganggu suara si burung. Ia berkicau dengan cara tak terbayangkan. Jika burung biasa memiliki jeda saat berkicau, burung ini tidak membutuhkan jeda. Ia terus berkicau seperti musik yang diputar tanpa henti, dan dimainkan musisi gila yang gagal. Bisa dibayangkan bagaimana si musisi dan sebuah dendam bekerja kepada setia

[Cerpen]: "Maria Takut Dimangsa Anjing" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 9 Desember 2016) Maria bukan tidak suka ke sekolah. Ia sangat suka matematika dan rapornya tidak pernah dapat merah. Ia anak yang pintar dan punya dua puluh sembilan piala sejak tiga tahun duduk di bangku sekolah dasar. Piala itu didapat dari bermacam-macam prestasi dan lomba. Jadi, bagaimana mungkin Maria benci sekolah? Masalah dimulai saat Mama pindah rumah tiga hari yang lalu. Tentu saja, sebagai anak, Maria juga ikut pindah. Pindah rumah sama dengan pindah sekolah. Dan inilah yang membuat anak manis ini malas ke sekolah. "Ada apa sih?" tanya Mama. "Apa ada yang nakal mengganggumu? Atau, gurumu ada yang galak? Cerita sama Mama, Nak."

[Cerpen]: "Cangkang Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apa Kabar Indonesia Plus edisi awal November 2016) Mas Bram datang dengan bujuk rayu. Dia bukan lelaki tanpa tanggung jawab. Ibu tak suka caranya membawa diri. "Tidak sopan," tukasnya. Aku mencintai Mas Bram dan tidak suka cara Ibu menilainya. "Ibu tidak tahu, sih , gimana Mas Bram aslinya," selalu itu yang kukatakan, walau aku tidak benar-benar tahu watak asli Mas Bram. Aku tak mau ia jatuh ke tangan wanita lain. Yang aku tahu, Mas Bram ceplas-ceplos. Kadang arogan, tak mau kalah, ambisius, tapi dia sangat baik. Kini kesemuan itu, cinta buta itu, menang. Kalau saja kesemuan hidup, ia hadir dalam wujud aneh. Ia makhluk bertaring dan haus darah. Seperti mimpi, tapi setengah nyata, aku lari dan sembunyi darinya. Meski begitu, makhluk itu selalu bisa menangkap dan mengisap darahku.

[Cerpen]: "Membunuh Masa Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Desember 2016) Seorang wanita dari masa lalu mengetuk pintu rumah saya malam-malam. Ia ingin tahu di mana ia bisa mendapatkan pistol. Untuk apa, kata saya. Ia bilang, ia harus bunuh kekasihnya, yang mencampakkannya, juga yang membuatnya malu karena hamil di luar nikah. Apa ini nyata? Belakangan saya lebih banyak begadang ketimbang tidur. Akibatnya sering melihat hal-hal aneh, padahal tidak ada yang aneh di sekitar saya. Istri saya menyarankan saya tinggalkan kebiasaan itu, karena setiap hari saya berbisnis, walaupun di rumah juga tempat bisnis saya. Dalam sehari, saya tidur dua jam dan itu kurang. Sepertinya kamu berhalusinasi, kata istri saya.

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016) Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka. Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu. "Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016) Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir. Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh. "Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya. Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016) Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua. "Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua. Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah. "Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.

[Cerpen]: "Membenci Rumah Baru" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Jember, Minggu, 13 November 2016) Sering kali Maria mengeluh dan berkata bahwa dia tidak ingin tinggal di rumah itu. Aku katakan padanya, "Kita sudah kehabisan uang, dan tidak mungkin kita kembalikan rumah yang sudah telanjur kubeli." Rumah itu bukan rumah tua dan bobrok. Bangunannya masih kokoh dan orang hanya akan berpikir tinggal di rumah macam itu adalah tinggal di semacam surga. Aku suka rumah itu, dan begitupun anak kami, Brenda, sehingga ketika pertama kali bocah itu kuajak kemari, yang ia bisikkan padaku di dalam mobil saat kami pulang adalah, "Itu benar-benar mirip istana, dan apakah Papa memang ingin membeli rumah itu?" Aku janji pada Brenda, bahwa kami memang akan membeli rumah mirip istana itu, dan tentu saja Maria senang melihat anak kami senang. Brenda berjingkrak-jingkrak dan melupakan makan siangnya, dan bahkan tidak menengok anjing kecilnya yang manis. Maria tidak berpikir apa-apa dan setuju saja dengan semua uru

[Esai]: "Kita Hidup dalam Bilik Zaman" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Sabtu, 5 November 2016)   Generasi muda saat ini hidup di dalam bilik-bilik pembatas zaman. Maksudnya, di antara generasi satu ke generasi lainnya selalu ada pembatas yang membedakan. Semasa saya kecil, misalnya, dapat dengan mudah ditemukan bocah-bocah bermain berbagai permainan tradisional. Namun, hal tersebut amat susah kita temukan di zaman serba gadget ini. Dahulu anak-anak lebih merasa takut berbuat salah, ketimbang hari ini, seakan itu dosa yang harus dihindari. Jikapun tak terhindarkan, harus "tidak boleh ada yang tahu". Dahulu, jika anak-anak berbuat salah dan ketahuan, kemudian ditegur oleh orang yang lebih tua, pasti menunduk dan tidak berani menatap mata si penegur. Beda dengan hari ini. Kondisi sebaliknya lebih banyak kita temui, meski tidak semua begitu. Anak-anak lebih "lepas" dalam membantah dan berargumen. Perkembangan pola pikir manusia dari waktu ke waktu berpengaruh besar. Itu bermula dari berkembangnya te

