Skip to main content

Posts

Showing posts from 2014

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca. ***     "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.     Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

[Cerpen]: Jagal karya Ken Hanggara

Dulu saya tak tahu. Manusia berbahagia di atas penderitaan, tapi kami tak bisa memilih jalan. Saya pergi dan melihat tragedi dengan mata kepala. Sesuatu membuka hati saya untuk lapang. Entah kelapangan itu datang karena terpaksa atau suatu keharusan. Yang jelas, kesendirianlah yang mendidik saya seperti ini. Nama saya Numa. Saya anjing kurap yang paling kurap. Dulu saya dipuja-puja, diberi makanan yang lebih dari batas yang saya sanggup, sampai perut saya kembung, kemudian orang-orang menyiapkan hari besar untuk saya. Saya cantik dan gemuk!

[Cerpen]: "Giman yang Senang Main Lompat-Lompatan" karya Ken Hanggara

Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Giman senang bermain. Kebiasaannya yang sudah dihafal orang adalah senang melompat. Giman senang melompat-lompat seperti kodok. Tidak cuma meniru kodok, dia kadang melompat-lompat meniru monyet. Giman juga senang melompat-lompat meniru binatang lain, seperti kangguru, yang dia lihat di televisi. Tetapi yang paling Giman suka, dia meniru gaya lompatan kodok. Suatu hari, di sekolah, Giman yang duduk di kelas dua diolok teman-teman karena tidak mau diajak main petak umpet. Giman malah main lompat kodok. "Nanti kamu lama-lama bisa jadi kodok, lho !" kata Budi, temannya.

[Cerpen]: "Antara Sunrise dan Sunset" karya Ken Hanggara

Matahari belum muncul, tapi kami sudah siap menyambut kedatangannya. Satu-dua kendaraan melintas, melewati jalanan sepi tempat mobilku berhenti. Kurang dari sepuluh menit, jalanan mulai ramai. Mereka yang baru turun dari bus atau kendaraan lain yang terparkir, langsung berjalan santai menuju arah terbitnya hari. "Ayo, guys , cepat! Loe mau ketinggalan momen paling berharga sepanjang hidup loe ?" lontar temanku penuh semangat. Orang-orang yang tak kami kenal—yang berjalan persis di sebelah mobilku—serempak menoleh dan bisik-bisik ke sesama mereka, saling tertawa. Kami mengangguk. Memang dasar si Damar lebay . Langit 'kan masih gelap? Masih ada waktu untuk bisa menikmati sunrise . Tapi karena pembawaannya memang begitu, apa boleh buat.

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?

Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun. Alasan "pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan , sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.

Gang Hantu di Sudut Kota

Apa yang kalian pikirkan saat mendengar cerita rumah berhantu? Aku punya cerita tentang gang berhantu. Kebayang gak ? Satu rumah berhantu saja serem , apalagi gang! Wuiih ! Mau dengar? Begini, di sudut kota Surabaya (tak kusebut nama daerahnya) terdapat sebuah gang yang konon dihuni oleh berbagai jenis hantu. Ini kisah nyata, bukan rekayasa. Dulu kakek nenekku punya dua rumah. Salah satu yang mereka punya—dan yang terbesar di wilayah itu—adalah rumah yang bakal kusinggung di sini, yang berdiri bersama barisan rumah lain di sepanjang gang hantu. Gang ini pada saat itu memang sudah terkenal angker. Banyak saksi yang melihat penampakan, dari mulai yang bentuknya paling lucu sampai seramnya minta ampun. Kalian pernah melihat hantu? Atau setidaknya pernah diganggu oleh mereka dengan suara-suara? Kalau pernah, mungkin belum seberapa dengan para penduduk di gang hantu ini. Tahu, gak , berurusan dengan hantu sudah jadi makanan mereka sehari-hari!

[Cerpen]: "Mata yang Merah Menyala-Nyala" karya Ken Hanggara

Sejak minggu lalu Norman tak bisa tidur dengan nyenyak. Penyebabnya adalah mimpi-mimpi aneh yang belakangan sering menyerangnya. Dilihatnya seorang pria berjubah hitam tengah berdiri di tengah ladang warisan bapaknya. Matanya bersinar, menyala-nyala, tajam menatapnya seolah-olah ingin menagih sesuatu. Maka, dikonsultasikanlah hal ini pada seorang paranormal tersohor di kampungnya. Norman mendengar nasihat-nasihat dari beliau bahwa mungkin dulu di masa lalu dia pernah punya tanggungan utang pada seseorang entah siapa. "Memang dulu pernah utang, tapi sudah saya lunasi, Mbah." "Kalau begitu, cobalah kamu ingat-ingat lagi. Barangkali ada yang terlupa."