[Cerpen]: "Jamuan Mariana" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Jember, Minggu, 9 Oktober 2016) Aku pingsan tiga jam setelah melihat lelaki yang tidak kukenal mati tertabrak truk. Orang-orang tahu tidak ada hubungannya kecelakaan itu denganku, dan aku juga bukan korban kecelakaan, tetapi mereka tetap menolongku. Aku dibawa ke rumah perempuan bernama Mariana, dan dia menungguiku sampai sadar. Aku tidak tahu bagaimana orang-orang membawaku kemari, tentu saja. Aku tidak sadarkan diri saat mereka menggotongku kemari. Ketika bangun, kulihat wajah Mariana bersinar oleh lampu kamar. Ia berdaster dan rambutnya beraroma melati. Bagaimana aku bisa tahu aroma itu datang dari rambutnya, karena ia membungkuk dan mendekat ke arah wajahku untuk memastikan aku benar-benar sadar. Aku memang sudah sadar dan kaget. Ia tak kukenal. Setelah mengenalkan namanya, Mariana bertanya apakah aku lapar.

[Cerpen]: "Mugeni si Pengukur Jalan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 30 Oktober 2016) Warung Cak Sul penuh. Seperti biasa, Mugeni duduk-duduk di seberang. Di dekat situ ada selokan dan dia kencing seperti seekor anjing tak berdosa. Pemuda itu jongkok membelakangi warung, dan begitu dirasa air kencing siap disembur, ia bergidik seakan turun salju di kepalanya. Pemandangan menjijikkan. Beberapa yang tidak tahu Mugeni, menyingkir dan mengira dia gila. Tapi, Mugeni waras dan memang tidak kenal malu. Tidak tahu siapa yang menggunting urat malunya. Setahu warga, dari dulu memang dia sudah begitu. "Kencing tempatnya di WC, bukan selokan," tegur Markoni, orang yang biasa beli nasi goreng di Cak Sul. Bersama pacarnya yang masih kelas dua SMA, Markoni suka beli nasi goreng di sini. Sepiring berdua alangkah romantis. Tetapi kehadiran Mugeni sering kali merusak suasana.

[Cerpen]: "Dakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 28 Oktober 2016)     Pabrik sarung itu berdiri sejak zaman Belanda. Di belakang pabrik berdiri rumah- rumah penduduk dengan petak kebun yang ditanami berbagai kebutuhan pokok seperti singkong, ketela, cabai, kemangi, dan berbagai sayur-mayur. Kebanyakan warga di sini mencari nafkah dengan cara itu: bercocok tanam. Tidak ada sawah, karena tanah milik warga sejak tahun 1990-an dibeli sekelompok pendatang dari Jakarta. Kini, di kawasan tersebut, berjarak sekira dua ratus meter dari pabrik ke arah selatan, terdapat kompleks perumahan elite tempat Chris dan orangtuanya tinggal.     Chris membaca sejarah desa ini dari seorang berkepala plontos yang kemudian jadi sahabat karibnya. Dakir, begitulah orang menyebut nama pemuda itu. Kependekan dari Mudakir. Ia tidak punya bapak dan ibu karena mereka minggat dan tidak pernah balik. Dulu kakek dan neneknya PKI.     "Kakekku mati disembelih di depan bapakku," begitu kata Dakir pada Chris, ketik

[Cerpen]: "Koh Lim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post, edisi Minggu, 23 Oktober 2016)     Urusan menyimpan kenangan sudah jadi ahlinya sejak puluhan tahun silam, sejak jauh sebelum aku menyukai apa yang orang sebut mie biting, semacam jajan bocah SD, yang terbuat entah dari apa, menyerupai batang lidi dan bisa dimakan dan terasa gurih serta asin. Kini aku lupa apa itu mie biting, tepatnya tidak begitu ingat apakah pernah di dunia ini ada semacam jajan berbentuk batangan lidi ini.     "Berarti, waktu itu ia sangat tua?" sela Johan.     "Ia bahkan lebih tua dari sejarah keluarga ini."     Kami duduk di beranda dan Johan sedang memegang kunci motor yang baru dibeli kemarin lusa, oleh papinya yang sukses. Hadiah biar rajin belajar. Aku tidak setuju dengan cara itu; memberi hadiah begitu, tapi Johan adalah anak dari anakku, dan biarlah anakku mendidiknya dengan caranya.     Sebagai kakek, aku punya sesuatu yang tidak kalah penting dari hadiah itu. Inilah caraku memasukkan pengaruhku ke cucu-c

[Cerpen]: "Mantan Perokok" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Kediri edisi Minggu, 9 Oktober 2016) Bus belum berangkat, mungkin 30 menit ke depan. Sambil menunggu kendaraan itu melaju, kuputuskan menunggu di warung kopi setelah meletakkan tas dan barang bawaan di tempat dudukku. "Titip ya, Mas?" kataku pada kenek bus itu. Ia mantuk dan mengucap lapan enam , kode aman, yang kupahami sebagai: tempatku tidak direbut orang. " Wong ada nomernya kok," tukasnya santai. Aku tepis pundaknya dan tersenyum. Ya ngerti kalau ada nomornya, tapi kebiasaan orang Indonesia mana bisa begitu? Diberi nomor antre atau nomor tempat duduk, jarang tertib. Bus wisata yang hendak ke Bali ini jauh hari direncanakan warga RT 02. Semua sepakat dengan harga, juga sepakat dengan peraturan, salah satunya adalah nomor tempat duduk sesuai urutan siapa dulu yang daftar. Siapa cepat, dapat tempat paling depan. Begitu seterusnya sampai belakang. Ada tiga bus. Dan aku dapat bus pertama.

Senjata Para Penulis

Kalau mau jadi penulis, yang pertama harus kita miliki adalah kejujuran dan ketekunan. Jujur berkarya alias tidak memplagiat karya orang. Tekun mencoba dan mencoba meski sering gagal. Dua hal itu senjata utama. Letaknya ada di bagian paling dalam dari diri kita. Senjata di level berikutnya adalah referensi bacaan dan pergaulan. Semakin banyak kita membaca dan bergaul, semakin banyak bahan tulisan. Adapun senjata di level paling luar adalah pulsa internet dan alat ketik. Bagai manapun, ini sangat penting. Ada pulsa, kita bisa online. Perkembangan dunia sastra dan info-info penting bisa diakses dari internet. Sedangkan alat ketik, memang dari jaman dulu selalu penulis butuhkan. Alat ketik jaman sekarang laptop dan komputer dan bahkan ponsel pun bisa. Jika fasilitas terakhir tidak ada, masih ada warnet di sekitar kita. Demikianlah senjata-senjata yang dibutuhkan jika ingin menjadi penulis.

Hitam Putihnya Dunia

Di dunia ini selalu ada saja hitam dan putih. Ada yang membenci dan ada pula yang dibenci. Ada yang bodoh dan ada yang tidak bodoh. Hitam dan putihnya manusia beragam. Kita bisa putih untuk hal-hal tertentu, tetapi juga bisa hitam untuk hal-hal tertentu lainnya. Jadi tidak usah merasa paling benar, juga tidak usah merasa paling tidak berguna. Semua dijatah sesuai porsinya, dan lagi pula manusia bukan makhluk sempurna. Berbahagialah dan banyak-banyak bersyukur. Rejeki tidak akan tertukar.

Alasan Sederhana Kenapa Penulis Bisa Bahagia

Salah satu hal yang membuat saya bahagia adalah ketika mendapat pesan atau komentar dari pembaca bahwa mereka suka dan terhibur dengan karya saya. Paling tidak, jika tidak mampu memberi semacam pencerahan, sebuah karya memang harus dapat menghibur siapa pun yang membaca; itulah keyakinan saya. Pencerahan tidak perlu dipaksakan, karena ini tugas alam. Jika sebuah karya menyatu secara alami dengan hati pembaca, mungkin saja pembaca ini akan mengaku, "Saya tercerahkan." Dan sebagai penulis, sebenarnya kita tidak secara darurat membutuhkan komentar seperti itu, karena cukup dengan kalimat "Saya terhibur!", penulis merasa amat sangat bersyukur bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari mengetahui efek positif sekecil apa pun, terhadap seberapa pun manusia, dari apa yang sudah kita tulis.

[Cerpen]: "Tragedi yang Terlupakan" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Van Gogh (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 25 September 2016)    Aku bangun di lorong hitam sempit, yang diapit dua tembok tinggi. Kuduga orang bisa mati jika jatuh dari atas tembok ini, tetapi di sini tidak ada siapa-siapa. Aku sendiri tidak tahu siapa yang membawaku kemari. Kepalaku pusing. Mungkin seseorang belum lama ini merampok dan memukul kepalaku. Aku membawa lumayan banyak uang dan perhiasan karena kabur dari suamiku yang bejat, dan berniat tinggal di rumah pacarku di luar kota. Hanya saja, aku tidak ingat peristiwa perampokan itu, jika memang aku ini dirampok. Jadi, kuperiksa kepalaku. Ada bercak darah di jidat. Pandangan mataku juga berasa berputar waktu bangun tadi.     "Mungkin seseorang memang merampokku," kata-kata itu keluar begitu saja dan di sekitarku mendadak dingin.

[Cerpen]: "Hantu-Hantu di Kepalanya" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Hantu-Hantu di Kepalanya" di Radar Mojokerto (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 September 2016)       Maria bilang, Imo harus di rumah. Anak itu tidak bisa dibiarkan di luar. Sering kali Imo keluar tanpa pamit dan pulang-pulang bajunya selalu berlumuran darah. Dasar sinting. Maria tahu adiknya suka melukai anjing dan kucing, dan kadang-kadang malah memakannya.     Anak itu tidak bisa dilarang dan tidak berhenti mengepruk kepala hewan mana pun yang ditemuinya di jalan sampai kepergok orang dan saksi mata berkata, "Ya ampun. Setan apa kamu?"     Kalau sudah begitu, Imo tinggalkan apa pun yang ia pegang dan menghilang di semak-semak. Orang menemukannya di rumah setengah jam kemudian dalam keadaan menunduk dan melafal deret Fibionacci dengan cara yang ganjil. Selama Imo berhitung, Maria tidak berhenti mengomel sampai adiknya mengantuk.     Maria tidak tahu kenapa adiknya begitu. Maria anak yang manis dan normal dan di sekolah se

[Cerpen]: "Rencana Rahasia Penyair yang Baru Saja Diusir Calon Mertua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, 18 September 2016)   Aku tidak mengerti saat orangtua pacarku tiba-tiba menyuruhku pulang, sementara Milana belum keluar dari kamar. Ia sudah berjanji padaku untuk kembali dan membawa keluar album kenangan semasa kami SMA dulu; jadi, aku pun juga berjanji kepadanya untuk tidak pulang dulu sampai ia keluar dan kami membuka-buka halaman album itu dan mengenang masa sekolah kami dulu. Tentu saja, di mana pun, memang itulah yang berlaku jika seseorang bertamu.     Tapi, orangtua pacarku menyuruhku pulang. Ia bilang sebaiknya aku pulang saja, dan jangan kembali sampai bulan depan. Aku tidak dapat membantah, tetapi juga tidak mengerti bagaimana mungkin kami tidak bertemu selama satu bulan?