Kisah yang Boleh Kau Sebut Nyata, Juga Boleh Kau Sebut Fiktif

  (Part 1) Aku mencermati waktu yang paling tepat, ketika gadis itu mulai keluar dari rumah dan melakukan rutinitas paginya: menyapu. Sudah seminggu lebih kuperkirakan itu. Dulu pertama aku melihatnya langsung terkesima, bagaimana mungkin perempuan secantik itu ada di tempat ini? Dan, di kali kedua, kira-kira seminggu yang lalu itu, pertanyaan ku tak perlu jawaban. Aku tak sengaja melihatnya lagi dan seolah dunia adalah mimpi. "Kau tahu, mimpi indah itu kadang tak perlu dicari, tapi ia akan dengan sendirinya menyambangimu?"

Kembalinya Hantu Legendaris

Tulisan ini beda dari artikel-artikelku sebelumnya. Tapi, tanpa mengurangi rasa seriusku, biarlah kusuguhkan cerita model baru untuk kalian. Sebelumnya kuingatkan, tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti. Cuma berbagi cerita dan pengalaman saja. Siapa tahu cocok mengisi waktu luang sambil melamun dan mengingat-ingat cerita ini di kala sepi. Hehe. Oke, tanpa ba-bi-bu lagi, langsung saja, ya!

Cerpen: "Panggung" karya Ken Hanggara

Sejak dulu panggung ini menyuguhkan pertunjukan murah bagi seluruh penghuni kota. Tidak seperti panggung-panggung pada umumnya, panggung ini amatlah istimewa, karena penontonnya terdiri dari beragam profesi. Kedudukan sosial tak jadi soal. Siapa saja bisa jadi penonton. Tak masalah jika misalnya bapak walikota duduk di samping tukang sapu. Atau mungkin , pialang saham berjejer dengan kuli bangunan. Bahkan tak jarang pula orang-orang berpangkat harus duduk di belakang mereka yang tidak berpangkat. Mereka tak pernah mempermasalahkan.

Kata Mutiara untuk Penulis

"Dengan menulis, kita bisa "membujuk" orang-orang tanpa perlu "menipu". Kecuali kalau yang kita tulis palsu /dusta. Itu baru perbuatan dosa." ~Ken Hanggara "Merutinkan aktivitas menulis berarti mengasuransikan daya tahan pikiran kita dari benturan-benturan telak. Tak percaya? Cobalah menulis ketika keadaan jiwa sedang terpuruk, insya Allah Anda akan merasa lebih segar seperti baru saja dilahirkan dan saya sudah membuktikannya." ~Ken Hanggara "Hal yang sampai sekarang membuat saya takjub saat menulis adalah: melihat diri ini seperti apa yang saya cita-citakan. Ketika saya dalam kondisi "miskin" sekalipun, saya bisa menjadi dokter yang mengobati orang lain lewat tulisan, walaupun saya lulusan SMA." ~Ken Hanggara "Sejak aktif menulis, saya berubah jadi penyanyi internasional yang menggelar banyak konser tanpa putus; dapat tiket gratis ke mana-mana, menambah kenalan, dan menghibur banyak orang. Dan itu sungguh menyen

Menulis Lebih dari Sekadar Melawak

Seperti halnya pelawak yang "dituntut" cerdas mengolah materi simpel menjadi aksi lucu, penulis pun juga "dipaksa" untuk bisa mengolah ide ringan menjadi tulisan berbobot. Jika seorang pelawak medan tantangannya adalah panggung, maka bagi penulis arena pertempurannya adalah kertas. Di atas panggung dan kertas, kedua jenis "profesi" ini berpikir keras. Namun, meski cenderung sama, tingkat keberhasilan keduanya diukur dengan cara berbeda. Maksudnya begini. Katakanlah kita sedang menonton seorang pelawak beraksi. Maka, yang kita dapat adalah apa yang terjadi pada detik dan momen saat itu juga. Perhatikan bila seorang pelawak gagal mengolah materi, pasti mulut penonton tak tahan untuk tidak berkomentar: " Halah, kagak ade lucunye !" Atau paling tidak, jika penonton itu diam, sudah pasti pada aksi berikutnya dia agak malas untuk menonton pelawak itu lagi, karena menurut penilaiannya, sang seniman sudah terlanjur tidak lucu.