DIBUKA PRE ORDER BUKU KUMPULAN CERPEN "MUSEUM ANOMALI"!

Museum Anomali, kumpulan cerpen terbaru Ken Hanggara . Yang mau pre order, silakan. Harga normalnya Rp 47 ribu. Untuk pre order, diskon 10% (Rp 42,300,-) bebas ongkos kirim khusus Pulau Jawa (untuk luar Jawa, ongkir kisaran antara Rp 10 ribu - Rp 17 ribu). Dapat tanda tangan+kalimat singkat dari penulis. Tertarik? Langsung inbox akun FB Ken Hanggara dengan format pemesanan: nama + alamat + kodepos + No.HP. Museum Anomali berisi 17 cerpen horor kontemporer. Sebagian cerpen di dalamnya pernah terbit di media massa, dan sebagian lainnya belum terpublikasikan.

[Cerpen]: "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kembali untuk Maria" karya Ken Hanggara (Dimuat di Harian Joglosemar edisi Minggu, 11 September 2016)       Aku tidak ingat kapan terakhir kali pergi ke rumah pacarku, Maria, tetapi kukira ia juga sudah tidak ingat kapan terakhir kali aku mendatanginya. Kejadian itu sudah usang, dan sekarang aku sudah memiliki anak empat. Kalau saja Maria tidak menyuruhku pergi, maka tentu saja empat anak itu tidak terlalu menjengkelkanku, sebab Maria gadis cantik yang menyenangkan. Di mana-mana, watak orangtua pasti menurun pada buah hatinya. Dulu aku berharap dan yakin itulah yang terjadi; anak-anak rupawan berperangai seperti Maria. Tapi, kami harus berpisah.     Takdir menikahkanku dengan si buruk rupa yang sama sekali pantas jadi bibiku. Ia wanita yang kubenci. Tabiat dan tampilan wanita itu sama buruknya, dan aku tidak bisa melarikan diri. Begitu pernikahan terjadi, istri yang kubenci hamil dan beranak empat kali, dan keadaan rumah membuatku ingin pergi seja

[Cerpen]: "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Menjahit Sayap Malaikat" karya Ken Hanggara (Dimuat di Banjarmasin Post, 11 September 2016)     Sejak ditinggal mati suaminya, Maria membuka usaha jahit di rumahnya. Mula-mula sepi, tapi hari demi hari pesanan jahitan mulai banyak dan ia kewalahan. Ia merekrut dua gadis di dekat rumah untuk membantu. Ia bangkit dan bisa menghidupi dua anak yang masih kecil, diri sendiri, dan dua karyawan. Sampai suatu ketika, sesosok malaikat datang mengetuk pintu rumahnya.     Malaikat itu datang tengah malam, persis empat tahun sepeninggal suami yang tewas dalam kecelakaan. Malaikat itu mengentuk pintu dengan lembut, sampai-sampai tak bakal ada yang dengar, kecuali orang yang benar-benar berhati suci atau yang dikehendaki malaikat itu untuk mendengar.

[Cerpen]: "Enam Belas Tahun Kemudian..." karya Ken Hanggara

(Dimuat di  Taman Fiksi edisi 17)     All or Nothing berputar begitu saja setelah mobilku meninggalkan halaman rumah Vina. Lagu lama ini membuat pikiranku terbang ke masa lalu. Enam belas tahun berlalu dan semua tetap sama. Segalanya tetap sepi bagiku. Aku tidak menyesal atas perpisahan yang memang harus terjadi ketika itu. Vina tidak benar-benar mencintaiku, dan aku juga tidak begitu yakin kami dapat membina hubungan yang lebih baik jika kami menikah.     Enam belas tahun segalanya tetap sama, tetapi tidak bagi Vina. Ia menikah dengan temannya setelah memutuskan hubungan kami. Vina tampak sedih, dan di masa-masa ini hatiku hancur. Aku tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dengan baik. Tanpa memberi kabar, aku pergi sejauh mungkin dan sempat berpikir semoga ia benar-benar melupakanku, dan aku juga berusaha melupakannya. Setahun berlalu, aku merasa aku berhasil. Aku lupakan Vina dengan menjalin pertemanan dengan beberapa wanita baik dari negeri-negeri asing, sekalipun tidak

[Cerpen]: "Milana dan Sungai Purba" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 4 September 2016) "Dulu, di depan kita ada sungai," kataku. "Sungai besar dan nyata." Telunjukku menuding ke timur, titik matahari berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada kami, hingga melampaui wajah Milana dan bersambung ke arah benamnya hari. Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua tangan. "Sungguh," kataku lagi. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. "Bukan. Bukan itu." Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman. Kami menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat hingga beberapa puluh meter. Garis itu—aku menyebutnya batas sungai purba yang hilang—memang ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya aku tak menjelaskan, karena toh telah tercatat dalam buku-buku dongeng di kota kami.

[Cerpen]: "Menjahit Tubuhmu ke Tubuhku" karya Ken Hanggara

Lukisan karya Mark Demsteader (Dimuat di nusantaranews.co , Sabtu, 3 September 2016)     Seandainya Mila bisa kujahit di saku kemejaku atau kusimpan langsung di dompet sebagaimana foto pacar pada umumnya, aku tidak cemas soal identitas. Ia tidak pernah kuantar sampai ke rumahnya. Tepatnya, tidak pernah mau. Bila selesai malam mingguan nonton bioskop atau makan jagung di taman kota, ia selalu minta turun di gang depan.     Aku mengenal Mila empat bulan yang lalu. Langsung jatuh cinta begitu melihatnya duduk sendiri di taman. Tidak tahu tenaga apa yang mendorong, aku datangi bangkunya dan berkata soal sepatuku yang bolong dan aku yang tidak tahu di mana letak tukang sol sepatu. Aku tidak suka membaca novel roman, tetapi barangkali seperti itu situasinya. Aku bicara soal sepatu dan Mila terkikik geli. Lalu ia jongkok dan mengamati sepatu itu dan berkata, "Tidak ada yang bolong."     "Ya ampun! Benarkah? Tapi, aku merasa ada yang bolong," kataku.     &quo

Menulis Sesuai Bekal yang Saya Punya

Saya menulis apa yang ingin saya tulis. Tidak semua ide-ide yang masuk ke kepala langsung saya ubah jadi cerita. Sebagian ada yang menunggu beberapa lama, dan sebagian malah tidak sama sekali. Saya menulis sesuai dengan "bekal" yang saya bawa.  Hidup saya di lingkungan yang seperti apa, pengalaman saya sepelik atau sesederhana apa, buku dan film apa saja yang sudah saya konsumsi sejak kecil, mimpi-mimpi buruk/indah apa saja yang pernah saya alami, orang-orang macam apa yang sa ya temui, serta harapan-harapan sepi di hati saya--itu semua yang disebut bekal. Seandainya ada ide luar biasa namun tidak ada peluang bagi saya untuk menggubahnya menjadi cerita yang bagus, meski hanya cerita pendek, saya lebih suka tidak menulis soal itu.

[Cerpen]: "Burung Pengantar Bayi" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: http://www.id.priceaz.com   (Dimuat di Flores Sastra, 27 Agustus 2016)     Saya terbang dan membawa seikat kado berisi bayi perempuan. Segar, mungil, dan suci. Malaikat menitipkan bayi itu dan menyuruh saya terbang ke seluruh negeri. Sebagai imbalan, saya boleh makan gula-gula yang terdampar di teras!     Terbang dan terbang, itu pekerjaan saya. Angin dan pergantian musim kesemestian. Sebagai storch*, menggembirakan membawa bingkisan bayi lucu. Menunggu orang memberi upah gula-gula, sangat menyenangkan. Saya bernyanyi sekaligus menimang makhluk menggemaskan itu, hingga si bayi merasa saya ibunya, padahal ia tidak punya paruh dan sayap.     Langit punya banyak pengetahuan andai Anda burung pembawa bingkisan. Anda boleh jadi melihat wanita hari ini, dari balik awan gemawan, dengan wajah murung di jendela suatu rumah. Suaminya tidak ada. Mungkin pergi. Mungkin menikah dan wanita itu baru saja dicerai karena mandul.

[Cerpen]: "Lari dari Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Realita, Minggu, 31 Juli 2016)     Teman-temanku sudah mati dan aku berziarah ke sebuah sungai. Mereka tidak jadi tulang belulang atau tanah, melainkan bergumpal kotoran dari perut manusia. Semua temanku mati dengan cara dimasak dan dibumbui di meja, dan kami semua ditakdirkan untuk menunggu kematian dengan cara itu.     Aku kabur dua hari lalu dari kerangkengku. Sekarang tidak ada yang memasakku. Aku mencari belas kasihan kepada anak kecil yang buta. Ia tidak akan memasakku, dan aku bisa menjaganya, lalu dia berkata, "Anjing sepertimu boleh juga."     Sejak itu kami bersama, dan dia sering mengajakku ke sungai, tempat orang-orang buang hajat. Anak itu sesekali buang hajat di sana, atau menunggu jika ada orang yang berbaik hati memberinya sedekah.

[Cerpen]: "Roni di Dunia Hantu dan Kita Tidak Perlu Mencarinya" karya Ken Hanggara

Lukisan Andrea da Firenze (Dimuat di kalatida.com , Senin, 22 Agustus 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis

Memilih Bacaan Bukan Semacam "Dosa"

Dulu saya membaca tanpa pernah pilih-pilih. Pada akhirnya, setelah ratusan buku selesai dibaca dan bersambung ke buku-buku berikutnya, saya mulai "pilih kasih". Saya mulai membaca apa yang menurut otak saya sesuai dengan kebutuhan saya. Saya bahkan mulai membuat jarak pada bacaan jenis tertentu hanya agar tidak terkena dampak "tidak baik" dari tulisan yang tidak begitu saya sukai. Tidak baik ini bukan berarti negatif, melainkan perlu dihindari dengan alasan khusus, yaitu: jik a misalnya saya membaca tulisan dengan kualitas (yang parameternya saya buat sendiri di dalam kepala) bervariasi, maka aktivitas menulis saya jadi tersendat-sendat. Membaca berbagai tulisan yang menurut otak saya bagus, sama dengan menambah nutrisi di kepala, begitupun sebaliknya. Saya merasa ini bukan lagi tindakan "pilih kasih", tapi semacam pilihan dan setiap orang tidak dapat menolaknya jika di suatu tahap ia diharuskan memilih antara beberapa jalan. Setidaknya