Bersakit-Sakit dengan Proses, Bersenang-Senanglah Kemudian

Dulu waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah! Tapi, satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi? Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?

Cerpen: "Konspirasi Iblis" karya Ken Hanggara

Ini kejadian saat tiga orang saudaraku dan keempat temannya mati dibunuh kelompok berpakaian hitam. Entah apa mulanya sebagian orang mengira bahwa yang membunuh saudara kami adalah utusan iblis. Maklum, aneka ilmu gaib sedang jadi trend . Di mana-mana orang ingin belajar santet, ilmu kebal, dan lain sebagainya. Namun, bagi mereka yang rajin mendekatkan diri kepada Tuhan yang mahakuasa, informasi atau dugaan seperti ini tak lantas ditelan mentah-mentah. '"Baik agamaku maupun agamamu, mengajarkan manusia untuk selalu berbudi luhur. Berbaiksangkalah. Mungkin pelakunya tak sengaja, atau jangan-jangan mereka cuma korban," tutur sesepuh desa yang terkenal alim di antara para tetua.

Perempuan di Pintu Gerbang: Hasil Membaca Novel "Soekarno: Kuantar ke Gerbang"

Saat mendengar nama Bung Karno, yang pertama terlintas di benakku adalah beliau seorang pejuang yang tangguh. Lewat kecerdasan, prinsip, tekad, serta keberaniannya menentang kaum imperialisme, beliau dikenal banyak orang. Karakternya tampak sejak ia masih muda.

[Cerpen]: "Pembawa Keranda" karya Ken Hanggara

Sudah menjadi semacam penyakit di kampungku, bahwa pada malam-malam tertentu di musim hujan, seseorang datang membawa keranda mayat. Dengan keranda itu ia akan mencuri jiwa siapa pun yang berdiri di pertigaan kampung lewat tengah malam. Tak peduli sebersih atau sekotor apa jiwa itu, yang jelas, sepengetahuanku, keranda itu tidak pernah pilih-pilih. Konon, setiap kejadian berkait soal itu sudah terencana jauh sebelumnya.

Puisi: "Menjelang Pilpres" karya Ken Hanggara

(1): Gila Hari-hari penuh fitnah dan prasangka Semua saling lempar-melempar Ada koran, TV, radio, ponsel, hingga mulut orang Tapi segala apa langsung ditelan Tak peduli meski barang buangan Apa mereka sudah gila? Barangkali iya, barangkali tidak Tapi kemungkinan sih; iya! Moga-moga bukan kita yang gila (170414)

[Cerpen]: "Sebelas Januari" karya Ken Hanggara

*Ini cerpen pertamaku. Dibuat beberapa tahun yang lalu. Jadi harap maklum bila ada kesalahan di sana-sini. Yang penting, nikmati saja ceritanya. :) K udengar dari tempatku berdiri suara Bu Ida bertalu-talu terdengar ke seluruh sudut sekolah, mempersilakan para orangtua murid untuk segera memasuki ruangan rapat karena acara akan segera dimulai. Hari pembagian rapor.

[Cerpen]: "Diorama Botol Bernyawa Satu" - kolaborasi Ken Hanggara dengan Ma'arifa Akasyah

#1      Perabotan magnalium telah siap membawa tubuh kuning mudaku ke tanah impian. Kuhirup komplementer segar di sela jemariku yang merendah suhunya. Kukembangkan bibir yang tak kumengerti harus meletakkan titik tengahnya dengan elevasi atau depresi. Raut Flo, sahabat terbaik yang akan segera kutinggal bersama asakku di bumi pertiwi, menampakkan guratan dahi di atas matanya yang sembab. Berkali-kali ia memelukku tanpa kata.

[Cerpen]: "Jakarta, Saksi Surat Terakhirmu" karya Ken Hanggara

Senja yang menggantung di langit barat seolah sengaja menepikan diriku jauh dalam lamunan. Ada sepetik harapan yang terselip di sana. Tidaklah mudah untuk diraih namun cukup indah dipandang bagi siapa pun yang tengah kasmaran. Tidaklah tampak berujung karena mata angin pun tiada memihak padaku, juga gadis itu. Tidak juga sesederhana lipatan kain sarung yang melingkar di sekitar leherku yang dekil. Membayangkan hari perpisahan antara kami, tak pernah membuatku merasa sedikit lebih baik. Justru perih itu terulang kembali — berputar dalam mozaik adegan yang tersusun rapi di sela gulungan pita film.