Totalitas Tokoh dalam Cerita Fiksi

Salah satu penyebab cerita yang kita tulis kurang enak dibaca adalah kurang berani jujur. Seandainya kita buat sesosok tokoh itu brengsek, maka jadikan dia biangnya brengsek. Dan jika kita butuh tokoh suci, sucikan dia sampai upil pun tidak ada di lubang hidungnya. Semua harus total dan kita harus jujur mengungkap bagaimana kondisi sebenarnya andai mereka muncul begitu saja di dunia nyata. Tentu saja totalitas ada porsinya. Tokoh brengsek dan suci pasti memiliki sisi lain yan g bertentangan dengan watak mereka, dan itu harus dijelaskan dengan faktor logis dari masa lalu si tokoh. Tidak bakal bagus jika kita buat tokoh pemalas, yang tidak suka membaca, tapi malah sering sekali mengutip-ngutip ucapan yang ada di berbagai buku tebal. Ini sih kitanya sendiri sebagai penulis cerita ingin dianggap berpengetahuan luas dan tahu ini-itu, lalu si tokoh pemalas dijadikan medium penyampai segala yang kita tahu. Cerita dengan tokoh semacam ini saya pikir gagal total. Bahkan tokoh f

Ada Banyak Alasan untuk Membaca

Orang membaca itu karena berbagai alasan. Ada yang hanya untuk mengisi waktu luang atau bersenang-senang, sehingga bacaan apa pun selalu menarik dan tidak perlu terlalu serius. Ada yang karena ingin mempelajari sesuatu, sehingga membuat jadwal khusus agar dapat lebih konsentrasi mendalami ilmu yang sedang dibaca.  Orang membaca ada juga yang semata untuk memenuhi kebutuhan batin, sehingga ia membaca seakan menyantap makanan, atau sering kali istilah "bernapas" dipakai; dengan kata lain, orang semacam ini merasa bahwa kegiatan membaca serupa jadwal wajib yang jika ditinggalkan ia bisa mati. Selain alasan-alasan tersebut, orang membaca bisa juga karena terpaksa.

Membacalah Agar Tidak Jomblo

Saya tersedak waktu dengar seorang teman bilang kebanyakan membaca buku membuatmu cepat tua dan stress dan pikun dan terserang penyakit jantung dan (boleh jadi) mati muda. Saya benar-benar ingin tertawa karena tidak tahu dapat ilham dari mana dia mengatakan hal itu. Tapi, saya menghargai ucapannya. Tidak saya protes habis-habisan, apalagi menertawakannya, karena toh dia tidak tahu saya suka membaca buku. Saya tidak perlu membela diri, bahkan meski konon seribu lebih manusia m engklasifikasikan saya ke golongan makhluk lumayan ganteng. Ini semata karena dia bilang seorang yang menggilai buku lebih banyak bakal menderita stress, dan salah satu faktor hilangnya aura ganteng dari wajah seorang lelaki adalah stress. 

Kutipan-Kutipan Indah Tidak Cocok untuk Cerita Fiksi

Selama ini saya jarang memasukkan kutipan-kutipan untuk tulisan fiksi. Mungkin dulu di awal-awal belajar menulis cerpen beberapa kali mencoba, tapi untuk saat ini sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Cerita fiksi, entah cerpen atau novel, sebisa mungkin saya "penuhi" dengan bagian-bagian pendukung cerita saja, bukan kutipan atau semacamnya. Kalaupun ada yang mengarah ke sana, itu pun lahir dari pemikiran tokoh yang saya buat, dan tidak semua tokoh saya itu o rangnya waras.  Tentu saja, kalimat atau suara hati tokoh tidak waras, yang menyerupai kutipan, sebagian tidak bisa dicontoh. Dengan kata lain: saya sebagai penulis hampir selalu tidak menelurkan kutipan apa pun. Ini terjadi sejak dua tahun yang lalu. Ketika itu saya merasa ingin muntah membaca cerpen saya sendiri yang dibumbui 3-4 kutipan. Lalu saya berpikir apa sebabnya?

Akun Medsos-mu, Tanggung Jawabmu!

Berselancar di medsos sebenarnya tidak perlu membuat kita sampai baperan. Agak kurang cocok sama isi status orang lain, langsung tersinggung. Lalu balas orang itu di kolom komentar atau bikin status sindiran, dan sebagainya. Bahkan di postingan fanpage tertentu yang materinya cukup kontroversi, terjadi caci maki terhadap sesama netizen--yang seharusnya sangat mungkin dihindari. Apa yang kita cari di medsos? Teman atau lawan? Untuk mencari sesuatu yang bermanfaat atau main-mai n?  Bermedsos ria bisa membuatmu cepat tua, jika hal-hal yang harusnya tidak terlalu perlu dipikirkan, seperti misalnya perbedaan pendapat (karena ini wajar, sebab kepala manusia sejagat raya isinya pasti tidak sama; kita bukan robot), sikap orang lain terhadap kita (yang mungkin menyinggung perasaan, padahal belum tentu dia berniat begitu), dan lain-lain yang berpotensi melahirkan baper di hatimu, malah kau gandrungi, dan bahkan kau jadikan "budaya" dalam menjalankan akun medsosmu.

Sepuluh Tahun yang Lalu?

Sepuluh tahun yang lalu saya patah hati untuk pertama kalinya karena suatu cinta monyet. Pada saat itu saya menyukai seorang cewek berambut keriting dengan gigi agak berantakan. Dia lumayan cantik kalau mingkem, tapi tidak secantik cewek yang jadi idola di sekolah SMP itu. Pada suatu hari seorang teman menggoda saya dengan duduk di dekat cewek itu dan berbicara banyak hal, sementara saya hanya berdiri melihat dari jauh, lalu saya patah hati. Saya ingat siang hari itu, sepulang sekolah, makan nasi hangat lauk kornet sapi; rasanya sama sekali bukan seperti mengunyah kornet yang gurih dan agak pedas sebagai rasa kesukaan saya, melainkan seperti mengunyah muntahan bayi dan saya jadi tidak nafsu makan. Saya belum pernah mencoba muntahan bayi, tetapi mungkin patah hati dapat membuat siapa saja seolah merasakannya, atau mungkin sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang muntahan bayi dapat saja terjadi dan seperti betul-betul dirasakan oleh penderita patah hati lainnya.

Lebih Baik Dikenang Jadi Orang Biasa, Daripada ...

Bagaimanapun rezeki kita itu sudah ada yang mengatur, yaitu Allah. Tidak perlu cemas mendapat rezeki yang seakan "salah" selama kita tidak menyimpang dari koridor yang tepat. Bermimpi menjadi penulis itu bagus. Semua orang boleh. Kalau memang benar-benar cinta, kita pasti konsisten. Dan jika sudah konsisten, terbukti kita orang yang tekun. Kalau sudah begitu, tidak perlu cemas dengan kegagalan, karena ada saatnya rezeki dari menulis akan didapat. Kan kita sudah konsisten; tinggal menunggu waktu saja dan tidak henti belajar. Dari awal ini sudah harus diyakini. Jika kita tidak kunjung dapat rezeki dari menulis, sementara kenyataannya kita memang tidak konsisten berusaha (untuk tidak menyebut kata 'malas'), ya berarti niat ingin sukses jadi penulis hanya ikut-ikutan atau cuma ingin gaya di depan teman-teman, dan rezeki kita mungkin bukan dari jalan menulis.

Langit Mencatat Perjuangan Orang-Orang Jujur

Sedih ada kasus plagiasi lagi yang mencuat belakangan ini. Rasanya belum juga ada penggila kesuksesan instan yang jera. Dari waktu ke waktu polanya hampir selalu begini: ketahuan, ramai, pelaku meminta maaf, ramai, surut, dilupakan. Atau begini: ketahuan, ramai, pelaku menghilang, dilupakan. Dan itu terus berputar seperti fase-fase di atas ditempel di sebuah roda. Rodanya tidak berhenti menggelinding karena tidak ada rem. Apa yang mereka, para plagiator itu, pikirkan? Ketika kita selesai menulis cerpen, misalnya, lalu terbit di sebuah koran, maka biasanya kita bahagia dan bangga. Benarkah? Karya orisinal tampil, sebut saja oleh penulis A, maka sangat wajar dia merasa bangga. Apalagi jika baru menapaki dunia literasi. Perasaan semacam itu sudah pasti manusiawi.

"Baper" Itu Wajar, tapi Jangan Overdosis

Ini dari curhatan seorang teman wanita. Dia mengeluh soal usahanya membantu orang lain yang dianggapnya sia-sia. Saya heran apa yang dia maksud sia-sia. Lalu dia dengan kesal menjawab, "Orang itu nggak bilang terima kasih. Aku membantu sepenuh hati, begitu beres langsung ditinggal pergi! Gak ada basa-basi. Sesulit itu bilang terima kasih, ya?!" Saya sejenak diam. Saya melihat teman saya ini penulis yang berbakat. Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu. Mungkin karena me lihat saya diam, dia bertanya soal pendapat saya. Maka saya jawab sesuai yang saya yakini, bahwa ada atau tidaknya ucapan terima kasih, bagi saya, sekiranya saya telah membantu orang lain, tidak terlalu penting. Ucapan itu bukankah semacam penghargaan atau pengakuan dari sesama manusia? "Lalu?" tanya teman ini setelah saya diam kembali.

Tulus-TidakTulus, Itu Bukan Urusan Anda

Pernah suatu ketika dengan teganya seorang teman menuduh saya tidak tulus dalam menulis, dan terlalu berambisi. Saya tanyakan apa arti kata 'tulus' dan 'ambisi' baginya, tapi dia tidak menjawab. Dia memang senang mengalihkan obrolan dari satu topik ke topik lain, dalam selisih waktu yang lumayan pendek; benar-benar mengingatkan saya pada tokoh Holden yang agak kacau di " The Catcher in The Rye "-nya J.D Salinger. Tapi tentu saja dia bukan Holden. Saya sendiri tidak tahu apakah saya tulus dalam menulis atau tidak, tetapi saya sadar betul apa yang saya lakukan saat menulis adalah seperti pertemuan dengan orang tercinta. Saya tidak betah jika harus berhenti menulis dua hari, karena sakit misalnya. Saya juga merasa berat dan berdosa, jika belum juga menulis apa pun sampai jam satu siang misalnya. Itulah kenyataannya.

Menambah Kualitas Bacaan = Syarat Mutlak Penulis

Jika ingin menjadi penulis yang baik, bukan hanya soal harus konsisten menulis. Tambah juga bacaan di rumah dengan yang lebih berkualitas dan berbobot. Membaca buku yang itu-itu saja membuatmu stuck di tempat. Anggap saja belajar. Membaca bacaan yang tadinya bukan seleramu itu seperti rekreasi ke tempat baru. Kadang menyenangkan, tetapi bisa juga memusingkan. Tidak apa. Yang penting buku-buku yang dibaca tidak melulu buku soal patah hati, misalnya. Tidak cukup uang untuk beli ? Bisa pinjam ke perpustakaan. Bacaan bermutu juga bisa didapat dengan saling tukar buku bacaan dengan teman penulis. Maksudnya tukar untuk saling meminjami, dan nanti harus dikembalikan, jangan disobek-sobek, lalu dicampur air putih dan diaduk jadi bubur kertas untuk kamu konsumsi.