Berkelana Bersama "Rembang Dendang"

"Puisi adalah setiap hela napas dan gerak lakunya," begitulah kalimat yang selalu berputar dalam kepala saya. Terlebih ketika bertemu dengan orang-orang yang mampu mengangkat realita beserta alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi yang ajaib. Salah satu orang itu adalah Denni Meilizon.

Agar Minus Tak Lagi Menangis: Proses Kreatif Buku Kumpulan Cerpen "Minus Menangis"

    Saya punya dua analogi dalam menulis. Bagi saya ide itu bagaikan batu. Sedangkan karya, ibarat rumah. Batu tidak mempunyai arti bila ia tetap diam dalam keberadaannya. Sedang tanpa batu, rumah tidak akan berdiri. Jadi, "sebongkah batu" memberi arti bila kita menjadikan ia pondasi "rumah" yang akan dibangun.     Bagaimana caranya agar "rumah" itu selesai? Bagaimana pula agar tidak kekurangan "batu"? Pertanyaan ini dapat terjawab jika kita benar-benar menginginkan "rumah". Mau tidak mau, segala upaya dilakukan. Semakin keras, semakin jelas menunjukkan seberapa serius kita ingin memiliki "rumah". Dengan pemikiran semacam inilah, saya mampu mengatasi kebuntuan dalam mengembangkan ide. Saya tanamkan di alam bawah sadar, bahwa: "Aku tidak berhenti sampai rumah ini selesai!"     Metode menulis ini saya sebut dengan metode "Rumah Batu". Mungkin aneh. Tapi setidaknya dengan begini; "menanam pemahaman b

[New Release]: "Minus Menangis", Buku Kumpulan 19 Cerpen tentang Sisi Kelam Indonesia

Alhamdulillah, telah terbit buku terbaru saya. :) Judul : Minus Menangis Penulis : Ken Hanggara Kategori : Kumpulan Cerpen Penerbit : FAM Publishing ISBN : 978-602-7956-46-9 Cetakan I : Februari 2014 Dimensi : 13 x 20 cm Tebal : 195 halaman (19 judul cerpen tentang sisi kelam Indonesia) Harga : Rp. 42.000,- (belum termasuk ongkos kirim) SINOPSIS: Minus belajar dari teman-temannya tentang keadaan suatu negeri yang tragis. Ada bocah misterius yang suka bersembunyi di bawah jendela. Tak jauh dari tempat itu, seorang wanita tua sedang menunggu rombongan presiden lewat. Di sana ada pula lelaki pemalas yang mencium aroma busuk di sekujur tubuhnya. "Sistem ternyata tak lebih dari sebutir kotoran!" umpat lelaki tak beralas kaki. Lalu muncullah kawanan anjing yang tinggal di seputaran kota. Mereka selalu mengganggu manusia hingga membuat Satrio, salah satu teman Minus, naik pitam. Didasari atas kenyataan itu, seorang pemuda ingin berubah wuju

Fenomena Perut Manusia

Sakit perut biasa terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Tingkat keparahannya tergantung dari apa penyebabnya dan bagaimana pola hidup si penderita. Mulai dari makanan sampai kebiasaan paling kecil seperti nyemilin tomcat, sangat berpengaruh bagi kondisi kesehatan perut kita. Pada umumnya sakit perut didefinisikan atau lebih tepatnya diidentikkan dg buang air besar. Bicara soal buang air besar (jangan negatif thinking dulu), saya menemukan fenomena yang cukup mencengangkan, atau mungkin menyebalkan. Biasanya saat kita akan bepergian jauh, guna berjaga-jaga, sebelum berangkat beberapa dari kita pasti menyempatkan utk membuang kotoran tsb di toilet rumah (hayoo ngaku...). Itu wajar karena siapa tau di tempat yg kita tuju nanti semua toiletnya mampet, di hotel bintang lima pula, banyak cewek cakep pula, model majalah terkenal pula. Apa jadinya kalau "harta karun" itu mengumpul di celana di waktu dan tempat yang sangat tidak tepat itu? Naudzubillah! Tapi an

Deretan Profesi di Indonesia menurut Dedikasi, Resiko, dan Kegunaannya'