Konsisten Menulis karena Cinta

Di awal mengenal dunia literasi, lalu berniat menekuninya, mungkin kau pernah/sering merasa takut jika akan menulis sesuatu. Kau takut gagal merampungkan tulisan, meski cuma satu halaman. Kau juga takut tulisanmu jadi jelek dan dibuang ke tempat sampah oleh siapa pun yang membacanya.  Lalu di hari-hari berikutnya kau mengira kegiatan menulis cukup mengerikan. Mau pergi ke meja belajar untuk menulis ide-ide hebatmu saja, berasa pergi ke dokter untuk disuntik tiga kali berturut- turut di tempat yang sama, dan itu bukan suntikan anestesi. Belum apa-apa, membayangkannya saja kau sudah lemas dan meriang. Atau sebut saja bentuk ketakutan-ketakutan lain, yang membuatmu mulai malas, dan akhirnya tidak produktif, bahkan memutuskan, "I'm done!"

[Cerpen]: "Jangan Bertanya Apa Pun pada Orang Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 14 Agustus 2016)     Tidak ada seorang pun di luar. Pintu kututup kembali dan berusaha memikirkan hal yang enak-enak, seperti misalnya martabak buatan Mirna, kekasihku yang seksi itu. Dia kalau bikin martabak selalu mantap. Dia selalu bilang, "Rahasia utama dari masakan itu cuma cinta."     Tetapi mengalihkan pikiran, dari ketukan pintu tengah malam dengan pacar yang pintar bikin martabak, membuat kepalaku pusing. Tidak ke kamar, aku pergi ke dapur dan menuang air putih.     "Siapa ketuk pintu malam-malam?"     Aku pikir mungkin tadi perasaanku, atau barangkali setengah bagian penting dari mimpiku melompat keluar, sebab tidak lama sebelum pintu diketuk, aku bangun dari mimpi yang aneh. Dalam mimpi itu aku dikejar-kejar setan banci. Setan itu berwajah banci yang berusaha cantik tapi gagal, dengan suntik silikon yang membuat wajahnya lumer seperti monster. Aku dikejar dua banci yang terus menerus memanggilku '

[Cerpen]: "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Kunjungan Seekor Kucing di Hari yang Aneh" karya Ken Hanggara (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 14 Agustus 2016) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis .

[Cerpen]: "Sapono Buron" karya Ken Hanggara

Lukisan "The Scream" karya Edvar Munch (Dimuat di Harian Amanah (Jakarta), edisi Sabtu, 13 Agustus 2016)    Sapono terluka di bagian betis. Ia tidak pernah ditembak. Tapi sekali kena, rasanya luar biasa. Serupa tidur dan mimpi, lalu tiba-tiba terperosok ke sana dan tidak bangun selamanya.     Sapono kesakitan dan bingung Ia menyesal mengikuti ajakan teman untuk rencana perampokan. Sambil menyisir jalan ke hutan, ia memutar ulang ingatan. Uang cepat, itu yang Sapono butuhkan. Setelah sepakat dan tidak ada kompromi mundur, ia ditembak. Komplotan perampok itu gagal dan kocar-kacir dikejar polisi.     Sudah tiga minggu Sapono lolos. Sembunyi di rumah kawan lama, yang tidak bisa dipercaya, bukan keputusan bijak. Tidak ada tempat lain. Sapono tidak pernah diincar polisi. Ini hanya ada di mimpi buruk. Sayangnya, Sapono tidak tidur. Kenyataan bahwa ia dikejar polisi dan menjadi buronan, membuat Sapono merinding. Ia tahu ia bukan penjahat.

[Cerpen]: "Hadiah untuk Martin" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Sabtu, 13 Agustus 2016)     Tadi pagi Martin membawa dompet berisi uang. Sekarang dompetnya tidak ada. Si Yori, anjingnya yang kotor dan penyakitan, tidak bisa mengejar maling. Yori tidak sepintar atau selincah dulu. Anjing itu semakin tua dan bodoh. Martin tidak tahu kepada siapa ia minta bantuan?     Yori meringkuk di teras toko mainan. Anjing itu memandangi Martin yang kesal dan sedih. Majikan yang kecil dan kurus, yang hari ini kehilangan dompet, bagi seekor anjing menumbuhkan penyesalan diam-diam. Tapi, anjing tetaplah anjing, dan si Yori sudah tua; ia tidak bisa meminta maaf pada Martin.

[Cerpen]: "Jamuan Janus" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra, Senin, 8 Agustus 2016)     1/     Pada jamuan makan malam kali ini, Janus ingin yang spesial dan berbeda. Ia tidak menghadirkan tema khusus sebagaimana biasa—kalau tidak disebut memaksa, sebab sekali ia bilang: 'Datang pakai kostum ini, ya', atau 'Mau nggak mau, pokoknya harus suka makanan India', maka tak seorang pun bisa membantah—melainkan membebaskan para tamunya datang dengan baju dan dandanan sesuka hati.     "Waduh, ada angin apa nih ?" tanya Sapto, salah satu rekan yang biasa datang sekali sepekan memenuhi undangan makan malam tersebut.     Barangkali, si tambun itu merasa dirinya mulai menjadi raja, sebab kebebasan itu hal langka di meja makan Janus. Prita, mantan pacar Janus semasa SMA, yang juga kerja sekantor dengannya, menganggap perubahan drastis adalah perlu; tidak dijelaskan alasannya, namun apabila kita bertanya lebih jauh, mungkin, ia akan menjawab: "Saya muak."     Lagi pula, siapa tidak mua