Setelah melakukan penelitian rahasia selama dua tahun, akhirnya kutemukan deretan profesi unik di Indonesia. Sebenarnya ada banyak, tapi karena takut terlalu banyak dan yg membaca jadi bosan, maka kusaring kembali hingga menjadi tujuh jenis profesi. 1.Profesi yang berjasa bagi banyak orang : guru, petani, nelayan, bidan. 2.Profesi yang bermodalkan nyali besar : penjaga museum, juru kunci makam keramat, sopir mobil jenazah, tukang sedot WC. 3.Profesi yang patut diberi penghargaan : sinden, pembuat wayang kulit, atlet angkat besi, pencipta lagu. 4.Profesi yang jarang dipedulikan pemerintah : pedagang asongan, penjaga WC umum, pengamen jalanan, tukang reparasi payung. 5.Profesi yang menuntut konsentrasi tinggi : pilot, pembalap, pembaca berita, sopir truk. 6.Profesi yang mempertaruhkan keselamatan diri sendiri : tim SAR, pemadam kebakaran, pawang buaya, tukang gali sumur. Dan yang terakhir ini agak sedikit sensitif. Maka kusarankan bagi siapapun yg membaca bagian

Tujuh Cara Atasi Masalah dengan Masalah

1.Jika kau ingin pergi, tiba-tiba sandalmu hilang tak tahu rimbanya, segeralah ke kantor polisi dan bilang, "Tolong ada kasus pencurian sandal!" 2.Jika kau tiba-tiba diculik oleh penjahat kejam tak berperasaan, dan ia minta uang tebusan ratusan juta rupiah, bilang saja "Aku bukan petinggi negara!" 3.Jika kau berlibur di Bali dan ketemu turis dari Uruguay yang bertanya tentang negeri ini, bilang saja, "Makanan pokok di negara Anda setahu saya daging sapi, tapi kalo di negara kami tiap hari makan janji..." 4.Jika kau ke rumah sakit sementara isi dompet terbatas, bilang saja "Suster, saya ini keluarganya Presiden. Apa harus bayar juga?" 5.Jika kau dalam keadaan terdesak hingga dengan terpaksa harus buang hajat di sebuah jamban yang air sungainya telah mengering, kemudian seseorang menegurmu, "Hei, itu jamban sudah nggak dipake! Malah kotor semua nanti!" Bilang saja, "Aku bukan anggota DPR!" 6.Jika kau nai

"Tahap-Tahap dalam Hidup Seorang Warga Negara RI"

1.Waktu aku masih kecil, aku sering dengar orang berkata, ''Ciluuk..Ba..'' #aku hanya bisa tertawa- 2.Saat masuk TK, aku sering dengar orang berkata, ''Nggak boleh nakal, ya?'' #aku tetap nakal lagi- ... 3.Masuk masa puber, aku sering dengar orang berkata, ''Belajar yang rajin biar cita-cita tercapai!'' #aku semakin bandel- 4.Lalu saat dewasa, aku sering dengar orang berkata, ''LANJUTKAN!'' #aku hanya bisa berpikir: 'Apanya yg diLANJUTKAN? Kesejahteraan Para Petinggi Negara dan Keluarganya? Atau budaya korupsinya?'- Catatan lama: 13 Februari 2012

Petuah Cinta dari Gelembung Sabun

Cinta itu tak ubahnya gelembung sabun bagi seorang anak kecil. Saat dia bermain, meniup-niup ujung sedotan dengan mulut mungilnya, gelembung-gelembung itu pun bermunculan, membuat hati setiap anak yang melihatnya bahagia, damai. Namun sebentar kemudian hilang, menyatu di udara. Tak bersedih anak itu, ditiupnya kembali, lebih keras agar gelembungnya semakin banyak. Begitu seterusnya. Begitu juga cinta. Meski telah berulang kali membuat hati kasmaran hancur, meski telah beribu kali membuat hati yang tulus terluka, tapi kekuatan cinta itu sendiri masih tetap ada, masih meluap-luap dalam hati jutaan umat manusia. Maka beruntunglah mereka yang berani pada segala kemungkinan tentang cinta dan mereka yang tetap percaya akan kekuatan cinta! *Catatan lama: 27 April 2012

[Cerpen]: Cipluk & Bapak Pemimpin

Oleh: Ken Hanggara* Sudah sejak lama aku melihatnya bak sebutir salju di musim kemarau. Dialah sosok pemimpin yang amat kukagumi, pemimpin kami. Segala tugas yang diamanahkan padanya, dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Tentulah kenyataan ini membuatku senang. Selama ini, menurutku tugas pemimpin merupakan satu hal yang sangat berat. Tak terbayang jika aku yang disuruh menjadi pemimpin. Bisa-bisa aku tak tahan. Sebab mataku tak biasa melihat uang dalam jumlah yang banyak.